9 Part 9

    Yoona terus mengikuti langkah pria itu dan tak lupa mendata semua barang-barang yang harus mereka dapatkan. Sehun bergerak dengan cepat. Seakan ada sesuatu yang harus dikejarnya, walau sebenarnya tidak ada apapun. Yoona sedikit repot dibuatnya, itu karena Sehun membatalkan pilihannya sesukanya. Membuat gadis itu sulit mendata barang belanjaan mereka.

     Sebuah truk kecil sudah pergi dari hadapan mereka dengan semua barang belanjaan mereka. Yoona kembali kewalahan karena harus mengikuti langkah Sehun yang cepat, menuju parkiran mobil yang letaknya lumayan jauh. Selama kakinya melangkah, Yoona mencoba memikirkan itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari pria itu. Tepat disaat ia mendapatkan jawabannya. Langkahnya terhenti begitu saja dengan matanya yang terpaku menatap punggung tegap itu, tidak jauh darinya, tengah membuka pintu mobilnya, dan kini baru menyadari keberadaan Yoona yang tertinggal beberapa langkah dibelakangnya. Ketika mata itu menatap tepat di tengah bola matanya. Yoona kembali menyadari sesuatu. Ia merasa bersalah. Entah apa sebabnya, hanya merasa bersalah.

"Kau sedang apa? Cepatlah. Kita harus segera mengunjungi toko roti." ujar pria itu dengan suara beratnya, dan dalam sekejap tatapannya terlepas dari mata Yoona, karena Sehun sudah masuk kedalam mobilnya. Yoona memaksakan kakinya untuk melangkah, walau sebenarnya ia masih belum siap berada didekat pria itu. Duduk disamping pria itu, yang kembali tidak menghiraukannya. Tak lagi berbicara kepadanya.

     Sehun kembali terlihat sibuk di setiap toko yang mereka kunjungi. Tetap tidak menghiraukan keberadaan Yoona yang terus mengikutinya. Yoona mencoba menahan rasa kesal yang ia rasakan. Hingga mereka berada di toko terakhir. Pada saat itu, disaat ia tengah mengikuti Sehun yang masih saja terlihat serius mengamati keadaan tokonya, tanpa sengaja Yoona menabrak seorang pengunjung yang baru saja membeli kue disana, namun dikarenakan terbentur oleh tubuhnya, kue yang baru dibeli itu terjatuh dan rusak. Tentu setelah itu beragam cacian terlontar dengan tajam kepadanya.

--

     Duduk lemas mengamati jalan dari balik kaca bis.  Ia terus memikirkan itu. Ia merasa hampa. Setelah Sehun berhasil menyelesaikan masalah itu, Yoona merasa buruk untuk bertemu dengannya, maka itu ia memilih pergi dari sana dan memilih menaiki bis. Namun tidak jelas arah tujuannya. Karena setelah satu jam lamanya, Yoona terlihat hanya gonta-ganti bis dan terus seperti itu. Ia sangat yakin, Sehun pasti sangat marah kepadanya. Dan ia tidak siap untuk menerima luapan amarah pria itu. Tapi hal yang membuatnya melarikan diri bukanlah itu. Malam itu, disaat Sehun menciumnya. Hal itulah yang terus mengganggu pikirannya.

     Langkahnya terhenti di hadapan Sungai Han. Duduk di sebuah kursi yang terletak dibawah pohon. Hingga malam tiba dan udara semakin terasa dingin. Dipandangnya ponsel pemberian pria itu, hening. Ia berharap Sehun segera menghubunginya, tapi ternyata tidak. Sesuatu terjatuh mengenai kepalanya. Dalam sekejap udara semakin menusuk. Angin menghempas rambutnya hingga berterbangan. Kembali ia rasakan sesuatu terjatuh ke atas kepalanya. Berharap hal itu tidak terjadi, tapi belum sempat ia bergerak dari sana. Tetesan air demi tetesan menyerbunya. Walau sudah tak terselamatkan, Yoona tetap berlari mencari tempat perlindungan.

--

     Berbanding terbalik dengan apa yang gadis itu pikirkan. Ternyata kini Sehun tengah mencarinya. Dan semakin mengkhawatirkannya ketika hujan menghantam kaca mobilnya. Merasa bersalah? Tentu. Tadinya Sehun memang tidak menghiraukan keberadaan gadis itu, tetapi bukan berarti ia sedang marah kepada Yoona, melainkan tidak tahu hendak berbuat apa dihadapan gadis itu. Mengingat apa yang telah ia lakukan pada gadis itu pada malam itu, ia merasa malu dan menyesal. Tapi disamping itu, ia juga merasa kesal melihat kedekatan Yoona dengan Kai, perasaannya sedang dalam masa kritis.

     Menggenggam stir mobil dengan erat. Ia sudah mengelilingi kota Seoul hampir satu jam lamanya, tetap tidak menemukan gadis itu. Menyesali dirinya yang lupa membawa ponsel sehingga tidak bisa menghubungi Yoona. Ia terlalu cemas ketika melihat lantai lima kosong, sehingga melupakan ponselnya yang ia letakkan di atas kasur, dan langsung berlari menuju mobilnya. Tidak bisa membayangkan keadaan gadis itu yang kedinginan menahan suhu saat ini. Sehun menepikan mobilnya di tepi jalan. Tepat disaat itu hujan mereda hingga tak terlihat satu tetes pun. Ia segera keluar dari mobilnya untuk mengirup udara segar. Mencoba tenang seraya terus memikirkan cara untuk menemukan gadis itu.

     Diseberang jalan dilihatnya halte bis yang sepi. Tidak, seorang gadis tengah duduk disana, seorang diri. Walau jarak sangat jauh, tapi ia dapat melihat dengan jelas, bahwa gadis itu basah kuyup, dan wajahnya sangat pucat. Ia hendak menyebrangi jalan, tapi tidak bisa dikarenakan banyaknya kendaraan yang melintas disana. Segera ia masuk kedalam mobilnya, mencoba mencari tempat untuk berbalik arah. Dan ketika berhasil, mobilnya dengan kencang meluncur menuju halte. Sayangnya, belum sempat Sehun menghentikan mobilnya disana, dari jauh dapat ia lihat gadis itu sedang menaiki bis. Sehun pun memilih mengikuti bis itu.

     Ia terus mengikuti bis itu. Hingga Yoona tiba di halte di daerah lingkungan pabrik dan mulai berjalan menuju pabrik. Anehnya, Sehun tidak berniat menghentikannya, malah terus mengikuti Yoona dengan mobilnya. Dari dalam mobil matanya terus mengamati langkah gadis itu yang semakin lama terlihat melemah. Ia masih bisa menahan itu. Tapi ketika dilihatnya Yoona menghentikan langkahnya dan hendak terjatuh. Dengan cepat Sehun menekan gas mobilnya hingga berhenti tepat di belakang tubuh itu. Seperti kilat ia keluar dari mobil, hendak menangkap tubuh itu, tapi ternyata Yoona masih dapat berdiri walau terlihat lemah. Dan sekarang Sehun pun menjadi bingung hendak mengatakan apa, hingga gadis itu menyadari keberadaannya dan menatapnya dengan heran.

"Kau? Bagaimana kau bisa disini?" gumam Yoona tak jelas karena suaranya yang terdengar parau. Mencoba menepis rasa malu yang tengah menggerogotinya. Sehun segera memasang wajah santai seakan tidak sengaja melihat gadis itu.

"Kau menghalangi jalanku." jawabnya sembari menunjuk kearah mobilnya.

"..." hanya menatap pria itu, merasa jawabannya terdengar tidak masuk akal. Tampak polos, Yoona melangkah menepi, tanda bahwa ia sudah tidak mengganggu jalan pria itu. Sehun tak percaya bahwa Yoona akan sepolos itu. Merasa jengkel karena tidak bisa berterus terang. Terlihat ragu, Sehun kembali kedalam mobilnya, dan melanjutkan perjalanannya hingga tiba di parkiran pabrik. Ia terlihat buru-buru melangkah memasuki gedung dan menaiki lift. Benar-benar terlihat aneh.

--

     Memang benar bahwa kini tubuhnya terasa meriang. Tapi Yoona merasa ia masih bisa menahan itu. Buktinya ia berhasil sampai ke pabrik walau harus berjalan kaki. Tidak menghiraukan sikap pria itu yang tetap bersikap dingin terhadapnya. Pintu lift terbuka dan terlihatlah suasana lantai lima yang tenang. Kepalanya mulai terasa pusing, ia berusaha menguatkan diri. Masuk kedalam kamarnya hendak berbaring di atas kasur, ketika itu dilihatnya sebuah bungkusan di atas kasurnya, setelah dibukanya ternyata berisikan obat-obatan. Senyuman pun terkulum manis di wajah pucatnya.

     Membenarkan letak bantal lalu berbaring. Dengan pakaian hangat yang dipakainya, ia mulai merasa nyaman. Tentu dibantu dengan obat pemberian pria itu. Ya, menurutnya begitu. Tidak langsung menutup mata, Yoona menyempatkan diri untuk memandangi ponselnya. Harapan itu kembali muncul. Tapi tidak ada yang terjadi dengan ponselnya. Karena rasa kantuk semakin terasa berat, ia pun tertidur dengan ponselnya yang masih berada didalam genggaman tangannya.

--

     Mengamati kontak nama itu terus menerus. Ingin sekali menghubungi nomor itu, menanyakan keadaan gadis itu, tapi tangannya tak juga bergerak. Rasa cemas membawanya keluar dari kamarnya. Berdiri lama disana, menatap pintu yang ada dihadapannya. Disana terdengar senyap. Ia berharap gadis itu sudah tertidur. Ia hendak kembali ke kamarnya, tapi langkahnya terhenti karena terdengar suara dentingan tanda pintu lift terbuka.

"Tolong jelaskan padaku tentang ini." ayahnya berjalan melewatinya dan duduk di balkon. Sehun mengikuti ayahnya, mendapatkan sebuah foto di atas meja, foto yang baru saja ayahnya taruh disana. "kenapa kau tidak pernah menceritakan hal ini padaku?" foto dimana dirinya tengah di tarik paksa oleh beberapa pria berbadan kekar.

"Itu sudah berlalu." duduk disamping ayahnya dan tak berniat menatap ayahnya.

"Apa hingga saat ini ia masih mengganggumu?" suara berat itu berusaha keras menyimpan amarahnya.

"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan." mengamati tanaman hijau yang ada diatas meja.

"Sehun-a, aku hanya tidak ingin kau.."

"Gwenchana(aku baik-baik saja)." memutar-mutar ponselnya untuk tetap tenang.

"Mianhae..(maafkan aku)" usai itu tidak terdengar apapun. Disaat ia menoleh guna melihat ayahnya, ternyata pria tua itu sedang menangis.

"Wae?(kenapa)" seakan sudah terbiasa melihat air mata ayahnya.

"Aku tidak menyangka ia akan seperti ini. Dulunya ia adalah wanita yang baik." ujar ayahnya menatap kosong ke langit malam. "Bagaimana kabar Yuri? Di baik-baik saja?" tanyanya setelah itu.

"Hmm." kata Sehun.

"Baguslah jika begitu."

"Tapi tidak dengan Sena." dengan cepat raut wajah ayahnya menegang.

"..." tidak berkata apa-apa.

"Sudah saatnya untukmu menemuinya. Ia membutuhkanmu." menatap ayahnya memohon.

"Ia masih tinggal bersama halmoni(nenek) itu?" Sehun mengangguk menatap ayahnya. Ia dapat mengerti itu, mengapa ayahnya masih sulit untuk menerima keberadaan Sena.

--

     Tubuhnya sudah sedikit baikan, walau kepalanya masih terasa berat. Wajahnya juga sudah tidak terlalu pucat. Dengan baju rajut biru mudanya, membantunya menyegarkan penampilannya. Tidak menggunakan jaket kesayangannya dikarenakan kotor. Menambahkan sebuah syal berwarna kuning dan melingkarkan di lehernya. Lumayan hangat. Menurutnya. Keluar dari kamarnya dengan langkahnya yang diusahakan terlihat kuat. Diam mematung sesaat karena tepat ketika itu Sehun juga baru keluar dari kamarnya. Tetapi yang membuat gadis itu mematung bukan dikarenakan keberadaan Sehun, melainkan karena pakaian mereka serupa. Pria itu juga menggunakan baju rajut berwarna biru muda dan syal berwarna abu-abu. Menyadari kesamaan itu, Sehun menggosok-gosok bajunya pelan. Ia sedikit salah tingkah. Segera ia berjalan mendahului Yoona masuk kedalam lift. Langkah ragu Yoona membawanya berdiri disamping pria itu.

     Keduanya sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun. Yoona menunduk menatap tali sepatunya yang ternyata lupa diikatnya. Dan Sehun menatap lurus kedepan mencoba menahan dirinya untuk tidak berbicara kepada gadis itu. Tapi selain itu, sebenarnya pria itu menyadari keadaan tali sepatu Yoona, itu karena Yoona terus menatap sepatunya dan berniat mengikatnya, namun dikarenakan rasa pusing yang masih tertinggal di kepalanya, ia pun menjadi enggan melakukannya dan hanya menatap tali yang tergeletak di lantai itu.

     Pintu lift terbuka tepat di lantai satu. Yoona hendak melangkah keluar, namun Sehun menahannya. Segera ia menatap pria itu dengan tatapan bertanya. Ketika dilihatnya, ternyata Sehun tengah mengamati sepatunya yang tentunya masih dengan talinya yang tidak terikat. Pintu lift kembali tertutup namun tetap pada lantai yang sama.

"Waeyo?(kenapa)" Tanya Yoona setelah lama menunggu jawaban. Sehun mendengus sejenak lalu berjongkok dihadapannya. Mengikat tali sepatunya. Rasa malu mendadak menyerbunya. Ia jadi bingung memilih kata untuk berterima kasih.

"Apa kau belum sehat?" tanya Sehun yang masih mengikat tali sepatunya. Yoona tersentak karena tidak menyangka pria itu akan bertanya kepadanya. Cepat-cepat ia menggeleng. Tentu Sehun tidak bisa melihat itu karena masih sibuk dengan tali sepatunya. Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Sehun mendongakkan kepalanya guna menatap Yoona. "kau bahkan tidak bisa menjawab pertanyaanku." menatap gadis itu dengan matanya yang disipitkan lalu berdiri dihadapannya. Yoona mendadak terkena serangan jantung ketika telapak tangan Sehun menempel tepat di keningnya.

"..." hingga mata pun tak berkedip.

"Tubuhmu hangat." kata Sehun yang beralih menyentuh pipinya. Semakin membuat gadis itu tak berdaya. Dapat dirasakannya kehangatan yang mulai menjalar keseluruh tubuhnya berkat sentuhan itu.

"Omo!(astaga)" suara itu terdengar seiring terbukanya pintu lift. Dengan matanya yang melotot dan mulut terbuka lebar, Henry benar-benar kaget melihat tontonan itu. Sedangkan Amber yang juga berada disana sudah terduduk dilantai tak percaya dengan apa yang tengah ia lihat.

"Kalian.. pacaran?" tanya Amber yang tengah mengamati kedua manusia yang ada dihadapannya. Setengah bertanya, setengah menduga. Berbeda dengan reaksi Amber dan Henry yang berlebihan. Sehun malah terlihat santai.

"Aish, pikyeo!(pinggir)" menggeser tubuh Henry lalu melangkah pergi dari sana, takut diserbu dengan berbagai pertanyaan, Yoona juga segera berlari kecil menjauhi mahkluk-mahkluk menakutkan itu.

"Yak, kau lihat itu? Hyung menyentuh wajahnya." kata Amber kepada Henry yang masih seperti patung. Dengan kaku Henry mengangguk.

--

     Yoona sudah hampir selesai mendata para karyawan yang sedang berdatangan. Sedangkan Sehun asik mengamati kerja para chef di dapur. Lalu Amber dan Henry malah duduk dipojok pabrik entah berbuat apa. Tepat ketika karyawan terakhir masuk kedalam daftar kehadiran, Yoona pun dapat bernafas lega untuk sesaat. Aneh, tiba-tiba saja ia merindukan Sena dan nenek. Sepertinya tidak masalah jika ia gunakan waktu luangnya untuk menemui mereka. Cepat-cepat ia berlari ke kantor bosnya untuk mengantar daftar kehadiran pada pagi itu. Lalu kembali berlari keluar dari sana, tidak sabar untuk memeluk Sena dan menyapa nenek setelah beberapa hari tidak bertemu.

"Kai-a.." mendadak langkahnya terhenti karena mendapatkan Kai tengah duduk dibawah pohon tempat dimana dulunya ia dan pria itu pernah duduk disana. Mendengar sapaan itu lantas Kai langsung berdiri dan memberikan senyum manisnya.

"Annyeong(halo)." Kai sudah kembali seperti biasa. Pikirnya.

"Kenapa kau kesini? Sepagi ini? Kau tidak kesekolah?" tanya Yoona berjalan menghampirinya.

"Aku memang mau kesekolah." jawab Kai dengan senyumnya yang masih tertinggal.

"Lalu? Kenapa kau masih disini?"

"Aku tidak bisa masuk kekelas tanpa dirimu." ujarnya seraya menggenggam tangan Yoona dan mulai melangkah menuju mobilnya yang terparkir di depan pabrik.

"Mwo(apa)?! Yak, yak." mencoba menghentikan Kai yang terus menariknya.

"Aku lelah berhadapan dengan wali kelasmu itu. Dia selalu menanyakan kabarmu. Dan pagi ini dia ada jadwal dikelasku." alasannya tidak terlalu kuat. "kau hanya perlu ikut denganku."

"Tapi, saat ini aku tidak menggunakan seragam."

"Gwenchana(tidak masalah). Kau hanya perlu menemui wali kelasmu itu." membukakan pintu untuk gadis itu. Sebelum Yoona semakin membrontak, Kai sudah duluan mendorong tubuh itu hingga terduduk dibelakang kemudi, bersamanya. Mobil itu pun meninggalkan pabrik dengan damai. Tidak, setelah kepergian mereka, seseorang merasa darah didalam tubuhnya berhenti mengalir. Sulit baginya berpikir, hanya mengamati kepergian mobil itu dari balik jendela pabrik.

--

"Yoona-a.. Mau sampai kapan kau meninggalkan pelajaranmu? Bukankah aku selalu mengingatkanmu, ujian kelulusan tidak lama lagi. Paling tidak kau bisa menyelesaikan sekolahmu." memasang wajah bersalah karena tidak tahu harus bereaksi seperti apalagi. Wali kelasnya terus berkata panjang lebar, sedang Yoona tidak terlalu mendengarkannya karena kini pikirannya mendadak memikirkan Sena dan nenek. "Yoona-a.. Kau mendengarku?" ia bahkan telat menyadari ketika wali kelasnya melambaikan tangan kepadanya.

"Oo? ne.." menatap bingung karena kini ia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.

"Apa kau sedang dalam masalah? Katakanlah.."

"Seonsaeng-nim(ibu guru), aku harus pergi." sudah tidak tahan berlamaan dihadapan wali kelasnya itu.

"Aku harap kau segera masuk sekolah."

     Ingin sekali untuk segera berlari keluar dari sekolah itu. Tetapi mengingat pesan Kai yang memintanya untuk menunggu pria itu, terpaksa Yoona menahan diri untuk tetap berada disana. Duduk di tepi lapangan bola kaki yang ramai dengan hiruk pikuk siswa. Mengingat dulunya ia sering mengunjungi tempat itu, sedikit mengenang masa lalunya. Tempat dimana ia dapat menenangkan diri dari ucapan tidak bersahabat teman sekelasnya. Mengingat itu, dimana ia pernah nyaris membunuh teman sekelasnya karena tidak kuat menahan amarah, tentu, tidak ada yang bisa tinggal diam ketika keluarganya dikucilkan. Dan kejadian itu juga yang sukses membuat dirinya ditakuti di sekolah itu.

     Yoona tidaklah menakutkan seperti itu. Pada awalnya dirinya hanyalah siswi teladan dengan segudang prestasi dibidang olahraga, terutama beladiri. Seluruh sekolah tentu mengenalnya. Tetapi setelah peristiwa dimana dirinya diskors hampir sebulan lebih karena telah membuat temannya koma, nama baiknya perlahan memudar. Ia masih dikenal seisi sekolah, tapi dengan julukkan berbeda. 'Pembunuh'

     Itu juga yang membuat keadaan menjadi hening ketika dirinya berada dikelas. Tidak ada lagi yang berani menyapanya, mengingat apa yang pernah dilakukannya. Bagi mereka dirinya sangat menakutkan. Dan itulah alasan dirinya enggan kembali kesekolah. Bosan melihat tatapan orang terhadapnya. Apalagi ketika warga disana mendapat kabar bahwa ayahnya telah membunuh ibunya. Tentu seisi sekolah juga langsung mendengar kabar itu, dan semakin menghindarinya. Sungguh, Yoona benar-benar berharap dapat meninggalkan sekolah itu untuk selamanya. Dan kini, ia mulai mendapatkan kenyamanan itu. Berkat lingkungan pabrik, dan..

"Yak! Eottae(bagaimana)? Apa yang wali kelasmu katakan?" Kai datang tanpa tanda, membuatnya tersadar dari lamunnya. "Kenapa ekspresimu seperti ini?" karena Yoona melayangkan tatapan kesalnya kepada pria itu.

"Kau mengagetkanku." menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "apa aku sudah bisa pulang?"

"Pelajaranku belum selesai."

"Lalu kenapa kau kesini?"

"Aku bosan." meluruskan kedua kakinya kedepan, ikut mengamati juniornya yang tengah asik bermain bola kaki. "kau sungguh akan meninggalkan sekolah?"

"Molla(tidak tahu)." Kai menoleh kepadanya sejenak, lalu kembali mengamati kerumunan siswa yang sedang berebutan bola.

"Kau, tidak akan meninggalkanku kan?" kini Yoona lah yang menoleh kepadanya. Diikuti Kai yang membalas tatapannya. "wae? Tidak bisa menjawab?" melihat Yoona yang hanya diam dalam menatapnya.

"Kai-a, Yuri.."

"Ayolah, jangan membuatku merasa bersalah dengan mendengar namanya." mengalihkan pandangannya dari Yoona setelah gadis itu menyebut nama Yuri. "kau terlalu memaksaku."

"Tapi, aku.."

"Bisakah kau katakan yang sesungguhnya padaku? Tanpa membawa namanya. Kuharap menyebut namanya bukanlah caramu untuk menolakku." pandangan pria itu berlaih ke langit biru yang bebas dari awan.

"..." tidak tahu hendak mengatakan apa. Masih menatap wajah itu dalam diam. Lama menunggu jawaban, Kai kembali menatapnya. kali ini dapat Yoona rasakan tatapan yang berbeda dari Kai. Kai menatapnya tepat di tengah bola matanya.

"Sudah lama aku ingin mengatakan ini." tampak ragu, tapi ia berhasil melanjutkannya walau jantungnya bersorak dengan hebat. "Saranghae(aku mencintaimu)." keningnya mengerut menahan gejolak yang tengah membara. "selama ini aku berusaha menemukan kebenarannya. Dan akhirnya aku mendapatkannya." sedikit tersenyum. "saranghae."

--

     Sore ini matahari terlihat enggan memperlihatkan sinarnya. Yang terlihat hanyalah butiran salju. Dari balik kaca mobil, berusaha menghindari tatapan pria itu, Yoona terus memaksa dirinya untuk melihat kesisi jalan. Sedangkan Kai sesekali memaksakan dirinya untuk melirik gadis itu, dengan perasaan menyesal, tidak menyangka Yoona akan bereaksi seperti itu. Yoona terlihat tidak nyaman berada didekatnya. Ditambah rasa bosan yang sudah menumpuk berkat menunggu Kai hingga sore menjelang.

"Kau, marah padaku?" memberanikan diri menanyakan itu.

"Tidak." jawab Yoona reflek dan kembali mengatup bibirnya rapat.

"Lalu kenapa kau.."

Trrrt... trrrt... trrrt... 

     Ponsel Yoona berdering hingga terdengar oleh Kai. Tentu pria itu bingung karena ia tidak pernah mengetahui keberadaan ponsel itu. Dilihatnya Yoona mengeluarkan sebuah ponsel dari saku jaketnya. Tentu kini banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada gadis itu. Tentang ponsel itu. Tapi, ketika Yoona menyudahi panggilan itu, bukannya menjelaskan kepadanya, gadis itu malah memperlihatkan air matanya yang sudah meluncur bebas di pipnya.

"Antarkan aku kerumah sakit, sekarang!" menggenggam erat lengan Kai. Kai langsung memberi perintah kepada sopirnya dan melupakan masalah ponsel itu. Tetapi didalam hati, Kai tengah bergelut dengan pikirannya.

"Kau sungguh terlihat asing, Yoong." batin pria itu.

--

     Didepan sebuah foto yang tersenyum seakan tengah berbahagia. Yang ditemani banyak bunga, dan tangisan. Tubuh pucat Sena berada didalam pelukan Sehun. Menangisi kepergian nenek yang telah menghembuskan nafas terakhirnya sejak kemarin. Terlihat juga kehadiran Amber dan Henry disana, dan juga, ayahnya Sehun. Berdiri jauh dari mereka, seorang diri. Kai memberikan bunga yang baru saja ia beli kepada Yoona. Segera Yoona meletakkan bunganya dihadapan foto yang terus tersenyum itu.

     Perasaan bersalah muncul setelah sekian lama tidak mengunjungi nenek. Ternyata seperti ini pertemuan terakhir mereka. Yoona mundur beberapa langkah. Begitu juga dengan Kai yang memilih keluar dari ruangan itu dan duduk di kursi tamu bersama pengunjung lainnya. Sehun terlihat tidak menghiraukan kehadiran Kai disana. Juga ketika Yoona menghampirinya. Ia hanya membalas tatapan Yoona tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Eonni.." sapa Sena setelah menyadari kehadiran Yoona. Sena terlihat meminta Yoona untuk menggendongnya, segera Sehun memberikan Sena kepadanya. Dilihatnya ayahnya yang hendak pergi, cepat-cepat ia melangkah guna menahan ayahnya.

"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan setelah ini?" tak dapat dipercaya, ayahnya menanyakan itu kepadanya.

"Aboji(ayah).."

"Haruskan aku melakukan itu?" ucapnya tanpa menatap Sehun.

"Ya, lakukanlah. Sudah saatnya untukmu menerimanya. Sena, juga anakmu." mendengar perkataan Sehun membuatnya tertawa kecil.

"Anakku? Kenapa kau sangat yakin bahwa dia anakku?"

"Aboji.."

"Ya, aku akui itu. Dia memang anakku. Tapi, aku tidak yakin ibunya mencintaiku."

"Aboji! Bukankah jelas itu ulah ibu? Kumohon.. Percayalah padanya. Kenapa, kenapa hingga ia tak lagi berada didunia ini, kau masih sangat membencinya?" menatap ayahnya dengan kecewa.

"Membencinya? Hah. Aku tidak mungkin membencinya. Bahkan, hingga saat ini, aku masih sangat mencintainya. Mianhae Sehun-a.. Aku hanya sulit melupakan masa kelam itu." membalas tatapan Sehun dengan matanya yang mulai memerah.

"Aboji, kini hanya satu permintaanku, terimalah Sena. Sudah saatnya untuknya merasakan hangatnya berada dipelukkanmu."

Continued..

Cerita ini tinggal 2 Part lagi ya kak..

Seru gak kak ceritanya?

avataravatar
Next chapter