webnovel

Cinta Itu Tentang Merelakan (1)

Suasana canggung seketika melanda di antara Rayvin dan Vania. Vania tidak tau harus bereaksi seperti apa ketika mendengar pengakuan perasaan dari Rayvin.

"Kenapa? Kamu kaget?" tanya Rayvin sambil menyunggingkan senyumnya.

Vania mengangguk ragu. Sementara Rayvin masih dengan ekspresi wajah yang sama. Tersenyum namun palsu. Bagaimanapun juga ia tidak bisa membohongi perasaannya yang sakit ketika mendengar pernyataan bahwa Vania memang menyukai Raka.

Begitu juga dengan Vania yang masih belum terlalu percaya jika Rayvin mengungkapkan perasaannya. Meski sebelumnya ia sudah berkali-kali di beritahu oleh Dara dan Vivi, namun semua ini masih terlalu tidak nyata bagi Vania. Gadis itu benar benar tidak menyangka kalau Rayvin memang benar menyimpan rasa pada dirinya.

"Kamu nggak perlu mikirin perasaan aku. Aku benar-benar nggak apa-apa kok," tutur Rayvin berusaha untuk membuat Vania merasa lebih baik dan tidak merasa canggung padanya.

"Tapi, aku secara nggak sengaja udah nyakitin perasaan kakak," lirih Vania.

"Enggak. Kamu nggak nyakitin aku, justru aku sendiri yang salah," sahut Rayvin.

Vania menautkan kedua alisnya dan menatap Rayvin dengan heran. "Kenapa?" tanyanya.

"Karena aku nanyain hal yang udah jelas. Bodoh ya aku?" jawab Rayvin sambil tersenyum kecut.

Vania menghela nafas sejenak. Tangannya terulur meraih tangan Rayvin. "Boleh aku bilang sesuatu?" tanyanya meminta izin.

Rayvin menatap Vania dalam, kemudian hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Aku... Udah anggap Kak Ray seperti kakak kandung aku sendiri, dan aku seneng banget udah bertemu sama Kak Ray. Kakak baik banget sama aku, bahkan kakak lebih baik dari Raka. Dan aku hargai itu semua," ucap Vania yang terdengar sangat tulus.

Senyuman manis mengembang di kedua sudut bibir cantik Vania. Gadis itu menata Rayvin penuh arti. Sepertinya memang Vania menyayangi Rayvin layaknya seorang Kakak.

Sementara Rayvin pun ikut tersenyum mendengar segala ucapan Vania. Ya, setidaknya ia cukup tenang karena Vania tidak berusaha untuk menghindari dirinya karena merasa bersalah.

Sekali lagi perlu kalian ketahui kalau Vania itu sedikit berbeda dari gadis yang lain. Vania itu istimewa dari segala hal, mulai dari pemikiran dia dan juga segala tingkah lakunya yang sama sekali tidak bisa di tebak oleh orang lain.

Dan hal ini benar benar membuat Vania jelas sangat berarti di mata Rayvin.

"Kenapa kamu harus suka sama Raka? Dari sekian banyak cowok di Jakarta dan di sekolah kita, Kenapa harus dia?" lirih Rayvin.

Vania langsung melepaskan pegangan tangannya pada tangan Rayvin. Senyuman di wajah cantiknya itu perlahan memudar mendengar pertanyaan dari Rayvin.

"Aku sendiri juga nggak tau kenapa aku bisa suka sama Raka, padahal aku tau kalau sebenarnya dia masih punya perasaan sama Arin," sahut Vania bersedih.

"Maaf, aku nggak bermaksud untuk membahas tentang perasaan Raka ke kamu. Tapi, aku hanya gak habis pikir--"

"Cukup, kak!" potong Vania dengan cepat.

Kini sepasang manik cantik Vania menatap tajam ke arah Rayvin. Untuk pertama kalinya Rayvin melihat Vania memiliki tatanan tajam yang menurutnya cukup menyeramkan.

"Aku nggak tau alasan kenapa aku bisa suka sama dia. Dan yang jelas, kalau aku bisa memilih lagi... Mungkin aku akan memilih untuk nggak jatuh cinta sama Raka," sambungnya.

Terlihat butiran bening sudah memenuhi pelupuk mata gadis cantik itu. Rayvin yang melihatnya di buat tak tega. Ini adalah salahnya, ia benar benar tidak bermaksud untuk membuat Vania bingung dan bersedih seperti saat ini.

"Jangan nangis. Aku salah, aku minta maaf," ucap Rayvin dengan sedikit panik.

Dan benar, air mata Vania lolos begitu saja. Lalu dengan kasar gadis itu mengusap nya.

"Nggak apa-apa kok. Aku tau apa maksud kakak," sahut Vania.

Suasana hening sesaat karena Rayvin sendiri tidak tau harus berkata apalagi. Ia serba salah dan tidak ingin semakin salah di mata Vania.

Remaja tampan itu pun menunggu agar Vania sedikit lebih tenang sebelum mengantarkannya pulang.

Setelah tenang, barulah Rayvin mengantarkan Vania pulang dengan selamat sampai di rumah nya. Tanpa ber basa basi lagi, Vania langsung berlari masuk ke dalam rumah nya dan tidak mengucapkan terimakasih pada Rayvin seperti yang biasa ia lakukan.

Baru menutup pintu, terdengar suara berat seorang laki-laki dari belakang Vania.

"Kamu baru pulang?"

Pertanyaan itu sukses mengejutkan Vania.

"Papa? Papa kok udah ada di rumah?" tanya Vania balik.

"Kenapa? Kok kaget?" heran Papa Vania.

Pria paruh baya itu mengerutkan keningnya heran. Tidak biasanya Vania bersikap seperti itu.

"Kamu pulang sama siapa?" tanya Surya -Papa Vania- lagi.

"Sama Kakak kelas Vania, Pa. Tadi dia minta bantuan nya Vania buat pilih kado buat hadiah keponakan dia," jawab Vania jujur.

Surya pun tersenyum tipis. Pria paruh baya itu senang karena ternyata putri tunggal nya memiliki teman dekat laki-laki. Selama ini yang ia tau Vania hanya berteman dengan teman perempuan dan sama sekali tidak pernah mengenalkan teman laki-laki padanya sekali pun.

Hingga Surya pernah mengira bahwa putri nya itu memiliki kelainan. Namun ternyata memang sudah sifat dasar Vania yang kurang bisa bergaul dengan teman laki-laki. Tentu saja mendengar pernyataan bahwa Vania dekat dengan kakak kelasnya membuat Surya sedikit bisa bernafas lega.

Surya tersenyum tipis melihat Vania. "Kenapa enggak di suruh masuk?" tanya nya penasaran.

"E-enggak apa-apa, nggak enak aja udah malem tapi bawa teman cowok ke rumah," alasan Vania yang ia buat-buat namun memang terdengar masuk akal.

"Kan ada Papa, jadi nggak masalah. Lain kali kalau ada teman yang anterin kamu pulang, tawarin mampir dulu. Kamu paham?" tutur Surya dengan lembut.

Surya tak pernah bersikap kasar sedikit pun pada Vania, mengingat hanya Vania yang ia miliki saat ini. Sedangkan Mama Vania sudah meninggal semenjak Vania berusia 8 tahun karena sakit kanker. Hal ini yang membuat Vania tumbuh hanya dengan kasih sayang dari Papa nya saja.

Vania mengangguk pelan mengiyakan ucapan sang Papa. Tangan Surya terulur membelai surai kecoklatan Vania dengan lembut.

"Sana masuk kamar, mandi dan jangan lupa makan kalau kamu belum makan," ucap Surya kemudian.

"Baik, Pa." Pungkas Vania dan segera berlalu masuk ke kamarnya.

Surya hanya tersenyum tipis melihat Vania yang sekarang sudah tumbuh dewasa. Demi apapun, hanya Vania yang berharga bagi dirinya dan tidak ada yang lain. Itulah yang menjadi alasan kuat kenapa Surya tidak menikah lagi setelah meninggal nya sang istri.

Sementara Rayvin masih diam bertengger di atas motor nya. Remaja tampan itu terdiam memandang pintu masuk rumah Vania, kemudian tersenyum kecut.

"Ya, seenggaknya gue udah jujur sih. Gue yakin, suatu saat Vania pasti bisa kasih gue kesempatan buat ada di hati dia," gumam Rayvin penuh dengan harapan.

Remaja itu pun segera menyalakan motornya kembali dan beranjak pergi meninggalkan halaman rumah Vania. Tentu saja dengan perasaan yang kurang mengenakkan. Namun, Rayvin sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan perasaannya meskipun ia sudah tau kalau Vania tidak akan bisa membalasnya.

Begitulah siklus mencintai seseorang, dimana jika tidak di cintai kembali, maka harus merelakan jika cinta kita tidak terbalas, atau harus menunggu hingga cinta itu akan terbalas.

***

Next chapter