3 Chapter 2

~Author POV on~

"Jadi begitu, Mrs. Gardner.'' Ujar seorang pria paruh baya pada seorang wanita bersurai blonde di hadapannya.

Wanita itu mengangguk singkat. "Oke. Besok aku akan meluangkan waktuku untuk mengisi kelasmu, Mr. Robinson.'' Ujarnya.

Pria itu, Frederick Robinson, tersenyum senang. "Terima kasih, Mrs. Gardner. Ah, kau memang tidak pernah mengecewakanku sejak dulu.'' Frederick menepuk pundak wanita muda itu pelan.

Wanita bersurai blonde itu tidak menjawab kalimat mantan dosennya itu. Olivia Gardner. Itulah nama wanita muda itu.

"Ah! Olivia.'' Panggil Frederick.

"Hm?'' Olivia menatap datar ke arah pria paruh baya itu.

"Apa kau sudah bertemu dengan partnermu?''

"Siapa?''

"Mr. Bennington.''

"Ah. Si berisik itu.'' Olivia menyugar surai sebahunya. "Kenapa?'' Ia bertanya lagi.

"Yah, kau tau, Olive.''

"Tidak.''

Frederick menatap datar mantan mahasiswinya itu. "Kebiasaan burukmu, Olive. Jangan memotong pembicaraan orang lain.'' Protesnya.

"Jadi kenapa tiba tiba kau membahas si berisik itu?'' Olivia menatap datar ke arah ruang kelas yang sudah kosong sejak satu jam yang lalu.

"Bukan sebuah hal yang penting sih. Dia hanya--''

"Baiklah kalau begitu aku pamit, Mr. Robinson.'' Tanpa menunggu balasan Frederick, wanita itu segera melangkahkan kakinya meninggalkan gedung fakultas kedokteran itu.

Ia kembali menyugar surainya ke belakang. Ia menatap datar ke arah laboratorium, saat langkahnya tak sengaja membawanya ke sana.

Ia mendesah pelan sebelum menggerakkan kakinya menuju ke mesin minuman yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Memasukkan beberapa koin ke dalamnya, dan menekan kode minuman yang ia inginkan. Setelah minuman yang diinginkannya berhasil ia dapatkan, ia kembali menghela nafas panjang.

Ctakk..

Olivia berjalan mendekat ke arah kaca besar yang ada di hadapannya. Kaca besar yang memisahkan antara gedung fakultas kedokteran dengan taman yang cukup luas di luar.

Sebelah alisnya berkerut naik saat ia melihat suatu objek di depannya. Sembari meminum kopi kalengnya, iris birunya tak lepas dari objek tersebut.

"Fantôme.''

~Skip~

Selepas gadis manis bersurai hitam meninggalkan bangku panjang di taman itu, Olivia segera berjalan mendekat ke arah bangku panjang itu.

Dengan santainya, ia mendudukkan dirinya di situ. Memejamkan sebelah matanya sejenak, untuk meredam suara berisik dari sebelahnya.

"Untuk ukuran seorang makhluk yang telah mati, kau ini genit juga ya?'' Ia menolehkan kepalanya ke arah kiri. Ia menatap datar sisi kosong di sampingnya.

Tidak. Sisi bangku itu tidak kosong. Di sana ada sesosok makhluk lain yang hanya bisa dilihat, di dengar, dan di sadari oleh orang orang tertentu. Tentu saja. Makhluk itu adalah, hantu.

"K- HUWAAA...!!" Makhluk tadi jatuh terjungkal dari bangku itu. Yah, Walaupun Cuma Olivia yang bisa melihatnya.

"K- kau berbicara padaku??'' Makhluk itu menunjuk dirinya sendiri. Ia tampak kebingungan.

"Kau pikir hantu genit di sini siapa lagi selain kau.'' Balas Olivia datar tanpa ada ekspresi sedikit pun di wajahnya.

Makhluk tadi segera bangkit dari posisi jatuhnya dan kembali berjongkok di atas bangku panjang itu. "Ka- kau mendengarku?? Kau bisa melihatku?? Kau- kau memiliki indra keenam??'' Tanyanya bertubi tubi.

Olivia mengabaikan makhluk halus itu. Ia lebih memilih merogoh saku jas lab nya. Mengeluarkan sekotak rokok dan juga pemantik.

"Kau- kau merokok??'' Makhluk itu menatap Olivia dengan tatapan tidak percaya.

Olivia masih mengabaikan pertanyaan makhluk itu. Ia lebih memilih menyelipkan lintingan tembakau itu di bibirnya dan segera membakarnya dengan pemantik berwarna hitam dengan guratan emas di sekelilingnya.

"Wanita macam apa kau ini? Merokok? Yang benar saja.'' Cibir makhluk itu.

Wanita bersurai blonde itu menghembuskan asap dari lintingan tembakau itu. "Memangnya kenapa kalau aku bisa melihat, mendengar, dan memiliki indra keenam?'' Ia kembali menghisap lintingan tembakau itu dalam sebelum kembali menghembuskannya melewati bibir tipisnya. "Dan memangnya kenapa kalau aku merokok?'' Ia menatap datar makhluk di sampingnya itu.

"Tidak elegan, kau tau itu.'' Jawab makhluk itu sembari melipat kedua tangannya di depan dada, sebagai bentuk perlindungan diri. Karena ia merasa terganggu dengan asap tembakau yang di hembuskan oleh wanita bersurai blonde itu. Walaupun tidak langsung di wajahnya.

"Aku tidak peduli akan hal itu.'' Balas Olivia singkat.

"Cih.'' Makhluk itu berdecih pelan.

"Walaupun kau sudah mati, kau masih tetap genit ya?''

"Woy!!''

"Kenapa kau menggoda gadis manis tadi?'' Tanya Olivia tanpa menatap makhluk di sampingnya itu.

"Bukan urusanmu!'' Jawabnya ketus. "Dan- Dan- Jangan memanggil Amanda seperti itu.'' Makhluk tadi memalingkan wajahnya.

"Jadi, nama gadis manis itu Amanda.'' Olivia mendongak sembari menghembuskan asap rokoknya. 

"Iya. Namanya Amanda.'' Makhluk tadi memegang tengkuknya. "Kau jangan macam macam dengan Amanda. Atau aku akan--''

"Akan apa?'' Olivia kembali menatap makhluk itu. "Memangnya apa yang akan kau lakukan padaku? Kau tidak memiliki raga. Bahkan untuk ukuran hantu pun kau tampak tidak berguna.'' Ujarnya tanpa perasaan dan ekspresi.

"Enak saja!'' Makhluk itu menatap Olivia tidak terima.

"Kalau begitu, mari kita tes dirimu itu.'' Olivia membuang puntung rokoknya sebelum memutar tubuhnya menghadap ke arah makhluk itu. 

"Boleh saja.'' Makhluk tadi menatap Olivia dengan wajah sombong.

"Siapa namamu?''

"Andrew.''

"Nama belakang?''

"Err...''

"Apa penyebab kematianmu?''

"Emm... Itu... Aku-''

"Gerakkan kertas ini.'' Olivia mengeluarkan selembar kertas dari saku jas lab nya. Ia menyodorkan kertas itu tepat di depan wajah makhluk itu, Andrew.

Andrew yang disodori kertas hanya bisa berkedip bingung. "Aku harus bagaimana?'' Tanyanya.

'Eh? Tadi bagaimana caranya aku bisa mengambil kertas itu dan menyerahkannya pada Amanda?' Tanya Andrew dari dalam hati, dia benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa melakukannya saat itu.

Olivia kembali memasukkan kertas itu ke saku jas lab nya. "Kalau begitu-'' Tiba tiba ia terdiam. "Bisa tau apa yang aku katakan barusan?'' Tanyanya.

"Eh? Hah?! Apa maksudmu? Kau saja tidak berbicara.'' Andrew menatap Olivia tidak terima.

Olivia kembali memutar tubuhnya. Ia menumpukan kaki kanannya di atas kaki satunya. "Dari tes barusan aku dapat menyimpulkan,'' Ia memberikan jeda pada kalimatnya. "Selain wujud astralmu yang bagus hingga hampir tidak tampak jauh berbeda dari wujud manusia dimata orang seperti ku, tidak ada yang bagus pada dirimu itu.'' Ujarnya cuek.

"Wait- WHAT?!" Andrew melompat turun dari bangku itu. "Apa maksudmu dengan itu, huh?!'' Ia berdiri di hadapan Olivia sembari berkacak pinggang.

Olivia mendesah lelah. "Maksudku, kau itu tidak berguna.'' Ia meminum kopi kalengnya yang masih tersisa. "Selain wujud astralmu yang masih utuh, tidak ada lagi yang bagus dari dirimu.'' Lanjutnya.

"Hah?! Kau-''

"Kau kehilangan ingatanmu saat hidup.'' Potong Olivia cepat. "Dan satu satunya yang bisa kau ingat hanya gadis manis tadi. Apa aku salah?'' Andrew terdiam begitu mendengar kalimat yang terlontar begitu saja dari mulut Olivia.

"Apa kau adalah mahasiswa universitas ini?'' Tanyanya.

"Aku-''

"Ah, benar juga. Kau kan lupa ingatan.'' Olivia mengangguk. "Baiklah, kusimpulkan saja seperti itu. Kalau begitu, apa kau tau siapa aku ini?'' Tanyanya santai.

"Apa pentingnya aku mengetahui tentang dirimu itu.'' Balas Andrew dengan nada mengejek.

Olivia mengangguk. Perlahan ia bangkit dari posisi duduknya. "Mau ikut denganku?'' Tawarnya.

~Author POV End~

~Andrew POV On~

Rasa mual yang tak terkira memenuhi seluruh perutku. Aku tau, seharusnya aku tidak bisa merasakan hal itu. Tapi, wanita itu-

*Flashback On*

"Tem- tempat apa ini?'' Kumasuki bangunan tua nan menyeramkan itu. "Ini rumah hantu?'' Kutatap wanita blonde yang berjalan di depanku itu dengan tatapan curiga.

Wanita itu menghentikan langkahnya sejenak. "Tidak seharusnya kau takut dengan makhluk sejenismu.'' Ia melirikku lewat bahunya.

Walaupun dia tidak berekspresi dan nada suaranya yang datar tanpa emosi itu, aku tau kalau barusan ia mengejekku.

"Perhatikan langkahmu.'' Ujarnya saat kami menuruni sebuah tangga yang sepertinya menuju ke ruangan bawah tanah di rumah besar ini. "Walaupun kau tidak akan mati dan terluka kalau jatuh. Tapi, jangan sampai mengganggu hantu yang lain.'' Ucapnya tanpa beban.

Tubuhku merinding seketika. Segera saja aku memperpendek jarakku dengan wanita itu. 

Tiba tiba, wanita itu berhenti di depan sebuah pintu kayu besar berwarna hitam dengan sulur berwarna hitam juga. Perasaanku mendadak tidak enak begitu melihat pintu besar itu.

Dengan perlahan, ia mendorong pintu itu. Dan benar saja, perasaan burukku barusan—

"Huweeekkk...'' Serangan mual dari dalam perutku terus berdatangan silih berganti. Walaupun tidak ada apa pun yang keluar dari perutku. Pemandangan di depanku saat ini, sangat mengerikan.

"Kau-''

"Olivia Gardner.'' Wanita itu membalikkan tubuhnya. Ia menatapku dengan dingin. "Seorang dokter bedah dan spesialis organ dalam.'' Ujarnya.

Perlahan, aku mulai beringsut mundur. "Bukan- kau itu adalah-'' Tubuhku semakin bergetar hebat begitu melihat iris birunya yang memantulkan sesosok manusia yang berada di dalam tabung yang ada di dekatnya.

"-Sang ilmuwan kegelapan, dokter bedah kematian. Olivia Gardner.'' Lanjutnya dengan nada suara yang sangat dingin dan menyeramkan.

*Flashback Off*

"Rasa mual ini benar benar- ugh~'' 

Kutatap langit senja dari bangku taman tempat aku duduk bersama Amanda dan Ol- wanita gila itu.

"Apa yang sebenarnya harus aku lakukan-''

"-Amanda-''

"-Aku merindukanmu.''

To Be Continued

avataravatar
Next chapter