13 Chapter 12

~Author POV On~

Beberapa bulan kemudian...

Tok... Tokk... Tokkk...

Tak lama, pintu apartment itu terbuka dan menampilkan seorang wanita bersurai blonde yang tampak lebih kurus dari sebelumnya.

"Olivia.'' Sapa pria bersurai hitam itu ceria. "Boleh aku masuk?'' Pintanya.

"Car- Andy?'' Olivia memiringkan tubuhnya agar (mantan) hantu itu dapat memasuki apartmentnya. "Apa yang kau lakukan di sini?'' Tanyanya datar saat pria itu telah masuk dan duduk di sofa ruang tamu apartment nya.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu.'' Andrew menatap Olivia serius. "Kenapa kau pergi dari rumah?'' Tanyanya.

"Bukan urusanmu.'' Jawab Olivia singkat sembari berjalan menuju ke dapurnya.

"Apa yang ingin kau buat?'' Tanya Andrew sembari mengikuti Olivia.

"Kopi atau teh?'' Tawar Olivia sembari memanaskan air yang ada di dalam teko.

"Jangan repot repot.'' Ujar Andrew tidak enak.

"Berisik.'' Olivia melirik Andrew sejenak. "Pertanyaannya kopi atau teh?'' Tanyanya lagi.

"Ka- kalau begitu, kopi saja.'' Jawab Andrew sembari menggaruk pipinya.

"Hm.'' Sahut Olivia sembari membuat dua cangkir black coffee untuk dirinya dan Andrew. "Nih.'' Ia menyerahkan secangkir kopi pada pria itu.

Andrew menerima kopi itu dan segera menyesapnya pelan. "Terima kasih. Ini enak.'' Pujinya.

"Apa kau baru saja mengasah kemampuan barumu?'' Olivia mendudukkan dirinya di kursi makan.

"Hah?'' Andrew menyandarkan dirinya di tepi meja. Tepat di sebelah Olivia. "Apa maksudmu?'' Tanyanya.

"Menggombal.'' Balas Olivia setelah menyesap kopinya. "Karena sekarang kau memiliki tubuh jadi kau mengasah kemampuanmu sebagai laki laki.'' Ia melirik Andrew sejenak.

Andrew menaikkan sebelah alisnya. "Sebenarnya apa yang kau bicarakan dari tadi sih?'' Tanyanya dengan menampilkan wajah bodoh.

"Jangan membuat wajah bodoh dengan tubuh itu.'' Protes Olivia.

Andrew meletakkan cangkirnya sebelum berjongkok di samping Olivia. "Tubuh ini sudah milikku loh.'' Ujarnya sembari menatap wanita yang sekarang membalikkan tubuh menghadapanya.

Olivia mengulurkan tangannya dan menyentuh sebelah pipi Andrew. "Aku tau.'' Ujarnya sebelum menarik tangannya.

Namun sebelum benar benar terlepas dari pipinya, Andrew menahan tangan Olivia dan kembali menempelkannya di pipinya. "Aku suka kehangatan tanganmu.'' Ujarnya. "Seperti tangan seorang ibu.'' Ia tertawa pelan.

"Kalau kau berkata seperti itu, Mrs. Johnson pasti akan sedih.'' Ujar Olivia datar.

"Mommy pasti setuju denganku.'' Andrew semakin menempelkan tangan Olivia di pipinya. "Olivia sudah seperti mommy kedua untukku.'' Ujarnya.

"Apa maksud ucapan tidak berdasar dan tidak jelasmu itu?'' Olivia menatap Andrew datar.

"Hehehe...'' Andrew tertawa pelan. "Aku ingin meminta restumu.'' Ujarnya.

"Untuk?''

"Melamar Amy.''

"Oh.''

"Hanya itu?''

"Lalu?''

"Katakan sesuatu yang lebih seperti seorang ibu dong.'' Protes Andrew. "Atau tersenyum lagi seperti saat aku pertama kali bangkit.'' Ujarnya.

"Satu, aku bukan ibumu. Dua, tidak ada keuntungan aku tersenyum padamu.'' Balas Olivia datar dan dingin.

Andrew menunduk sejenak. "Kau benar.'' Ia kembali mendongakkan kepalanya. "Kalau begitu kau merestuiku kan?'' Tanyanya lagi.

"Kalau aku bilang tidak, apa kau akan mendengarkan?''

"Tentu saja tidak.'' Andrew menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Tapi ku yakin, kau pasti merestuiku.'' Ujarnya ceria.

"Yasudah.'' Balas Olivia cuek.

Selanjutnya mereka berdua hanya saling terdiam dan larut dalam kesunyian. Mereka saling menatap satu sama lain tanpa adanya percakapan di antara mereka.

Sampai pada akhirnya, Olivia meletakkan tangannya yang bebas di sisi lain wajah Andrew dan menangkupnya. Ia sedikit mendongakkan kepala itu agar semakin menghadapnya.

"Aku bukan dia, Olivia.'' Ujar Andrew sembari membalas tatapan datar Olivia dengan tatapan sendu.

"Aku tau.'' Olivia memejamkan kedua matanya sejenak sebelum melepaskan kedua tangannya dari wajah Andrew. "Maafkan aku.'' Ujarnya.

Andrew menatap Olivia sejenak sebelum menarik tangan wanita itu sehingga membuatnya jatuh menimpanya. Sebelum wanita itu sempat membuka mulutnya untuk melayangkan kalimat protesnya, ia lebih dulu membungkam bibir wanita itu dengan ciumannya.

Ia merasakan bahwa wanita itu terkejut. Sangat terkejut. Tapi ia tau, wanita itu tidak menolak. Mungkin, nanti. Ia harus meminta maaf padanya nanti

Andrew semakin menekan tengkuk Olivia agar semakin menempelkan bibirnya dengannya. Dengan sebelah tangannya yang lain, ia mendekap tubuh wanita yang tampak lebih kurus dari waktu terakhir mereka bertemu.

Tak lama, Andrew melepaskan ciumannya dan menemukan Olivia sedang menatapnya dengan pandangan sendu. "Jangan melakukan hal itu.'' Ujar wanita itu tanpa bisa menyembunyikan kesedihan dari kalimatnya.

"Maafkan aku.'' Andrew menarik Olivia ke dalam dekapannya. "Maafkan aku, Olivia.'' Ujarnya.

"Kumohon, jangan lakukan itu padaku.'' Olivia menggenggam erat sisi pakaian yang di kenakan oleh Andrew. "Kau itu Andrew, si hantu bodoh yang tergila gila pada gadis manis di kampus.'' Ia semakin mengeratkan genggamannya di pakaian pria itu.

"Maafkan aku, Olivia.'' Andrew semakin membenamkan Olivia pada dada bidangnya.

"Jangan membuatku berpikir bahwa kau adalah pria itu, bodoh.'' Tubuh Olivia bergetar menahan tangisannya.

"Maafkan aku, Olivia.'' Andrew membenamkan kepalanya di cerukan leher Olivia. "Maafkan aku.'' Ulangnya.

"Aku tidak tahan melihatmu seperti ini.'' Ujarnya. "Aku tidak mau bahagia di atas kesedihanmu, Olivia.'' Pria itu menangis pelan.

"Jika dengan menjadi Carla kau akan lebih baik, aku akan tetap menjadi dirinya untukmu.'' Ujar Andrew serius.

Olivia melepaskan pelukan Andrew cepat. Lalu ia memukul kepala pria itu gemas. "Jangan berkata seolah olah kau itu pria single, bodoh.'' Ujarnya tanpa menyembunyikan air mata yang tampak meleleh di sudut matanya.

"Kalau begitu, jangan bersedih di saat pria bodoh ini akan melamar kekasihnya, wanita gila.'' Andrew mencubit pipi Olivia gemas.

Mereka saling bertatapan tanpa menyembunyikan fakta bahwa mereka sama sama mengeluarkan air mata. Tak lama, mereka saling tertawa pelan. Tertawa bersama untuk yang pertama kalinya. Tertawa bersama, untuk menyembuhkan hati yang luka.

.

.

.

.

.

*Beberapa hari kemudian*

Amanda saat ini duduk termenung di kursi taman tempat dia dan Andrew bertemu. Matanya terpejam menikmati udara segar yang menerpanya. 

"Aku tidak percaya aku benar-benar menjalin hubungan dengan seorang hantu." Senyumnya terkembang setelah ia mengatakan itu.

"Tapi dia hantu yang bahkan takut pada hal menyeramkan," Amanda mengingat kejadian ketika dia menakuti Andrew didalam rumah hantu saat mereka pergi ke taman bermain.

"Namun dia juga yang berhasil menyelamatkanku. Dia benar-benar hantu yang penuh kejutan." Amanda terus bergumam dengan mata terpejam. Entah mengapa dia jadi merasa bersyukur dengan kemampuan nya untuk melihat mahluk yang bukan manusia.

Padahal ketika ia mendapatkan kemampuan ini pasca kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya, dia benar-benar membencinya. Dia benci kemampuan ini, karena setiap kali dia melihat mahkluk aneh yang tidak hidup dengan matanya sendiri, dia terus menerus teringat tentang kecelakaan itu.

Namun entah kenapa ini tidak berlaku saat ia melihat Andrew, meskipun kini dia sudah tahu bahwa pria itu adalah arwah.

Sayangnya sudah hampir beberapa bulan berlalu sejak mereka mulai menjalin hubungan, namun tiba-tiba Andrew jadi susah ditemui. Entahlah, Amanda merasa seperti Andrew sengaja menghindarinya entah karena alasan apa.

"Dasar arwah penasaran yang menyebalkan." Ujar Amanda pelan dan membuka matanya perlahan. Namun ia kemudian dikagetkan dengan sosok pria asing yang memperhatikannya dari dekat.

"S-siapa kau!?" Tanya Amanda was-was. Dia tidak pernah melihat pria ini sebelumnya, namun entah kenapa pria ini mengeluarkan aura yang familiar.

Pria itu tertawa renyah dan menudukan diri disampingnya. "Saya tadi kebetulan lewat dan melihat anda bergumam hal-hal yang tidak jelas, jadi saya bermaksud mendengarkan itu dari dekat."

Pria itu berseru ringan. Ia kemudian menatap balik Amanda yang sedari tadi memperhatikannya. "Jadi, siapa sebenarnya arwah penasaran yang menyebalkan, yang sedari tadi anda gumamkan?" Tanya pria asing itu dengan penasaran.

Amanda menatap kearah sosok itu dengan tajam sebelum akhirnya menjawab dengan wajah serius. "Dia adalah arwah yang tidak peka, tukang gombal, cerewet, penakut."

Pria itu tampak mengangkat alisnya dan mengangguk. Namun didetik berikutnya Amanda kembali melanjutkan perkataannya.

"Tapi dia juga sosok yang perhatian, lembut dan penyayang. Dan aku sangat mencintainya." Amanda berucap mantap.

Mendengar perkataan Amanda membuat wajah pria itu memerah. Ia pun segera memalingkan wajahnya, berusaha untuk menyembunyikannya.

"Tapi, kenapa Anda bertanya?" Amanda memiringkan kepalanya bingung sambil menatap kearah pria asing itu. Perlahan sang pria melirik kearah tatapan Amanda dan berkata dengan ragu.

"Itu… Aku… Maukah… aku…" Dan akhirnya sang pria hanya dapat mengulang dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dan membuat Amanda semakin bingung.

Sesosok wanita yang sedari tadi memperhatikan interaksi keduanya, karena tidak tahan akhirnya berjalan mendekat dengan membawa sebuah buket bunga matahari yang sebelumnya dititipkan oleh sang pria padanya.

Amanda yang melihat wanita yang ia kenal itu langsung menyapanya dengan senyuman. "Olivia!" Amanda melambaikan tangan.

Namun apa yang Olivia lakukan berikutnya hampir membuat membuat Amanda terjatuh dari tempat duduknya.

"Menikahlah denganku." Olivia menyerahkan bunga matahari itu padanya dan mengatakan kata-kata itu dengan datar. Tentu saja Amanda akan terkejut.

"Ha? K-kau melamarku?" Amanda menunjuk dirinya sendiri dengan wajah terkejut tidak percaya. Tapi didetik berikutnya, buket bunga itu melayang (*dilempar) dan mengenai tepat diwajah pria yang duduk disamping Amanda.

"Mau sampai kapan kau merepotkanku terus, huh, Hantu bodoh?'' Ujar Olivia dingin.

"Eh!? Jangan-jangan… Dia…." Amanda menatap pria disampingnya itu dengan mata terbelalak. Andrew memegang buket bunga yang sebelumnya mengenai wajahnya ditangan kanannya dan tersenyum canggung.

"H-hai Amy." Sapa nya pelan. "Kau pasti sangat tidak menyangka-" Perkataan Andrew terhenti ketika Amanda memotong ucapannya.

"Ya. Soalnya pria ini lebih tampan darimu." Amanda menatap Andrew serius, membuat hantu yang kini sudah menjadi manusia itu berjongkok dan memulai aksi pundung nya.

"Hei bodoh. Jangan buat posisi menyedihkan dengan tubuh itu." Olivia menatap Andrew tajam kemungkinan menendang punggungnya.

"Cih." Andrew berdecih pelan dan mulai bangkit kembali, ia kemudian berbalik dan menatap kedua sosok wanita itu dengan tatapan sedih.

"Kalian berdua sangat kejam padaku."

Olivia hanya memutar matanya bosan sementara Amanda tertawa mendengar perkataan Andrew.

"Ah, siapa yang lebih kejam disini? Seseorang yang bahkan menghidariku selama beberapa bulan?" Amanda tersenyum, namun kali ini Andrew tidak bisa merasakan kehangatan dari senyumannya, melainkan hawa yang menakutkan.

"A-Amy…. Aku tidak bermaksud begitu…" Andrew menggaruk kepalanya dan mengalihkan pandangannya. Sebelumnya dia benar-benar tidak mempunyai keberanian untuk menemui Amanda dengan tubuh barunya ini.

Namun didetik berikutnya suara tawa terdengar. "Hahaha. Wajahmu sangat lucu. Tenanglah aku hanya bercanda." Amanda menatap Andrew dengan senyum lebarnya yang biasa.

"Kau tahu, tidak peduli seperti apa penampilanmu, apapun dirimu, aku tetap akan mencintaimu apa adanya." Andrew yang mendengar itu agak tercengang. Andrew kemudian menarik nafas dalam-dalam dan mempersiapkan mentalnya. Ia mengulurkan bunga itu dan berkata dengan mantap.

"Jadilah milikku, Amy."

Ekspresi Olivia seketika berubah menjadi sangat datar. Pria ini kadang memang terlalu ceplas-ceplos. Untungnya Amanda nampak tidak merasa buruk tentang ini.

"Sebelum itu, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Amanda menatap kearah Andrew dengan serius. Andrew yang ditatap seperti itu langsung gugup dan mengangguk pelan.

"Kenapa kau mencintaiku?" Amanda bertanya. Andrew seketika itu terdiam. Dia menatap Amanda dengan dalam dan berkata pelan.

"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya mencintai segalanya tentangmu. Apakah kau masih mau menerimaku dengan alasan ini?" Andrew menatap Amanda serius. Sebenarnya, ini bukanlah alasan yang benar, Andrew dulu adalah bocah laki-laki yang lemah, dia mudah sakit, sehingga dirinya sering berpikir bahwa hidupnya mungkin tidak akan lama.

Amanda adalah orang yang mampu membuatnya memiliki keinginan untuk terus hidup. Yah, dengan mencintainya.

Meskipun pada akhirnya dia tetap mati. Namun cintanya pada wanita ini terus bertahan. Karena bagi Andrew, Amanda adalah hidupnya.

Sosok Amanda yang tampak bersinar terang, seperti matahari, itu benar-benar berhasil menerangi harinya. Yah, ini mungkin terdengar seperti menggombal, tapi itulah kenyataannya. Dan Andrew hanya benar-benar ingin bersama dengannya.

"Begitukah? Sungguh alasan yang sederhana. Baiklah, aku bersedia." Amanda tersenyum tulus. Andrew yang mendengar itu langsung saja memeluk Amanda erat dan langsung dibalas oleh Amanda.

Olivia yang melihat itu tersenyum kecil, sementara itu dikejauhan dua sosok lain yaitu Carla dan Edward yang menyaksikan momen itu juga nampak tersenyum bahagia.

Yah, aksi melamar kali ini sepertinya berhasil.

Bersambung

avataravatar
Next chapter