2 Chapter 1

Sebelumnya:

"Aku…"

"Aku siapa?"

-----------

Kepalaku berdenyut hebat saat aku terus berusaha mengingat. Seolah aku benar-benar tidak dapat menemukan apa pun di dalam ingatanku.

"Sial. Apa-apaan ini… kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun?" Aku menarik nafas dalam-dalam. Meskipun aku tidak tahu apakah aku masih bisa menyebut ini bernafas, tapi setidaknya aku bisa merasa sedikit lebih tenang setelah melakukannya.

Ah, tunggu dulu, bukankah seharusnya jika seseorang mati, hal yang seharusnya ia rasakan adalah keterkejutan dan kepanikan?

Tapi, aku sekarang tidak merasakan apa pun. Yah meskipun awalnya tadi aku merasa sedikit terkejut, namun entah mengapa perlahan-lahan aku mulai menerima dengan tenang semua kenyataan ini.

Aku juga tidak ingat apa pun. Alasan aku mati, siapa aku sebenarnya, aku benar-benar tidak ingat.

Ini tiba-tiba membuatku merasa benar-benar kosong. Tatapanku kemudian terpaku pada gelang ditanganku. Di gelang itu terdapat sebuah nama,

Andrew.

"Andrew? Ini… Ini namaku? Andrew, Andrew, Andrew." Aku terus menyebutkan nama itu berulang-ulang, berharap bahwa setidaknya aku akan bisa mengingat sesuatu.

Aku juga melangkahkan kakiku, meninggalkan makam tempat aku terbangun sebelumnya dan berjalan entah ke mana.

Ketika aku berjalan tanpa tujuan terkadang aku akan melewati beberapa orang, namun sepertinya mereka tidak bisa melihatku. Yah, tidak semuanya. Kadang ada anak kecil atau bahkan bayi yang menatapku, seolah mereka melihatku.

Aku menunduk dan memperhatikan pakaian yang kupakai. Ini sepertinya sebuah kaos putih biasa, dan celana jeans panjang hitam.

Sebelumnya aku mencoba melihat penampilanku melalui kacau toko yang aku lewati, sayangnya aku benar-benar tidak dapat melihat apa pun. Bahkan bayangku tidak ada.

"Apa aku menjadi arwah gentayangan? Kenapa aku masih berada didunia ini? Hm, apa aku punya urusan yang belum selesai?" Aku kembali berbicara dan bertanya pada diriku sendiri, hingga di sebuah persimpangan aku melihat dua sosok manusia, mereka sepertinya pasangan.

Mereka tampak tengah berjalan dengan senyum lebar sambil bergandengan tangan.

"Sial, entah kenapa aku iri melihatnya" Gumamku kesal. Tapi tiba-tiba perhatianku jatuh pada wajah tersenyum gadis pada pasangan itu.

Sosok gadis itu entah mengapa tumpang tindih dengan sosok wanita yang berbeda. Kepalaku juga terasa sangat sakit.

Sosok seorang wanita bersurai hitam panjang dengan senyum lebarnya terus terlintas di ingatanku.

Senyumnya, tawanya, seolah memenuhi semua kekosongan yang aku rasakan sebelumnya. Dan tiba-tiba, sebuah nama terucap dengan mulus dari bibirku.

"Amanda. Amanda Morgan" Aku menyentuh mulutku yang berhasil menyebut nama itu dengan lancar.

Sebuah tempat, muncul di ingatanku. Tanpa menunda waktu, aku segera berlari menuju ke tempat yang kuingat itu.

Aku berlari dan terus berlari, hingga akhirnya aku tiba di sebuah kampus. Ini adalah tempat di mana wanita itu berada.

Kepalaku kembali berdenyut sakit, namun aku terus berlari, mencari keberadaan sosok itu. Dan pada akhirnya, aku melihatnya.

Tidak ada orang lain di tempat itu, membuatnya menjadi satu-satunya sosok yang begitu hidup dan bersinar.

Senyum terpampang jelas di wajahnya, seolah dia tidak pernah melepaskan senyuman itu. Yah, aku mengingatnya. Dia Amanda. Sosok yang aku cintai.

Aku mungkin tidak mengingat kenangan apa pun bahkan namaku sendiri, tapi jika itu tentang dia, aku bisa mengingat semuanya dengan jelas.

Apa yang dia suka, apa yang dia benci, di mana dia tinggal, segalanya tentang dirinya, aku mengingat itu. Bahkan kenyataan bahwa dia tidak pernah mengetahui tentang diriku.

Aku menggenggam erat pakaianku di depan dadaku yang terus berdetak kencang hanya karena melihatnya. Meskipun aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku saja, karena merasa bahwa jantung berdetak.

"Amanda. Dia Amanda." Aku bergumam pelan. Seolah meyakinkan diriku sendiri. Tiba-tiba angin berembus dan mengenai sosoknya. 

Angin itu sepertinya menerbangkan selembar kertas yang ada ditumpukkan buku-buku yang tengah ia bawa. Kertas itu terbang ke arahku dan tanpa sadar, aku menangkap kertas itu.

Bertepatan dengan itu, Amanda yang tadi melihat dengan khawatir kertasnya yang terbang menoleh ke arahku.

Tatapan mata kami bertemu, untuk waktu yang lama kami hanya menatap satu sama lain, dan didetik berikutnya senyumnya terkembang.

Hatiku seketika berdetak kencang, bukan hanya karena senyuman yang ia tampilkan, namun juga kenyataan bahwa sekarang ia tengah tersenyum padaku. Yah, meskipun seharusnya arwah sepertiku tidak memiliki jantung.

Tapi tunggu sebentar, dia bisa melihatku? Bagaimana bisa? Namun pertanyaan-pertanyaan itu segera hilang begitu saja saat pandanganku terpaku pada senyumnya.

Aku memalingkan wajahku yang kurasa memanas. Perlahan aku berjalan mendekat ke arahnya dan menyerahkan kertas itu ketika aku sudah berhadapan dengannya.

"Ah, Terima Kasih. Kertas ini sangat penting, untunglah kau menangkapnya." Suaranya benar-benar seindah yang aku ingat.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal dan berkata pelan. "I-itu bukan masalah." Amanda mengambil kertas yang aku serahkan dan memasukkannya ke dalam buku tebalnya.

Ia kemudian mendudukkan diri di atas kursi yang ada di sampingnya dan menepuk ruang kosong di sebelahnya.

"Hei, duduklah." Dia berkata lembut. Aku hanya bisa mengangguk kecil dan akhirnya duduk  di sampingnya.

"Ah, siapa namamu? Kau dari jurusan mana?" Ia bertanya dengan senyum lebarnya, aku benar-benar tidak tahu bahwa melihat senyumannya dari jarak sedekat ini akan membuatku merasa sangat senang.

"Aku Andrew. Dan, um… Aku hanya mampir kesini," Aku berkata dengan ragu. Aku tidak ingat apa pun, bahkan nama itu aku ketahui dari gelang ditanganku.

"Begitukah? Pantas saja aku merasa wajahmu cukup asing. Eh, aku lupa memperkenalkan diriku sendiri. Namaku Amanda Morgan. Kau bisa panggil aku Amanda atau Amy, teman-temanku biasa memanggilku begitu."

"Amy? Bolehkah aku memanggilmu begitu?" Aku bertanya. Dia hanya tersenyum lebar dan mengangguk. "Tentu."

Senyumannya sangat cantik, dia benar-benar…

"Sangat manis." Aku bergumam pelan.

"Eh? Apa? Aku?" Amanda tampak bingung dan tanpa sadar aku mengangguk. Seketika itu aku dapat melihat semburat merah tipis di pipinya.

"T-terima kasih." Dia berkata pelan sambil menundukkan kepalanya. Wajah bersemunya juga sangat lucu.

"Apa kau dari perpustakaan? Buku yang kau bawa sangat banyak." Aku bertanya sambil menatap tumpukan buku yang ada di antara kami.

"Ya, itu benar. Aku sedang belajar untuk ujian yang akan datang. Ini benar-benar melelahkan." Amanda nampak sangat kelelahan, yah aku bisa lihat itu dengan jelas dari kantung matanya.

"Belajar itu memang penting, tapi jangan berlebihan. Itu tidak akan baik untuk kesehatanmu." Kata-kata bijak itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku bahkan terkejut mendengarnya.

"Ku pikir kau benar. Ah, aku memang terlalu memaksakan diri." Jawabnya.

Setelah itu, entah bagaimana percakapan kami mengalir dengan lancar, bahkan rasanya sangat menyenangkan. Kadang kami akan tertawa bersama jika percakapan itu tentang hal yang lucu.

Ini benar-benar luar biasa. Aku tidak menyangka aku bisa berbicara se-lama ini berdua dengannya.

Percakapan kami terhenti ketika dia mendapatkan sebuah panggilan. Setelah panggilan itu berakhir, aku melihat dia mempoutkan bibirnya.

"Sial, dosen itu bilang dia tidak jadi masuk ke kelas kami hari ini, sekarang tiba-tiba dia akan masuk. Ini menyebalkan." Dia berbicara dengan kesal.

"Kau akan ada kelas?" Aku bertanya padanya.

"Yah begitulah. Uh, ini menyebalkan. Padahal ini sangat menyenangkan untuk berbicara denganmu. Maaf, sepertinya aku harus segera pergi." Dia berkata dengan wajah menyesal.

"Tidak apa. Ini juga sangat menyenangkan untukku." Aku tersenyum maklum. Ia segera bangkit dan merapikan buku-bukunya kemudian mengangkatnya.

"Aku tidak menyangka akan bertemu pria yang menyenangkan sepertimu. Ini benar-benar menyenangkan. Kuharap kita bisa sering bertemu, bye!" Dia berbalik sambil melambaikan tangan dengan senyum lebarnya. Aku balas tersenyum sambil melambaikan tanganku. 

Ketika sosoknya hilang di persimpangan, aku hanya dapat terdiam dan kemudian melompat senang.

"Aku akhirnya berhasil berbicara dengannya!" Aku mendudukkan diri kembali di kursinya sambil menatap langit cerah di atasku.

"Tapi…. Kenapa ini harus terjadi ketika aku sudah mati?" Aku menghela nafas panjang. Aku memejamkan mataku dan terus memutar-mutar kejadian sebelumnya saat kami berbicara bersama.

Aku akan menyimpan ingatan ini sebagai kenangan yang paling indah. Yah, kenangan indah sebagai seorang arwah.

"Bisakah aku yang sekarang bersama dengannya?" Tanyaku pada diriku sendiri. Ini memang menyenangkan untuk bersama dengannya, namun ketika aku mengingat fakta bahwa aku bukan lagi manusia, aku merasakan dadaku sakit.

Bersambung

avataravatar
Next chapter