1 01.

Hara

"Kyung, kita putus aja ya?"

Atau,

"Kyung kayaknya aku bosen deh sama kamu, kita putus aja ya?"

Apa lebih baik,

"Kyung, putus aja kita. Aku bosen!"

Sudah lebih dari puluhan kali gue mencoret-coret kertas dengan harapan mendapatkan ide untuk bisa putus dengan Kyungsoo. Tapi hasilnya, enggak bisa, terlalu takut untuk mengungkapkan isi hati gue sekarang ini.

Dan terhitung lebih dari dua jam sejak kali terakhir Kyungsoo menelpon gue untuk bilang dia akan mampir ke apartemen setelah dia lelah kerja seharian. Dia mampir cuma pengen setor wajah karena katanya udah lama dia nggak munculin wajahnya dihadapan gue, padahal cuma dua minggu. Kita berdua bahkan pernah nggak ketemu sebulan dan gue merasa baik-baik aja selama dia kasih kabar.

Terus ini gue harus bagaimana?

Ada kabar kalau perusahaan yang dirintis Kyungsoo sedang nggak baik. Salah satu karyawannya ada masalah penggelapan uang dan nominalnya nggak sedikit. Bahkan gue dapat kabar kalau dihari libur aja dia masih tetap masuk dan lembur terus.

Gue memang nggak terlalu tahu banyak tentang dunia bisnis karena gue seorang desainer. Yang gue tahu hanyalah menggambar di atas kertas untuk membuat seseorang merasa senang dengan coretan gue, kemudian orang-orang yang senang dengan coretan gue akan membelinya dan gue akan mendapatkan royalti cukup untuk membiayai hidup.

Dikala gue sibuk berpikir bagaimana caranya putus tanpa harus merasa lawan kita sakit, yang gue dapatkan hanya suara bel apartemen gue yang berbunyi.

Gue melirik jam dan ternyata sudah pukul 3 pagi. Ini rekor paling tertinggi selama seminggu insomnia gue kambuh.

"Hai, Kyung." ketika gue membuka pintu, pemandangan seseorang dengan pakaian serba hitam itu berdiri di hadapan gue.

"Kamu belum tidur?" suaranya lembut, sama seperti biasanya. Nggak ada wajah lelah dia yang ditunjukin ke gue, dia hanya tersenyum dengan mata teduhnya menatap gue.

Gue menggeleng kecil.

"Kenapa belum tidur?" tanya Kyungsoo lagi.

Sementara gue hanya terdiam karena bingung.  "Kyung kamu ke sini buat setor wajah aja kan?" karena pikiran gue daritadi nggak bisa lepas untuk ngajak putus dia, gue jadi cemas, takutnya kalau dia kelamaan sama gue, rencana awal bisa terbengkalai.

Kyungsoo mengerutkan dahi, nggak mengerti. "Iya, kan udah lama nggak ketemu kamu."

Ketika Kyungsoo menyelesaikan kalimat tersebut dengan wajah yang terus tersenyum, kakinya melangkah maju sambil menggandeng tangan gue.

Ini yang nggak gue suka ketika bersama Kyungsoo. Gue selalu kalah dan itu membuat diri gue terlihat lemah di hadapan dia. Apa-apa nggak bisa nolak, selalu ngalah, mau pergi ke mana aja pas sibuk-sibuknya kerjain deadline desain aja masih diiyain.

"Kyung."

"Ya."

Lalu, hening.

Aneh. Nggak biasanya kayak gini. Ketika salah satu di antara kita memanggil nama, lalu terdiam, biasanya bakalan ada yang mencairkan suasana empat sampai lima detik kemudian.

Tapi ini,

nggak.

Ini beneran aneh.

Dan firasat gue mulai nggak enak.

Cukup lama keheningan yang tercipta sampai Kyungsoo yang daritadi menggandeng tangan gue dilepas dan berbalik arah.

"Hara,"

"Iya."

Di tengah apartemen gue yang keadaan lampu mati sebagian, gue nggak bisa melihat dengan jelas ekspresi Kyungsoo saat itu. Bahkan sorot matanya yang hitam dan terlihat sedikit mengintimidasi aja nggak cukup jelas dimata gue saat ini.

"Saya mau bicarain hal penting sama kamu."

Gue mengerling ke arah jam. Sekarang pukul setengah empat pagi. Lalu mata gue kembali melihat ke arah Kyungsoo.

"Saya hanya mau bilang ..."

Hening.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Dan seterusnya sampai detik ke enam, gue mendengar hal ini dari Kyungsoo.

"Kita putus aja dulu. Ayo buat masing-masing dari kita istirahat. Nggak perlu ada rasa kangen, nggak perlu merasa khawatir karena nggak dapat kabar, nggak perlu cemas setiap kali saya nggak angkat telepon kamu."

Tuh, kan, aneh. Beneran ini. Apa sebelumnya gue pernah bilang kalau gue nggak baik-baik aja selama nggak ketemu dia? Nggak tuh. Gue selalu baik-baik aja selama dikasih kabar.

"Kamu selalu marah setiap kali saya nggak kasih kamu kabar. Kamu tahu kan kalau tiap orang punya jam mereka sendiri?"

Gue mengangguk kecil. Kedua tangan Kyungsoo mengenggam tangan gue dengan erat.

"Kamu tahu kalau kehidupan seseorang bukan hanya tentang seseorang yang punya ikatan sebagai pacar doang?"

Ah, gue tahu. Ternyata selama ini tanpa gue sadari, gue terlihat nggak baik-baik aja walaupun sebenarnya baik-baik aja karena menuntut hal sepele kayak apa yang dibicarain Kyungsoo sekarang.

Kayaknya nggak adil kalau gue hanya diam dan nggak mengutarakan pendapat. "Tapi Kyung, aku cuma butuh kabar kamu aja."

"Iya tahu." balasnya, menahan semua emosi yang ada dalam dirinya. "Tapi ada batasan." Kyungsoo menjeda lagi ucapannya, membuat gue menaikkan sebelah alis sambil menunggunya melanjutkan lagi. "Kamu nggak perlu bayar Sehun buat ngasih semua kabar saya ke kamu. Kamu nggak perlu ngelakuin itu."

"Jadi kamu marah?" kata gue akhirnya. Nggak tahu ini benar atau nggak, tapi rasanya nggak terima.

Selama kita pacaran bertahun-tahun, gue nggak pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya. Otaknya terlalu rumit untuk gue cerna. Sikapnya, tutur bahasanya, kelakuannya ... aneh. Gue kadang nggak bisa berbaur cepat ketika bareng dia.

Butuh waktu.

Dan sekarang gue membutuhkannya lagi untuk mencerna.

"Nggak marah, Hara."

"Terus apa?"

Gue melepaskan genggaman tangan Kyungsoo dan berbalik. Rasanya dada gue sekarang sesak, seperti ada  batu besar yang menimpa hingga sekarang gue lupa caranya bernapas.

Gue diam sambil menahan mulut dengan kedua tangan supaya nggak ketahuan kalau gue terlihat lemah. Dan tanpa gue sadari, air mata yang selama ini jarang gue temui, untuk malam ini keluar bersama rasa sakit yang lebih parah dari minggu-minggu kemarin karena stres —stres karena diri gue sendiri, bukan orang lain.

"Hara, saya nggak mau kamu nangis!" ujar Kyungsoo dengan suara tertahan. "Kamu tahu kan kalau saya juga nggak suka ini?"

Tangan gue yang sedari tadi mengelap kasar air mata yang membasahi pipi gue terhenti. Alis gue menyatu, bingung. "Ngomong apa sih kamu, Kyung. Pulang aja sana!" kata gue sedikit sewot.

"Iya, saya pulang. Dan saya minta kamu nggak nangis setelah saya keluar dari sini?"

"Iya."

"Janji?"

"Iya, Kyung." balas gue sedikit kesal. Saat gue berbalik, gue udah nggak melihat sosok Kyungsoo di hadapan gue.

Dia bahkan nggak basa-basi dulu untuk bilang apa gitu yang pantas diucapin setelah bilang putus?

"Kyung!"

Kyungsoo yang sudah berada di depan pintu dan bersiap memutar kenop terhenti, berbalik ke arah gue. "Kenapa, Hara?"

"Happy Anniversary kita yang ke-6." ujar gue tanpa ada inisiatif untuk tersenyum ke arahnya.

Dan, Kyungsoo hanya tersenyum tipis.

***

avataravatar