5 Chapter 4

~Andrew POV On~

"Pada akhirnya, aku tetap kembali pada rumah hantu ini.'' Aku menatap ngeri ke arah rumah besar yang selalu memiliki aura kematian yang pekat ini.

"Aku heran, kenapa wanita itu tahan tinggal di tempat mengerikan seperti ini?'' Gumamku ada diriku sendiri. "Dan yang lebih gilanya-''

"-Aku menerima tawaran wanita gila itu.''

Aku mendesah lelah, sebelum kembali mengamati rumah besar yang di dominasi cat dengan warna gelap itu. 

"Bagaimana cara aku masuk ke dalam ya? Harus kah aku membunyikan bel? Atau mengetuk pintu? Ah, itu kan yang dilakukan oleh manusia yang masih hidup.'' Aku memasang pose berpikir. "Masalahnya aku ini manusia yang sudah mati. Apa aku mencoba untuk menembus dinding saja ya? Ah. Itu tidak sopan.'' Aku menggaruk kepalaku.

"Bagaimana cara aku dapat masuk??''

Sraakk...

Perhatianku beralih pada sesosok pria paruh baya yang sedang menyirami tanaman. "Pria itu-'' Aku mendekati pria berwajah tenang itu. "Um, halo permisi.'' Sapaku padanya.

Sedetik kemudian, aku merutuki keputusanku untuk menyapanya. "Bodoh! Apa kau lupa kalau kau ini sudah mati?!'' Ujarku.

"Anda tidak bodoh, tuan Andrew.''

Aku menganggukkan kepalaku. "Well, aku ini memang cukup pandai.'' Aku kembali terdiam. Di detik berikutnya, aku menatap pria paruh baya itu dengan tatapan waspada. 

"K- kau- kau dapat mendengarku?'' Tanyaku sembari bersiap melakukan jurus kaki seribu, alias kabur.

Pria paruh baya itu memutar tubuhnya menghadapku. Ia tersenyum lembut. Kedua matanya yang sedari tadi tertutup perlahan terbuka. "Saya dapat melihat Anda juga, tuan Andrew.'' Ujarnya tanpa menyembunyikan fakta pada kedua bola matanya yang berbeda warna.

"K- kau- matamu-'' Aku menunjuk tepat ke arah wajahnya.

"Ah, ini?'' Ia menyentuh bagian bawah matanya. "Lady Olivia, yang memberikannya pada saya.'' Ujarnya tenang. Bahkan sangat tenang.

"Wanita itu gila..!! Bahkan kau dijadikan bahan percobaannya..??!!'' Teriakku keras.

Pria paruh baya itu sedikit tersentak. Meletakkan alat penyiram tanaman itu. "Tuan Andrew, mari saya antarkan ke dalam.'' Ujarnya sopan.

"Tidak!! Aku tidak mau masuk ke dalam!! Aku tidak mau masuk ke dalam rumah hantu itu!!''

"Saya mohon jangan berteriak, Tuan Andrew.'' Pria itu perlahan mendekatiku dan berusaha untuk menenangkanku.

"Jauhi aku!! Jangan sentuh aku!!''

"Saya mohon untuk tidak berteriak, Tuan Andrew. Beliau bisa-''

"Berteriak di halaman rumah orang.'' Aku tersentak. Suara dingin nan datar itu. Dengan perlahan, aku membalikkan tubuhku dan mendapati dirinya berdiri di sana. Menatapku tajam. "Untuk ukuran seorang hantu yang lupa ingatan, kau cukup tidak sopan juga ya.'' Ujarnya datar.

~Andrew POV End~

~Author POV On~

"Hey kau-''

"Aku memiliki nama, hantu lupa ingatan.'' Olivia menyesap kopinya perlahan. 

Setelah kejadian di halaman kediaman Gardner, Olivia segera mengajak Andrew untuk memasuki rumahnya. Yah, lebih tepatnya sih, memaksa Andrew untuk memasuki rumahnya.

Dan di sinilah mereka, Olivia dan Andrew, di ruang tamu kediaman Gardner.

"Ck. Aku juga punya nama.'' Protes Andrew yang sayangnya tidak digubris oleh wanita bersurai blonde itu.

"Jadi,'' Olivia meletakkan gelasnya dengan anggun. "Apa yang kau lakukan di sini?'' Tanyanya.

"Aku-''

Brakkk....

"O~ Li~ Vi~ Aa~''

"Tuan, tunggu sebentar. Anda tidak bisa-''

Andrew menatap bingung ke arah sumber suara. Yup. Sumber suara yang baru saja membuatnya membungkam mulutnya kembali.

Brakk...

Pintu ruang tamu terbuka keras dan menampilkan seorang pria yang seumuran dengan Olivia. Oh, jangan lupakan pria paruh baya yang tampak terengah engah di belakangnya.

"Olivia.'' Pria asing itu menatap Olivia dengan senyum sumringahnya. Berbanding terbalik dengan wanita itu.

"Temanmu?'' Tanya Andrew pada Olivia.

Olivia menatap Andrew sejenak sebelum mengalihkan perhatiannya kembali pada pria asing itu. 

"La- Lady- tuan ini-''

"Tidak apa, Edward.'' Potong Olivia cepat. "Beristirahatlah dahulu sebelum menyeduhkan teh pada tamu tidak sopanku ini.'' Ujarnya penuh sindiran pada dua pria berbeda alam itu.

"Cih.'' Andrew berdecih pelan dan memilih menatap pria asing itu penuh selidik.

Edward, pria paruh baya itu, menunduk hormat sebelum meninggalkan ruang tamu itu. Setelah sebelumnya menutup pintu ruang itu.

"Olivia.'' Pria asing itu berjalan cepat dan segera duduk di sofa panjang tepat di depan Olivia. Tepat di samping Andrew juga.

"Apa maumu?'' Tanya Olivia tanpa basa basi sedikit pun pada pria asing itu.

"Kau selalu saja dingin padaku, Olive.'' Pria asing itu mendesah lelah. "Tidak bisakah kau bersikap lebih hangat lagi padaku?'' Ia menyandarkan punggungnya.

Olivia menumpukan sebelah kakinya pada kaki yang lain. "Berikan aku satu alasan kenapa aku harus bersikap hangat padamu?'' Balasnya cuek.

"Karena aku tam-''

"Aku lebih memilih mayat yang sudah kuawetkan selama bertahun tahun kalau begitu.'' Potong Olivia cepat. 

"Pffttt...'' Andrew menahan tawanya begitu melihat wajah cemberut pria asing itu.

"Tamu tidak sopanku yang lain tampak bahagia di atas penderitaanmu.'' Olivia melirik ke arah Andrew.

"Hey!'' Andrew menatap Olivia tidak terima.

"Tamu? Siapa?'' Pria asing itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, seakan mencari sesuatu. "Mana tamumu itu, Olivia?'' Tanyanya.

Wanita bersurai blonde itu menunjuk Andrew dengan dagunya. "Di sebelahmu.'' Jawabnya.

"Halo.'' Sapa Andrew pada pria asing itu. Saat pria asing itu menatap ke arahnya. Lebih tepatnya, ke arah yang ditunjuk oleh Olivia.

Dengan gerakkan patah patah, pria asing itu kembali menatap Olivia. "Ja- jangan bilang kalau tamumu itu-''

Olivia mengangguk. "Hantu tidak sopan yang lupa ingatan.'' Jawabnya santai.

"HIIIII....."

Pria asing itu langsung menjauh dari sofa panjang itu. Dengan cepat ia segera mendudukkan dirinya tepat di samping Olivia. 

"Dia- takut padaku?'' Tanya Andrew pada Olivia, sembari memperhatikan wajah pria asing itu yang sudah berubah pucat pasi.

Olivia mengangguk. "Si berisik ini, takut terhadap hal hal gaib. Sama seperti dirimu.'' Jawabnya.

"Si- siapa yang takut?''

"Si- siapa yang takut?''

Ucap dua pria beda alam itu bersamaan. Kedua pria beda alam itu sama sama memalingkan wajahnya dan mengusap tengkuknya.

Olivia mendesah lelah. "Jadi apa maumu, Bennington?'' Tanyanya.

"Ah.'' Pria itu, Leon Bennington, segera menghadap Olivia. "Lusa, apa kau kosong?'' Tanyanya.

"Ada apa?'' Balas Olivia.

"Maukah kau berken- menemui pasienku?''

"Kenapa?''

"Dia ingin menjadi dokter bedah sepertimu, Olivia. Bisakah kau bertemu dengannya?'' Leon menggeleng. "Kumohon temui dia.'' Pintanya.

"Maksudmu, kumohon berkencanlah denganku?'' Cibir Andrew. Namun, hanya Olivia yang dapat mendengar cibiran itu.

"Berapa lama lagi dia bertahan?'' Tanya Olivia.

"Satu bulan.''

~SKIP~

"Jadi, kau akan menerima ajakkan kencan pria penakut itu?'' Tanya Andrew setelah Leon sudah beranjak pergi dari rumah Olivia.

"Katakan itu pada dirimu sendiri.'' Balas Olivia sembari menghisap lintingan tembakau itu.

"Kau sangat suka merokok ya?'' Andrew mengibas ngibaskan tangannya. Untuk menjauhkan asap rokok dari wajahnya.

"Jangan alihkan topik pembicaraan, Andy.'' Olivia mengetuk ngetukkan batang rokok itu di asbak agar abu yang berada di ujungnya bisa turun. 

"Andy?''

"Namamu Andrew kan? Atau sebatas yang kau ingat begitu, Walaupun aku tidak yakin seperti itu.''

"Apa yang kau bicarakan?''

"Jadi Andy,''

"Apa kau mendengarkan aku bicara?''

"Kenapa kau kemari? Mengingat kemarin kau lari terbirit birit dari sini.'' 

Andrew menutup hidungnya. "Bisakah kau mematikan rokokmu itu?'' Pintanya.

Olivia menaikkan sebelah alisnya sebelum benar benar mematikan rokoknya, dengan cara menekan ujungnya pada asbak. Ia menatap Andrew dengan tatapan, 'sudahkan? Sekarang jawab pertanyaanku, bodoh.'

"Umm... Untuk tawaranmu yang kemarin,'' Andrew menatap Olivia resah. "Aku- aku menerimanya.'' Ujarnya.

"Walaupun- Walaupun kemungkinan berhasil yang belum pasti. Tapi- tapi aku mau mencobanya.'' 

"Karena kau mencintai gadis manis itu?'' Olivia melipat kedua tangannya di depan dada.

Andrew mengangguk. "Aku sangat mencintai Amanda.'' Ia tersipu malu. "Walaupun kemungkinan untuk kembali bersamanya tidak ada satu persen pun, tetap akan kucoba.'' Ia menatap Olivia penuh harap.

"Jadi Dr. Olivia, maukah Anda membuat saya kembali menjadi manusia?''

"Kau menjijikkan.''

First blood..

Suara hati Andrew yang patah terdengar jelas begitu saja. "Par- pardon. Kau bilang apa tadi?'' Ia menatap Olivia menuntut penjelasan.

"Tatapan penuh cintamu itu menjijikkan.'' Jawab Olivia.

Double kill..

"Berlagak seperti seorang pria yang ingin melamar kekasihnya, padahal kau hanya arwah penasaran tanpa tubuh. Dan lagi pula, gadis manis itu bahkan bukan kekasihmu.''

Triple kill..

"Jangan pernah menatapku dengan pandangan mata yang membuatku ingin mengeluarkan isi perutku.''

ENEMY HAS BEEN SLAIN...

Andrew yang terkena serangan berkali kali dari Olivia hanya bisa terdiam. "Jangan membuatku merasakan kematian setelah kematian dong..!!'' Protesnya.

Olivia bangkit dari posisi duduknya. "Apa yang kau bicarakan?'' Tanyanya.

"Hah?''

"Tentu saja kau akan mengalami kematian setelah kematian. Kau pikir percobaan itu mudah?'' Olivia membalikkan tubuhnya. "Naif sekali kau ini. Cepat jalan, kita bisa melakukannya sekarang.'' Ia berjalan keluar dari ruang tamu dan menuju entah kemana.

"Ti- ti- TIDAAAKKKKKKKK.....!!"

~Author POV End~

~ ??? POV On~

"Sepertinya kamu bersenang senang, Olive.''

~ ??? POV End~

To Be Continued

avataravatar
Next chapter