11 Chapter 10

Perlahan Amanda mengedipkan matanya pelan. Ketika ia berhasil melihat, dirinya dapat menyadari sosok yang saat ini tengah memangku dirinya.

"An-drew?" Segera Andrew menoleh kebawah dan mendapati Amanda yang sedikit sadar. Ia langsung menyentuh kedua pipinya.

"Amy! Hei Amy bertahanlah!" Amanda tidak terlalu fokus pada ucapan Andrew karena rasa dingin yang luar biasa saat sosok Andrew menyentuh pipinya.

"Apa yang terjadi?" Amanda bertanya dengan nada lemah. Namun ia kemudian merasakan usapan lembut namun dingin pada surai hitamnya.

"Kami sudah menyelamatkanmu, sekarang kau akan baik-baik saja." Andrew berujar dengan senyum lemah.

"Kami?" Amanda kemudian mengalihkan pandangannya pada sosok yang bersandar tidak sadarkan diri disebelahnya. Sosok wanita yang ia benar-benar tidak tahu siapa, namun tampaknya wanita ini terluka.

"Maafkan aku…" Setelah mengatakan itu Amanda kembali menutup matanya dan tidak sadarkan diri.

"Hei Amy! Bangun!" Andrew berteriak panik. Seolah mengetahui dan mendengar teriakan Andrew, Leon yang saat ini tengah menyupir mobil menuju rumah sakit berkata pelan.

"Tenanglah, dia hanya pingsan karena efek obat bius yang diberikan padanya terlalu banyak."

Namun bukannya tenang, Andrew merasa semakin khawatir setelah mendengar penjelasan itu. Tatapannya kemudian jatuh pada sosok wanita lain yang juga tidak sadarkan diri disampingnya.

Sial, kedua wanita ini benar-benar bisa membuatnya mati lagi karena khawatir.

~Skip~

Andrew saat ini ada dikamar Olivia. Di atas tempat tidur tampak sosok Olivia yang tidak sadarkan diri tengah terbaring.

Sebenarnya tadi Leon pertama-tama mengantarkan Olivia ke rumahnya, karena alasan jika rumah Olivia lebih canggih dari rumah sakit kebanyakan. Dan tentu saja yang mengurus dan mengobatinya adalah Edward.

Sementara Amanda, Leon membawanya ke rumah sakit. Ketika Andrew ingin ikut bersama mereka (*mereka berkomunikasi dengan perantara Edward sebagai penerjemah)

Leon mengatakan jika dialah yang akan mengurus Amanda dan meminta Andrew untuk menjaga Olivia sebagai gantinya. Dia berjanji bahwa dia akan melakukan perawatan khusus untuk Amanda sehingga Andrew tidak perlu khawatir.

Dan itulah bagaimana ia bisa berakhir disini. Andrew menghela nafas lelah dan memutuskan untuk pergi ke ruang tamu dan duduk dengan memeluk lututnya.

Kejadian hari ini terlalu luar biasa untuk hari-harinya yang biasa. Dia sepertinya juga butuh istirahat, namun tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.

"Hai." Langsung saja Andrew menoleh kebelakang dan mendapati sosok pria tinggi dengan senyum yang menawan.

"Apa aku mengganggu istirahatmu?" Pria itu mendudukkan dirinya disamping Andrew.

"S-siapa kau? Kau bisa melihatku?" Andrew bertanya gugup, pasalnya dia belum pernah melihat pria ini sebelumnya. Apa jangan-jangan dia juga orang yang berkerja disini?

"//chuckles// aku ini sama sepertimu loh.'' Pria itu berkata dengan santainya. Andrew yang mendengar pernyataan pria itu langsung membelakangi matanya dan agak menjauh darinya karena efek kaget.

"Jadi kau!?..." Andrew menggantung perkataannya, tidak berani melanjutkan karena takut dirinya salah. Pasalnya sosok pria ini benar-benar tidak terlihat seperti hantu sedikitpun!

"Hantu." Sosok itu menyambung perkataan Andrew dengan santainya.

"Hiiiiiii….!!!" Andrew menatap ngeri sekaligus tidak percaya pada sosok pria itu. Ini adalah pertama kali baginya untuk berbicara dengan seseorang yang yang sejenis (*sama-sama arwah) dengannya.

"Apa aku mengejutkanmu?" Sosok itu bertanya. Andrew yang merasa bahwa dia tampak tidak berbahaya hanya bisa menghela nafas dan mencoba tenang.

"Yah sedikit." Jawab Andrew.

"Ah, benar juga. Aku lupa memperkenalkan diri, namaku Carla, Carla Gardner. Kakak Olivia." Carla tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada Andrew.

Andrew yang melihat uluran tangan itu segera menyambutnya dan nampak terdiam sejenak. Carla? Mengapa dia merasa nama itu tidak asing?

Ah, itu benar. Kemarin ketika dia mencoba membangunkan Olivia, wanita itu mengigau dan menyebut namanya. Jadi dia adalah kakaknya ya?

"Andrew." Andrew menjawab perkenalan itu. Setelah selesai berjabat tangan, mereka berdua terdiam dalam keheningan.

"Jadi akhirnya kau berhasil menyelamatkan orang yang kau cintai itu, hm?" Carla membuka pembicaraan.

"Yah. Tapi karena itu, Olivia jadi-" sebelum Andrew sempat menyelesaikan perkataannya, ia merasakan sikutan pada lengannya.

"Oi, jangan mengatakan hal yang aneh-aneh. Kau tahu, sejak kedatanganmu disini, Olivia setidaknya jadi sedikit berubah. Yah kau tahukan seberapa dingin dan cueknya dia. Aku benar-benar tidak tahu dia menuruni sikap itu dari siapa." Ujar Carla dengan tatapan menerawang.

"Padahal ketika kecil, ia manis sekali." Tambahnya dengan senyum lebar. Andrew yang melihat ekspresi wajah Carla hanya dapat mengangguk kecil.

"Kau tampaknya sangat menyayanginya ya," mendengar pernyataan Andrew membuat Carla segera menoleh.

"Yah aku sangat menyayanginya. Karena itu, aku memiliki sedikit permintaan kecil untuk mengutarakan rasa terima kasihku karena telah bersamanya. Maukah nanti kau memakai tubuhku?" Carla bertanya serius.

"T-tubuhmu?" Andrew menatap Carla syok.

"Kenapa? Bukannya akan lebih baik jika kau bisa dihidupkan kembali ditubuhmu sendiri? Jadi kenapa kau ingin aku memakai tubuhmu?" Tanya Andrew bingung.

"Menurut hukum alam. Orang yang sudah mati tidak dapat kembali ke tubuhnya. Jadi itu sangat tidak mungkin untukku masuk ke tubuhku sendiri, maka dari itu aku ingin memberi tubuhku padamu. Setidaknya jika kau yang memilikinya, aku bisa merasa tenang." Ujar Carla. Andrew hanya dapat menatap Carla bingung, namun akhirnya dia mengangguk.

"Bagus! Aku senang mengetahui kau setuju! Baiklah, aku harus pergi ketempat Olivia, kau juga istirahatlah. Ini hari yang panjang bagimu bukan?" Setelah mengatakan itu, Carla bangkit dan menuju ke kamar Olivia. Sementara Andrew memutuskan untuk pergi ke kamarnya.

.

.

.

.

.

.

.

Sosok wanita yang tengah memandangi pemandangan di luar jendela dari atas tempat tidur di salah satu kamar rumah sakit itu nampak termenung memikirkan sesuatu entah apa.

Tatapannya kemudian jatuh pada pipinya. Sebelumnya Andrew benar-benar menyentuhnya. Yah, hal yang selalu ingin ia rasakan adalah sentuhannya. Tapi, mengapa sentuhan yang seharusnya hangat itu begitu dingin?

Sebuah kilasan ingatan muncul dikepalanya. Itu adalah saat pertemuan keduanya dengan Andrew. Waktu itu dia berniat menggandeng tangannya namun Andrew segera menjauh.

Alasan mengapa Andrew menghindar bisa saja karena dia takut jika Amanda mengetahui yang sebenarnya bukan?

Amanda akhirnya hanya menghela nafas, dan memilih untuk memendamkan wajahnya didalam tekukkan lututnya.

'Andrew…. Kau sebenarnya….' Amanda tidak berani melanjutkan perkataannya di dalam hati setelah memikirkan kemungkinan yang terjadi.

Jika yang ia pikirkan benar, kira-kira apa yang harus dirinya lakukan kemudian?

Ketika Amanda disibukkan oleh pikiran-pikiran dikepalanya, pintu kamar tempat ia berada tiba-tiba saja terbuka. Amanda segera menoleh kearah pintu dan mendapati sosok wanita yang ia lihat sebelumnya.

"Kau?" Amanda segera meluruskan kakinya dan hendak turun dari tempat tidur, namun dengan cekatan Olivia menghentikan aksinya itu dengan menahannya.

"Tidak apa. Aku disini karena hanya ingin berbicara denganmu, btw kau bisa panggil aku Olivia." Olivia segera duduk diatas kursi yang ada disamping tempat tidur. "Jadi bagaimana keadaanmu?"

Amanda hanya tersenyum lebar dan berkata dengan lembut, "Aku baik-baik saja. Ini berkat bantuan anda dan tuan Leon. Terima kasih." Amanda mengucapkan itu dengan tulus.

"Simpan ucapan terima kasihmu itu untuk pria bodoh itu." Olivia menjawab dengan datar. Amanda yang mendapat respon itu bukannya merasa kesal malah tertawa.

"Yah. Aku akan menyampaikannya padanya nanti, namun kau juga ikut membantuku, jadi aku ingin berterima kasih!" Amanda kembali tersenyum lebar dan menatap Olivia dengan penuh kehangatan.

Yah, saat sosok mereka berdua bertemu dan bersama seperti ini, mereka benar-benar nampak bagaikan es dan api yang dipertemukan. Benar-benar jauh berbanding terbalik satu sama lain.

"Ha…. Baiklah, terserah apa katamu." Olivia menghela nafas dan memutuskan untuk membiarkan wanita itu mengatakan apapun yang ia inginkan.

Suasana hening terjadi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Amanda mulai pembicaraan.

"Sepertinya alasanmu menemuiku bukan hanya untuk menanyakan keadaanku bukan?" Tebak Amanda sambil menatap Olivia dengan senyum lemah.

Olivia hanya melirik sekilas dan memilih untuk menatap kearah pemandangan diluar jendela. "Kau pasti menyadarinya saat ia menyentuhmu bukan? Aku mendengar ini dari pria bodoh itu ketika dia menceritakan apa yang terjadi saat aku tidak sadarkan diri." Olivia berkata tanpa menatap ke arah Amanda sedikitpun. Amanda hanya tersenyum sebagai balasan dan ikut menatap ke arah luar jendela.

"Yah, karena itu kau disini untuk menjawab semua pertanyaan ku bukan?" Ucap Amanda pelan. Olivia hanya bergumam kecil sebagai balasan.

"Jadi, siapa Andre sebenarnya?" Amanda menoleh dan menatap Olivia. Merasakan bahwa ada tatapan yang tertuju padanya, Olivia akhirnya ikut menoleh dan menatap balik Amanda.

"Arwah genit yang lupa ingatan dan hanya dapat mengingat orang yang ia cintai. Benar-benar menyedihkan," Olivia kembali mengalihkan pandanganku pada jendela.

Mendengar jawaban Olivia sedikit membuat wajah Amanda nampak memerah. "O-orang yang ia cintai? S-siapa itu?" Amanda bertanya dengan gugup.

Olivia melirik ke arah Amanda dan berkata dingin. "Kau ini bodoh atau memang tidak peka? Memangnya kau pikir siapa orang yang ia berusaha selamatkan dengan susah payah jika bukan kau?" Amanda yang mendengar jawaban itu langsung memerah malu, dan mulai menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangannya.

"That's right," gumam Amanda pelan. Setelah itu suasana kembali hening untuk sesaat, namun kemudian Olivia bertanya dengan tiba-tiba.

"Jadi apa yang akan kau lakukan?" Olivia menatap mata Amanda serius. Amanda yang ditatap seserius itu menjadi agak gugup.

"A-aku…" Sebelum Amanda sempat menyelesaikan perkataannya, pintu kamar tiba-tiba saja terbuka dan menampilkan sosok Andrew yang tampak kelelahan?

"Aku dengar Amanda sudah sadar!" Ia berteriak dengan ekspresi senang. Namun ketika ia melihat atmosfer ruangan yang tiba-tiba serius, dengan cengengesan ia menggaruk tengkuknya.

"Ah, apa aku mengganggu kalian?" Tanyanya bingung. Sementara itu dibelakangnya sosok pria yang tidak lain dan tidak akan adalah Leon yang kebetulan lewat sebelumnya, terlihat ikut bingung dengan atmosfer ruangan ini.

"Eh? Apa yang terjadi?" Leon menatap semua orang bingung. Namun didetik berikutnya Olivia bangkit dan berjalan ke arah Leon untuk menariknya keluar.

"Lakukan yang terbaik." Setelah mengatakan itu, Olivia keluar dari ruangan itu dengan Leon yang ia tarik, menyisakan kedua sosok yang sama-sama bingung didalam kamar rumah sakit itu.

Andrew berdehem pelan sebelum akhirnya duduk di kursi yang diduduki Olivia sebelumnya. "Jadi…. Bagaimana perasaanmu?" Tanya Andrew dengan gugup. Amanda tersenyum dan berujar pelan.

"Aku merasa lebih baik." Amanda menatap ke arah Andrew. Andrew yang ditatap begitu menjadi sedikit gugup dan mengalihkan perhatiannya kesamping dengan wajah memerah.

"Aku senang mendengarnya." Andrew berkata pelan. Tiba-tiba saja dia merasa bersalah setelah melihat keadaan Amanda, itu karena gadis manis itu berada di tempat ini gara-gara dirinya.

"Maaf Amy. Kau ada ditempat ini gara-gara aku, jika saja aku tidak mengajakmu pergi waktu itu atau bahkan seandainya aku tidak pernah menyapamu, kau tidak akan ber-akh!" Sebelum Andrew sempat menyelesaikan perkataannya, dia merasakan pukulan keras mengenai kepalanya.

Ketika ia mendongak, ia langsung bertemu dengan tatapan datar yang baru pertama kali ini dia lihat dari sosok Amanda.

"A-Amy?" Andrew berkedip bingung.

"Ah, akhirnya aku bisa memukulmu. Aku sangat ingin dari awal memukul kepala mu karena terus menerus membuat hatiku berdetak kencang. Namun sekarang aku sangat ingin memukulmu karena kebodohanmu." Amanda mengibas-ngibaskan tangannya yang ia gunakan untuk memukul Andrew sebelumnya dengan santai.

"Itu bukan salahmu. Cepat atau lambat Kevin pasti akan melakukan itu padaku. Yah, ini sebenarnya salahku karena dari awal tidak menegaskan hubungan kami dengan benar, padahal aku sudah menganggapnya seperti kakak ku sendiri." Amanda membuat pose berpikir.

"Meskipun aku tidak bertemu dengan mu, suatu hari nanti pasti ada pria yang juga akan mendekatiku dan tetap saja aku akan berakhir seperti ini, atau mungkin lebih buruk." Amanda memberi jeda pada perkataannya dan mengalihkan pandangannya dari tatapan Andrew.

"Karena itu jangan mengatakan hal bodoh seperti kau menyesal karena sudah bertemu denganku… Karena bagiku, bertemu denganmu adalah hal yang paling membahagiakan yang terjadi setelah kematian kedua orang tuaku." Amanda menatap ke arah lain dengan wajah yang memerah.

Andrew yang awalnya tidak mengerti dan masih memproses makna dibalik kata-kata itu langsung saja ikut memerah ketika akhirnya dia mengetahui makna tersembunyi didalamnya.

"B-bolehkah aku… M-Memelukmu?" Andrew berkata dengan ragu, Amanda yang ditanyai begitu hanya dapat semakin memerah malu dan mengangguk singkat.

Segera saja Andrew bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Amanda yang tengah duduk diatas tempat tidur pasien.

"Aku benar-benar bersyukur karena kau tidak apa-apa." Andrew menutup matanya dan mengeratkan pelukannya. Amanda yang masih memerah, dengan ragu mengangkat tangannya dan berusaha balas memeluk tubuh dingin Andrew.

"Dan aku sangat berterima kasih karena telah menyelamatkanku. Kau memang pangeran berkuda putihku ya." Amanda mengatakan itu dengan cekikikan kecil. Sayangnya, Andrew tidak merasa bahagia dengan hal itu.

Pelukan itu terlepas dan Andrew menatap mata Amanda dengan dalam. "Amy, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, aku… Aku sebenarnya bukanlah manusia… A-aku hanyalah arwah dari orang yang sudah mati. Maafkan aku karena menyembunyikan ini darimu."

Andrew menuduk sedih setelah mengatakan itu. Dia tahu dengan kenyataan ini, dia tidak akan mungkin bisa bersama dengan Amanda.

"Lalu memangnya kenapa?" Perkataan yang dilontarkan Amanda segera membuat Andrew mendongak dan ia segera bertemu dengan wajah tersenyum Amanda.

"Apapun dirimu, yang aku tahu, aku sangat mencintaimu. Ah, bukankah ini agak aneh? Bagaimana bisa aku mengakui itu pada pria yang baru kukenal dalam waktu singkat." Amanda memegangi pipinya yang memerah.

Andrew yang mendengar itu tidak tahu harus bereaksi apa. Haruskah dia senang karena perasaannya terbalaskan, atau sedih karena kenyataannya mereka tidak bisa bersama Meskipun mereka saling mencintai.

"Aku sangat mencintaimu, benar-benar mencintaimu." Andrew mengulurkan tangannya untuk menyentuh rambut hitam Amanda yang terurai dan menciumnya pelan.

"Aku ingin menyentuhmu, aku ingin memelukmu, aku ingin bisa berkencan dengan normal bersamamu. Aku benar-benar ingin menjadikanmu milikku." Andrew berakhir membaringkan kepalanya diatas pangkuan Amanda.

"Karena itu, aku akan melakukan apapun agar bisa kembali hidup dan bersama denganmu. Meskipun aku harus mati berulang kali dan melakukan berbagai percobaan aneh bersama ilmuwan gila itu. Aku akan melakukan segalanya, karena aku benar-benar ingin bersamamu." Andrew berujar sedih. Namun tiba-tiba dia merasakan elusan dikepalanya.

"Aku tidak terlalu mengerti apa yang kau katakan. Namun sepertinya kau melakukan sesuatu yang sangat luar biasa hanya untuk bersamaku. Kalau begitu aku akan mendukungmu, apapun yang terjadi, yakinlah jika aku akan selalu mencintaimu." Amanda berucap lembut.

"Tapi Amy, kenapa kau mencintaiku? Aku sangat ingin tahu alasannya." Tanya Andrew dengan penasaran. Sebagai balasan, Amy tidak mengatakan apapun dan hanya tertawa pelan.

"Apa aku perlu alasan untuk mencintaimu?" Pernyataan Amy sukses membuat Andrew memerah malu. Sial, setiap kali dia mendengar kata-kata cinta keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu, dia merasa seperti sedang terbang.

Amanda yang melihat respon Andrew semakin melebarkan senyumnya. Ingatan berharga yang sebelumnya hilang darinya, kini melintas dikepalanya.

*Flashback*

Itu adalah ingatan tentang si Amanda kecil yang bersedih karena kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan dan dihibur oleh anak laki-laki yang tidak ia kenal.

"Jangan menangis, nanti cantikmu luntur loh, ayo tersenyumlah!" Anak laki-laki itu memberikan setangkai bunga matahari padanya. Karena waktu pandangannya kabur karena air mata, dia jadi tidak dapat melihat dengan jelas wajah anak laki-laki itu.

"An! Kita harus segera pergi!" Sebuah suara berat memanggil nama anak itu, segera saja sang anak laki-laki berteriak.

"Aku akan kesana Dad!"

Tatapan anak laki-laki itu kemudian kembali ke arah Amanda kecil yang memegang bunga matahari dengan bingung.

"Tersenyumlah! Seperti bunga itu. Aku yakin jika kau tersenyum, kehangatan akan memancar darimu! Bye!"

Anak laki-laki itu melambaikan tangan dan berlari menjauh dari sosok Amanda kecil yang memegang bunga matahari itu erat.

Sejak saat itu dia bertekad untuk bisa terus tersenyum dan bersinar terang seperti bunga matahari pemberian anak laki-laki itu.

*Flashback end*

Andrew menatap Amanda yang termenung dengan senyum itu bingung, namun ia memutuskan untuk tidak peduli dan memilih untuk memejamkan matanya.

"Senyumanmu sangat hangat," kata Andrew pelan setelah menutup matanya. Amanda yang mendengar itu hanya menatap Andrew dengan senyum nya dan berujar pelan.

"Aku tahu itu."

Cahaya keemasan dari jingga mentari senja, menyinari kedua sosok itu. Persis seperti sinar jingga yang menyinari dua anak kecil diingatan Amanda sebelumnya.

*Olivia and Leon side*

Olivia dan Leon sekarang ada taman rumah sakit. Olivia nampak memandangi langit diatasnya dalam diam, tiba-tiba saja ia merasakan seseorang memeluknya.

"Apa yang kau lakukan?'' Olivia bertanya dengan dingin pada Leon yang tengah memeluknya.

"Membuatmu merasa lebih baik.'' balas Leon dengan santainya.

"Terima kasih. Tapi aku tidak memerlukannya.'' Olivia berujar pelan.

"Kalau begitu, setidaknya izinkan aku memelukmu seperti ini.'' mohon Leon. Namun tentu saja Olivia menolaknya.

"Aku tidak mengizinkannya. Sekarang lepaskan aku." Olivia berusaha melepaskan pelukan Leon darinya.

Leo nampak mempoutkan bibirnya. "Kejamnya.'' Keluhnya namun tetap tidak melepaskan pelukannya. Setelah cukup lama terdiam, Leon akhirnya kembali berbicara.

"Olive, aku akan pergi. Jadi jaga dirimu baik baik.'' Leon berseru pelan. Namun Olivia hanya membalas dengan gumaman cuek.

 "Hm.'' 

Yah itu karena Olivia sudah mendengar kabar jika Leon akan kembali ke profesinya sebagai dokter militer. Jadi karena itulah mengapa ia tidak terlalu kaget.

"Sampai akhir, kau pun tetap dingin padaku.'' Leon sambil ketawa dan lepasin pelukkan

"Aku mencintaimu. Tapi aku tau jawabanmu. Yang kau cintai, pria itu kan?'' Leon berujar pelan, membuat Olivia sedikit membelakangi kaget.

"Kau-'' Olivia menggantung kata-katanya, karena tidak tahu harus mengatakan apa.

"Hahaha... Aku tau semuanya.'' Leon berseru senang sambil mengusap kepala Olivia lembut.

"Jaga dirimu baik baik.'' Lanjutnya kemudian.

Olivia hanya menatap Leon dalam diam. "Kau juga. Senang mengenalmu, si berisik Bennington.'' Sahut Olivia.

"Tentu. Sampai bertemu lagi. Ah, aku pastikan kau akan bertemu dengan anak dan istriku di masa depan…" Leon melambaikan tangan pada Leon, sementara Olivia hanya terdiam dan menatap kepergiannya.

Pada akhirnya hanya dirinya yang tersisa ditaman ini, Olivia memejamkan matanya dan menikmati angin yang berhembus mengenainya.

Bersambung

avataravatar
Next chapter