webnovel

Hujan

Pukul 16.30 wib, bel SMU HARAPAN BANGSA berbunyi menandakan proses belajar mengajar telah usai. Semua siswa siswi pun berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing.

"Van, kita balik duluan ya," pamit Dara sambil berjalan keluar kelas.

"Iya. Hati hati, Ra" Balas Vania.

"Oke!"  Teriak Dara yang sudah berada di luar kelas.

Sementara Vivi juga sudah pulang lebih dahulu karena ia ada janji dengan seseorang katanya.

"Kamu ngapain masih disini? Rizki sama Dimas kan udah keluar," Tanya Vania pada Raka yang masih duduk di bangkunya.

"Nungguin lo," Jawab Raka spontan.

"Kenapa nungguin aku? Aku kan nunggu jemputan. Jadi, masih lama ini. Kata supir aku masih kejebak macet. Kamu pulang duluan aja, Ka" Vania meminta Raka pulang lebih dulu.

"Enggak mau. Lagian mau ngapain gue di rumah, nggak ada siapa-siapa juga. Bosen gue, tiap pulang yang di rumah cuman di sambut ART gue doang," Gumam Raka dengan nada sedikit kesal.

"Emangnya mama kamu kemana?" Tanya Vania hati hati, takut ada yang salah dengan pertanyaan nya.

"Mama sama papa gue itu sibuk kerja terus. Udah kayak ngurus negara aja. Punya anak satu aja nggak pernah di urusin. Mereka aja pulangnya malem banget, berangkat juga pagi banget. Ketemu dan ngobrol sama gue aja mungkin sebulan sekali. Itu pun nggak lebih dari 10 menit," oceh Raka malah mengungkapkan isi hatinya.

"Maaf ya, aku nggak tau," lirih Vania merasa tidak enak menanyakan hal itu pada Raka.

"Gak masalah, kan gue sendiri yang cerita. Biar gue juga agak lega gitu ngungkapin unek unek gue. Gak apa apa kan kalo gue cerita sama lo?" Tanya Raka pada Vania.

Vania menggeleng pelan dan menyunggingkan senyuman manis nya.

"Nggak apa apa lah. Kamu kalo ada yang mau di cerita in, cerita aja sama aku apa aja aku pasti dengerin kok. Tanpa ada masalah sedikitpun," sahut Vania dengan riangnya.

"Untung aja ada lo, Van. Kalau nggak, gue nggak tau deh gimana cara ngungkapin isi hati gue ini. Kalo gue curhat sama si Rizki sama Dimas, yang ada bukannya dapat solusi malah tambah pusing kepala gue. Mereka tuh berantem mulu kalo beda pendapat. Yang satu pinter ngomong yang satu telmi banget,"

Raka semakin panjang lebar berbicara dengan Vania, dan merasa tidak sungkan lagi seperti sebelumnya. Sedangkan Vania sedikit mengernyitkan keningnya mencerna perkataan dari Raka.

"Telmi? Itu apa yah?" Tanya Vania tidak mengerti maksud Raka.

"Telat mikir alias lemot. Wkwkwk," Raka tertawa renyah.

"Ya ampun tega banget sih, masa temennya sendiri di katain telat mikir. Parah kamu, Ka" sahut Vania sambil ikut tersenyum melihat Raka yang tertawa.

"Yeee semua anak di kelas ini juga pada tau kali kalau Rizki itu telmi banget," Jelas Raka pada Vania.

Mereka berdua pun asyik mengobrol hingga tak sadar bahwa hari semakin sore dan awan menghitam. Suara petir tiba tiba terdengar membuat Vania terkejut.

"Aaaaa...!!!" . Spontan Vania memeluk Raka yang duduk di samping nya itu.

"Hahaha sama petir aja takut," ejek Raka dan justru menertawakan Vania yang terkejut itu.

"Kamu tuh ya. Bukan takut, aku tuh kaget," elak Vania.

Vania sadar memeluk Raka dan langsung melepaskan pelukannya.

"Takut nya di buat kesempatan nih ye," Ledek Raka, membuat Vania salah tingkah.

"Apaan sih kamu. Udah yuk pulang, keburu hujannya turun," ajak Vania mengambil tasnya dan buru buru keluar kelas.

"Van, tungguin bentar dong. Malah di tinggalin gue," teriak Raka mengejar Vania.

Mereka pun segera berlari menuju parkiran, sedangkan hujan sudah mulai turun dengan derasnya. Raka langsung melepaskan jaketnya dan menutupi kepala Vania dengan jaketnya itu. Vania menatap Raka dengan bingung.

"Udah ayok jalan, keburu basah semua nanti. Kenapa malah ngelihatin gue sih? Gue tau gue ganteng. Nanti lo suka sama gue loh," Ucap Raka sambil menatap wajah Vania yang basah terkena air hujan.

Vania langsung mengalihkan pandangannya dan segera berlari ke tempat parkir.

"Makasih ya," Ucap Vania sambil membersihkan air hujan di tangan nya.

"Iya, sama sama. Lo udah di jemput belum?" Tanya Raka sambil memakai jaketnya kembali.

"Emmm..." Vania mengedarkan pandangannya.

"Eh, udah. itu," sambung Vania samb menunjuk seorang lelaki paruh baya, yaitu Pak Edi supir pribadinya dari kecil.

"Oh, yaudah kalo gitu baguslah. Hati hati kalo pulang. Sampe rumah langsung ganti baju biar nggak masuk angin ya," Raka memberikan perhatian pada Vania yang membuat Vania serasa melayang di udara.

"I-iya. Aku pulang duluan ya. Kamu juga hati hati di jalan. Kalo nggak bawa jas hujan nunggu reda dulu ya," Ucap Vania pada Raka.

"Iya iya bawel banget sih. Udah sana pulang keburu dingin nanti,"

"Iya. Aku pulang. Bye," Vania langsung pergi meninggalkan Raka.

Raka masih belum pulang. Ia menunggu hujannya sedikit reda, walaupun ia sebenarnya sudah biasa hujan hujanan. Tapi, entah mengapa kali ini dia ingin menuruti kata kata dari Vania.

"Vania itu baik juga ya ternyata," Tanpa sadar Raka memikirkan Vania.

"Lah? Kok gue jadi mikirin Vania sih? Dih, gimana sih gue, Vania itu temen lo Raka. Inget, cuman temen!" Monolog Raka sambil menepuk-nepuk kedua pipinya sendiri.

***

Di sisi lain, Arin sedang berteduh juga bersama Marvel di cafe biasa mereka bertemu. Tiba tiba Marvel memancing hal hal yang berkaitan dengan Raka yang Arin ketahui.

"Kenapa sih si Raka bisa cinta banget sama kamu? Kamu pernah ngapain aja sama dia sampe dia kayak gitu?" Tanya Marvel pada Arin yang menikmati secangkir coklat panas.

"Jadi, dulu itu waktu SMP. Aku yang temenin Raka waktu dia sedih karena papa mamanya nggak ada. Papa sama Mama nya itu penggila kerja. Mereka nggak ada perduli nya sama sekali sama Raka. Ya walaupun semua nya juga buat Raka, maksud aku itu mereka nggak ada waktu luang gitu buat ketemu atau kumpul bareng Raka. Gitu," Arin menjelaskan detail tentang persoalan keluarga Raka.

"Oh, pantesan aja. Pasti dia nganggep kamu berharga banget ya buat dia," Sahut Marvel menanggapi perkataan Arin.

"Mungkin. Aku juga nggak tau kenapa dia bisa begitu banget sama aku. Aku juga heran," Ucap Arin cuek, mulai malas   membahas tentang Raka.

"Terus, kalau soal dia selalu menang perlombaan gimana tuh ceritanya dia bisa hebat begitu?" Rasa penasaran Marvel sudah tidak bisa di tahan lagi.

"Oh, kalau itu sih tergantung Raka nya sendiri. Dia itu tipekal yang nggak hyerah duluan, walaupun dia nggak yakin kalau dia bakalan menang. Dia tetep bakalan mencobanya dulu, gitu. Nah, kalo urusan menang atau kalahnya sih nggak tau karena apa. Tapi yang jelas sih keyaknya karena dukungan aku juga. Buktinya kemarin waktu olimpiade matematika dia juara 2. Padahal dia kan tiap olimpiade nggak pernah juara 2, selalu juara 1. Apalagi matematika, dia kan jagonya," Ucap Arin panjang lebar sambil memakan kentang goreng di depannya.

"Kita buktiin yuk. Aku akan tantang Raka balapan lagi," Kata Marvel penuh dengan keyakinan.

"Hah? Serius mau nantang Raka balapan?" Arin tak percaya dengan ucapan pacarnya itu.

"Iya, aku serius. Kita buktiin kalo Raka itu nggak bisa apa apa tanpa kamu. Gimana?" Ucap Marvel sambil menatap wajah Arin denagn serius meyakinkan nya.

"Kalo kalah gimana? Jangan buat malu deh," gerutu Arin merasa tidak yakin kalau Marvel akan menang melawan Raka balapan.

"Udah, kamu tenang aja. Kita buktiin aja dulu. Kebetulan Minggu ini ada lomba lagi, ya walaupun cuma lomba hobby aja bukan provinsi kayak kemaren itu," Marvel tetap meyakinkan Arin .

"Ya udahlah, terserah kamu. Aku nurut aja." Pungkas Arin menuruti apa yang di katakan oleh Marvel .

***

Keesokan harinya, saat Marvel mengantarkan Arin sekolah ia bertemu dengan Raka secara tidak sengaja. Marvel pun langsung mengutarakan keinginannya untuk menantang Raka balapan lagi.

"Apa? Lo nantangin gue balapan? Nggak salah?" Ucap Raka dengan raut wajah sinis.

"Kenapa? Lo takut? Karena udah nggak ada penyemangat lagi?" Jawab Marvel sambil melirik Arin yang masih berada di sampingnya itu.

"Takut? Sorry. Itu bukan gue. Gue nggak kenal yang namanya takut, apalagi kalau lawannya itu pecundang kayak lo," Raka mendorong tubuh Marvel dengan jari telunjuknya.

Marvel tersenyum miring mendengar perkataan Raka.

"Oh, oke. Gue tunggu lo di sirkuit biasanya. Miinggu ini," Tantang Marvel.

"Oke. Gue bakalan Dateng menuhin tantangan lo," sahut Raka dengan tegas tanpa takut sedikitpun.

"Kalo lo kalah jangan kecewa," Tiba tiba Arin menyela pembicaraan mereka.

"Nggak ada yang lebih mengecewakan dari sebuah kepercayaan yang dengan mudahnya di hancurkan!" Ketus Raka sambil menatap tajam kearah Arin.

Tentu saja hal ini membuat Arin diam seribu bahasa.

Raka langsung pergi meninggalkan mereka berdua dengan perasaan emosi, kesal, sakit bercampur menjadi satu.

***

Next chapter