4 Part 4

     Jaket pemberian ayahnya terlihat cocok ditubuhnya. Dengan warna merah yang merupakan warna favoritnya. Dihadapan cermin, tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya, Yoona tersenyum hingga keluar dari kamar. Menemui nenek untuk berpamitan. Sudah waktunya untuknya kembali kerumahnya.

"Kau pergi sekarang?" tanya nenek dengan raut kecewanya. Yoona masih terus tersenyum. Mengangguk pelan mengiyakan. Dengan guci kosong yang ada dipelukannya. Nenek itu memeluknya sejenak, lalu merelakannya melangkah keluar rumah.

     Sehun yang masih menemani Sena bermain di halaman mendapatkan Yoona sedang berjalan menghampiri mereka. Tidak, tepatnya menghampiri Sena. Yoona memeluk Sena, tak lupa mengecup kening anak itu. Sena memperlihatkan wajah murungnya dikarenakan sedih akan kepergiannya, tapi Yoona kembali tersenyum. Entah apa yang membuatnya terus tersenyum, mungkin dikarenakan jaket yang ia gunakan. Yoona mengalihkan pandangannya ke Sehun, dengan senyumnya yang masih tertinggal.

Dugg dugg dugg!

     Sehun merasa aneh dengan apa yang kini ia rasakan. Tepat ketika ia melihat senyuman manis itu, detak jantungnya seakan menekan tubuhnya dengan kuat. Juga ketika Yoona menatapnya yang masih meninggalkan senyuman manis itu, Sehun seperti merasa malu melihat itu. Ia bahkan terbodoh akan dirinya sendiri.

"Gomawo.. kau sudah banyak membantu." ucapnya dengan senyum manisnya. Sehun hanya mengangguk seadanya. "kalau begitu aku pergi dulu. Sena-a.. eonni pergi dulu." mengelus rambut Sena lalu berlalu dari sana. Menuju rumahnya.

--

     Rumah itu tidak terlalu berantakkan. Hanya perlu dibersihkan sebagiannya saja. Tapi walau begitu, berhasil merenggut waktunya hingga sore menjelang malam. Lumayan melelahkan, tapi tidak membuatnya menyerah. Sudah lama ia tidak menggunakan tenaganya semenjak keluar dari pelatihan bela diri. Pelatihan yang dulunya pernah membuat namanya dikenal banyak orang, namun semenjak kepergian ibunya, semangat berlatihnya menghilang begitu saja.

     Duduk dibawah pohon yang ada di halaman rumahnya. Menikmati dinginnya pada malam itu. Namun tak lagi dirasakan olehnya, berkat jaket barunya itu. Berkali-kali ia mengelus lengan jaketnya, benar-benar bahagia mendapatkan jaket itu. Tapi sedetik itu, ia menjadi murung, Mengingat ayahnya yang terkurung di penjara. Menghela nafas dengan berat. Diperhatikannya kembali jaket barunya yang kini menyelimuti tubuhnya, memperhatikan dalam diam, dan tidak lama dari itu matanya membulat.

"Omo! Jaket lusuhku!" dengan cepat ia berlari menuju rumah nenek. Ia dapat ingat dengan benar dimana ia menaruh jaket lusuhnya. Tidak, bukan jaket itu yang ia permasalahkan, tetapi amplop yang ada di dalam saku jaketnya lah yang harus diselamatkan.

     Tidak berniat menegur Sehun yang sedang duduk di halaman rumah nenek itu, Yoona terus berlari hingga memasuki rumah yang pintunya tak terkunci itu. Nenek sampai kaget melihat kehadirannya disana. Tidak sempat berkata, Yoona langsung masuk kedalam kamar yang tadinya ia tempati, syukur ia menemukan jaket lusuh itu. Dengan cepat diraihnya. Kosong. Saku jaketnya kosong.

"Ah, jaketmu ketinggalan ya?" tanya nenek dengan suara seraknya.

"Halmoni, apa kau ada melihat amplop?" nenek itu menggeleng.

"Amplop seperti apa maksudmu?"

"Amplop.. Aku menaruhnya didalam saku jaketku." dia mulai gelisah.

"Aku tidak tahu.. kau sudah makan?" tidak lagi mendengar itu, ia melemas dan terduduk di atas kasur. "kau ini, kau pasti belum makan. Baiklah, aku siapkan makanannya dulu." si nenek pergi dari kamar itu. Tidak ingin menyantap apapun, tanpa pamit Yoona keluar dari sana. Kembali melewati Sehun yang masih duduk disana. Tetap tidak menyapanya. Tapi, tiba-tiba saja ia seperti melihat sesuatu, lalu seperi kilat ia membalikkan tubuhnya guna melihat itu.

     Sehun sedang melihat foto-foto yang ada didalam amplop itu dan dengan bodohnya Yoona tidak menyadari itu. Tentu Yoona langsung menghampiri pria itu dengan ekspresi kesalnya. Menyadari kedatangannya, Sehun segera menjaga jarak, tepatnya menyelamatkan amplop tersebut agar tidak direbut Yoona.

"Yak, bagaimana bisa kau mendapatkan itu?" suaranya terdengar lantang.

"Tunggu sebentar, aku masih ingin melihat-lihat." jawabnya sembari menjauhkan foto-foto yang ada ditangannya dari Yoona.

"Aniya, kembalikan padaku." Yoona terus berusaha untuk merebutnya. Tapi Sehun terlihat ahli menghindarinya. "aish, kau tidak perlu melihatnya." Yoona semakin kesal karena Sehun terus menghindarinya.

"Kalian sedang apa?" tanya nenek yang mendengar keributan di halaman rumahnya.

Yoona berhenti mengejar Sehun. "halmoni, amplop yang kumaksud ternyata diambil olehnya."

"Sehun-a.." tegur nenek dengan lembut sembari menatap Sehun dari jauh. Yoona ikut menatapnya. Sehun membalas tatapan Yoona dengan enggan lalu mengembalikan amplop itu, dengan cepat diaraih Yoona lalu segera ia masukkan kedalam saku jaket barunya. "kau mau kemana?" tanya nenek ketika dilihatnya Sehun melangkah pergi.

"Pulang." jawabnya singkat.

"Dasar aneh." celutuk Yoona kesal. "Halmoni, aku mau kembali kerumah, tadi aku lupa mengunci pintu." memeluk nenek itu dengan cepat lalu segera pergi dari sana.

--

     Jalanan terasa sunyi, Yoona secara spontan mempercepat langkahnya untuk menghindari pikiran-pikiran anehnya. Langkahnya semakin cepat hingga ia terlihat seperti berlari kecil. Tapi dalam sekejap langkahnya terhenti, tubuhnya mematung ketika melihat apa yang tertangkap oleh matanya.

     Seseorang sedang dipaksa masuk kedalam mobil sedan berwarna hitam. Orang itu terlihat tidak bisa melawan karena dirinya juga ditodong dengan senjata oleh tiga orang pria berbadan kekar. Hanya merelakan tubuhnya didorong kedalam sedan itu. Yoona tampak shock, bukan karena tindakan pria berbadan kekar itu, tapi karena ia mengetahui siapa yang sedang didorong paksa itu.

     Tidak perlu memikirkannya lagi, Yoona sudah berlari guna mendekati mobil sedan itu, tepatnya hendak menyelamati pria yang sedang diculik itu. Tapi langkahnya tidak secepat laju mobil itu yang kini sudah menghilang dari pandangannya. Yoona masih terus mencoba berlari, mencari jalan pintas yang kemungkinan dapat mempertemukan dirinya dengan mobil sedan itu, tapi sayangnya hal itu tidak terjadi. Sedan hitam itu benar-benar tidak terlihat lagi.

"Ada apa ini? Mengapa mereka membawanya? Dan mengapa mereka sampai menodongkan sejata seperti itu? Apa yang harus aku lakukan? Jika aku laporkan polisi, aku tidak punya cukup bukti, aish, aku bahkan tidak mengingat plat mobilnya!" menghentakkan kakinya dengan kesal.

--

     Tertidur setelah sekian lama tidak kuasa menahan kekhawatirannya terhadap pria itu, Sehun. Yoona merasa kecewa terhadap dirinya sendiri karena tidak berhasil menyelamatkan pria itu, yang kebetulan diculik tepat dihadapannya. Rasa khawatir yang ia rasakan masih berlangsung hingga pagi hari, dimana ia terbangun dari tidurnya berkat mimpi buruk yang ia alami.

     Mengerjapkan matanya berkali-kali berharap itu hanya mimpi buruk, lalu berlari kecil menuju kamar mandi. Memandangi wajahnya yang terlihat pada cermin yang ada dihadapannya. Lama merenung membuatnya mengingat sesuatu yang nyaris terlupakan olehnya. Yaitu sekolah.

--

     Duduk gelisah didalam bis, kali ini bahkan langkahnya hampir tak terlihat, itu karena ia harus berlari guna mengejar waktu agar tidak terlambat memasuki kelas. Dan berkat kecepatannya itu ia berhasil datang tepat waktu. Dan kembali ia rasakan, perasaan aneh ketika berjalan menuju kelasnya yang berada disudut lorong gedung itu. Tentu yang selalu ia rasakan, rasa enggan untuk melanjutkan langkahnya kesana.

     Ia masih melangkah dengan tenang sembari menenangkan dirinya agar rileks menjalani pelajaran. Tapi disaat ia melewati jendela kelasnya yang pada saat itu tidak terutup rapat, langkahnya terhenti begitu saja. Bukan dikarenakan jendela itu, tetapi karena suara yang terdengar dari balik jendela tersebut.

     Seseorang atau tepatnya salah seorang teman sekelasnya tengah membicarakannya, dan yang membuat Yoona berhenti melangkah adalah ketika ia mendengarkan mereka mengatakan kata yang tidak pantas untuk ayahnya. Tentu ia tidak bisa menerimanya begitu saja. Tapi disatu sisi ia enggan terlibat pertengkaran, takut jika nanti dirinya kehilangan kesadaran. Karena itu ia mencoba melupakan perkataan itu. Tepat ketika hendak kembali melangkah, ia kembali mendengar sesuatu yang lebih manyakitkan untuk didengar. Dan kali ini tidak bisa dimaafkan.

     Membuka pintu kelas dengan kuat lalu membantingnya kembali lebih keras. Suara itu dipastikan akan terdengar hingga ke kelas sebelah. Mengepalkan kedua tangannya, berharap masih dapat mengontrol emosinya. Tentu ia masih mencoba untuk tidak memperlihatkan kemarahannya. Dan kini, seperti biasa, suasana kelas menjadi hening. Dan itu membuatnya semakin merasa geram.

     Duduk di kursi yang biasanya ia tempati. Merasakan darahnya yang mendidih dan kehebatan jantungnya yang berdetak tak karuan. Tetapi kembali terjadi, didalam keheningan, sebuah suara menyelip dan berhasil sampai ke pendengarannya. Kehabisan kesabaran, lantas Yoona langsung bangkit dari duduknya lalu menghampiri seorang gadis yang duduk tidak jauh darinya, mendorong meja gadis itu dengan kakinya hingga membuat meja itu tergeser dan menabrak meja lainnya dengan keras. Tak sempat berkata, kini tangan Yoona sudah menarik kerah baju gadis itu dan mendorong tubuh itu hingga membentur dinding. Dan perlahan tubuh itu terangkat dengan kekuatan yang Yoona miliki.

"Lepaskan aku!" ucap gadis itu yang terlihat ketakutan.

"Tadi kau bilang apa? Hah, kau pikir kau pantas mengatakan itu? " nada suaranya bergetar penuh amarah.

"Aku tidak bisa bernafas.. Kumohon, lepaskan aku." gadis itu hingga menangis dan terus memohon.

"Aku bahkan tidak pernah mengatakan itu! Sesulit apapun yang aku rasakan, tak pernah sekalipun aku mengatakannya."

"..." gadis itu terlihat lemah tak mampu berbuat apa-apa, dan tak ada seorangpun yang berani membantunya.

"Pembunuh?" amarahnya semakin memuncak. "tarik kembali kata-kata itu!"

"Yoong! Hentikan!" tentu Yoona mengenal suara itu. Tapi ia tidak juga melepas tangannya dari gadis itu. "kumohon lepaskan dia Yoong.." Yuri berdiri disampingnya, memegang tangannya yang masih menggenggam erat kerah baju gadis itu. "Yoong, kumohon.." pinta Yuri yang perlahan menarik tangan Yoona guna melepaskan gadis itu, dan ternyata berhasil. Tepat setelah Yoona melepasnya, gadis itu langsung mengambil langkah menjauh. Suasana kelas pun menjadi mencekam. Tak terdengar suara apapun disana. Masih merasa sulit menahan emosinya, Yoona pun keluar dari kelas dengan cepat.

"Kau baik-baik saja?" tanya seorang gadis kepada gadis yang baru saja dilepaskan oleh Yoona.

"Jem.." ucap gadis itu sembari merapihkan kemejanya yang kusut. "melihat tingkahnya saja tidak heran, mereka memang keluarga yang aneh." ujar gadis itu tanpa takut. "kenapa dia harus marah? Bukankah aku benar? Ayahnya kan memang pembunuh!" tambahnya. Sedetik dari itu sebuah tamparan keras melayang ke wajahnya. Tamparan dari Yuri yang ternyata masih berada disana.

"Kau beruntung menerima ini dariku, karena jika Yoong yang melakukan ini, aku yakin kau akan pingsan, atau mungkin koma, kurasa." ucap Yuri yang setelah itu pergi dari sana guna mencari Yoona.

     Mencari ke segala tempat, tetapi Yuri tetap tidak menemukannya. Disela itu muncul sebuah jawaban dan ia langsung berlari untuk mencari tahu benar atau tidaknya. Dan ternyata benar. Tapi Yoona tidak sendiri. Diatap gedung sekolah, ditemani Kai, Yoona duduk merenung memandangi langit yang tengah dihiasi butiran salju.

     Yuri hendak menghampiri namun langkahnya terhenti ketika dilihatnya Kai tengah merangkul Yoona. Melihat itu membuatnya merasa aneh, aneh dengan dirinya sendiri. Sama seperti yang ia rasakan beberapa hari yang lalu. Perasaan aneh muncul ketika dirinya melihat Kai dan Yoona berdekatan. Dan saat ini, perasaan aneh itu kembali muncul. Sedikit perih dan membuatnya sulit berpikir dengan jernih. Merasa tidak siap menghadap Yoona dengan keadaannya yang seperti itu, Yuri pun memilih pergi.

"Bagaimana bisa kau mengetahui bahwa aku ada disini?" tanya Yoona setelah lama diam. Kai melepaskan rangkulannya lalu menjitak kepala Yoona pelan. "yak.."

"Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak menggunakan kekerasan?" kata Kai merasa jengkel.

"Mwo? Hoh. Jadi maksdumu, aku harus berpura-pura tidak mendengar apa yang mereka katakan? aku tidak bisa." jawabnya penuh penekanan.

"Tapi kau hampir saja membunuhnya.." kembali menjitak kepalanya. Mendengar kata itu membuat raut wajah Yoona menjadi murung.

Ia tersenyum miris. "aku tidak akan membunuh." menunduk menatap kedua tangannya yang tadinya menggenggam kerah baju temannya itu.

"Yoona-a, aku hanya tidak ingin kau merasa tertekan dengan apa yang telah terjadi. Aku berharap kau bisa menjalani hari-harimu dengan nyaman." Yoona menatap Kai yang juga sedang menatapnya. Lalu kembali mengamati butiran-butiran salju yang melayang diatas kepalanya.

"Aku harus kembali kekelas." bangkit dengan cepat untuk pergi dari sana, tapi Kai menggenggam tangannya.

"Kapan kau bisa lebih terbuka padaku?" ucapnya menatap Yoona dengan lekat. Yoona diam sejenak mengamati sepasang mata yang sedang menatapnya itu. Kini dirasakannya hatinya seakan remuk melihat sahabatnya yang mengkhawatirkannya. Hal yang membuatnya tidak bisa nyaman menjalani hari-harinya.

"Kai-a, bisakah kau berhenti mengkhawatirkanku?" pintanya, ia terlihat sangat yakin.

"Mwo?" dan Kai terlihat tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "bagaimana aku bisa,"

"Kumohon Kai. Bertindaklah seakan-akan kau tidak tahu apa-apa." tak dapat dimengerti maksud dari perkataannya.

"Kau kenapa? Apa aku menyulitkanmu?" Yoona tak menjawab dan mencoba pergi. Tapi Kai tidak melepaskan tangannya begitu saja sebelum ia mengerti maksud dari perkataannya. "wae? Wae irae? Katakan padaku."

"Kebaikanmu akan membuatku terlihat semakin buruk." ujar Yoona pelan, seperti bisikan. Tapi dapat didengar oleh pria itu, dengan sangat jelas.

"Aniya, kau tidak perlu berpikir seperti itu. Aku.."

"Kumohon Kai. Aku lelah." dan pertama kalinya ia mendengar suara Yoona bergetar seperti itu. Ia masih berharap Yoona menarik kata-katanya, tetapi ketika dilihatnya setetes air mata mengalir diwajah gadis itu, genggaman tangannya lantas melemah. Dan setelah itu Yoona pun pergi dari sana.

--

     Menahan kesedihannya agar tidak ada seorang pun yang mengetahui keadaannya pada saat itu. Walau Kai sudah melihatnya. Ia harus segera kembali kedalam kelas. Sedikit berlari, karena sepertinya pelajaran sudah dimulai. Dan ternyata benar. Seorang wanita tua tengah mengamatinya yang masih berdiri didepan pintu.

"Masuklah, pelajaran sudah dimulai." ucap wanita itu yang merupakan gurunya. Tapi wanita itu terlihat tenang dan tidak memarahinya yang jelas sekali sudah telat menghadiri pelajaran.

"Jesong hamnida." menundukkan kepalanya lalu melangkah menuju kursinya. Menyadari tatapan dari gurunya itu, ia berusaha tidak menatap balik. Tidak ingin menerima tatapan kasihan yang orang berikan padanya.

"Baiklah, kita lanjutkan pelajarannya." kata guru itu dan setelah itu seisi kelas pun kembali fokus padanya. Tetapi tidak dengan gadis itu. Yoona malah merenung mengamati lapangan bola dari balik jendela yang ada disampingnya. Sesungguhnya gurunya menyadari itu, namun sepertinya ia mengerti keadaan Yoona pada saat itu, dan membiarkan gadis itu begitu saja.

     Dalam renungannya ia kembali memutar memori masa lalunya bersama kedua orangtuanya. Benar-benar tidak terpikirkan bahwa keluarganya akan berakhir seperti ini. Tentu hal yang tidak diinginkan semua orang. Tapi disela itu, wajah Sehun terlintas dipikirannya. Dan dalam sekejap ingatan akan peristiwa pada malam itu kembali menguasainya. Lantas ia menjadi gelisah.

     Merogoh saku jaketnya guna memeriksa amplop yang tadi malam kembali ia dapatkan dari pria itu. Dilihatnya foto yang ada didalamnya. Matanya membesar melihat itu. Hanya ada satu foto disana, dan itu foto pria itu. Oh Sehun. Gelisah dan kesal pun mengaduk perasaannya. Gelisah karena mengkhawatirkan keadaan pria itu, dan juga kesal dengan tingkah pria itu.

"Aish, bagaimana bisa dia mengambil foto-foto itu, dan hanya menyisakan foto dirinya? Hoh, apa maksudnya?" sepanjang proses belajar itu, Yoona  terus memikirkan itu. Hingga pelajaran selesai. Belum juga gurunya meninggalkan kelas, ia sudah lebih dulu keluar dari sana. Tapi sang guru dengan cepat memanggilnya.

"Im Yoona! Ikuti aku." gurunya berjalan pelan mendahuluinya. Mengerti maksud guru itu, Yoona segera mengikutinya. Mereka berhenti di tangga yang sepi.

"Waeyo? Soengsaeng-nim?" tanya Yoona tak bersemangat. Karena pikirannya sudah melayang menuju Sehun.

"Kau baik-baik saja?" ternyata gurunya mengkhawatirkannya. Yoona bahkan tidak menyangka akan hal itu. Karena yang ia ketahui selama ini gurunya itu tidak pernah menghiraukannya. "apa ada yang bisa aku bantu? Kau punya uang? Kau sudah makan?" Gurunya terlihat sungguh mengkhawatirkannya. Mungkin karena ia merupakan wali kelas mereka.

"Saya baik-baik saja." Yoona merasa canggung.

"Yoona, selama ini aku memang tidak terlalu banyak berbicara denganmu. Tapi sesungguhnya aku tidak pernah berhenti memperhatikanmu." Yoona mencoba mendengarkan. "jadi, jika kau membutuhkan sesuatu, katakanlah padaku. "wanita itu mengelus pundaknya. Tidak tahan dengan rasa canggung yang ia rasakan, Yoona pun pergi dari sana, tentu setelah mengucapkan terima kasih.

--

     Kesalahan terbesarnya yaitu tidak membuka hatinya kepada kebaikan yang orang lain berikan kepadanya. Tidak, Yoona tidak seburuk itu. Malah sebaliknya, ia merasa sangat buruk jika menerima kebaikan itu. Merasa sangat menyusahkan mereka yang diyakininya merupakan manusia dengan hati yang sangat amat baik. Hingga peduli kepadanya dan bersedia membantunya. Seperti sahabat terbaiknya yaitu Kai. Tidak pernah sekalipun Yoona membalas kebaikannya, tapi Kai tidak henti-hentinya membantunya dan terus membantunya. Disitu Yoona merasa dirinya tidak berguna. Apalagi ia merasa bahwa Kai mulai menyukainya. Tentu ia tidak akan membiarkan perasaan itu semakin berkembang, karena sepertinya ia tidak bisa membalas perasaan itu. dan juga, sahabatnya Yuri. Ia mengetahui itu, bahwa Yuri menyukai Kai. Itu juga yang membuat Yoona sering menghindari Kai.

     Tidak menuju rumahnya tetapi menuju pabrik tempat Sehun berada, sejauh ini seperti itulah yang ia ketahui. Tapi setibanya disana, melihat pabrik yang tertutup itu, rasa takut menyelimuti  dirinya. Ia mencoba menguatkan diri dan berusaha mengetuk pintu besi yang berada disamping pagar nan tinggi itu. tapi karena ketukan lemahnya itu tentu tidak menghasilkan apapun. Menghembuskan nafasnya dengan tenang, meyakinkan dirinya untuk berani. Ia pun kembali mengetuk pintu besi itu, tetap tidak ada suara yang terdengar. Tangannya malah gemetar akibat menutupi rasa takut.

     Mengutuk kesal dirinya yang tak mampu mengatasi rasa takut itu. Tapi ia tidak menyerah dan kembali mencoba menguatkan dirinya. Tangannya yang bergetar itu kembali mengetuk pintu, dan kali ini sukses, terdengar bunyi dari ketukan yang ia lakukan. Tapi berkat bunyi itu, sontak dirinya menjadi panik dan hendak kabur.

"Kau sedang apa?" suara itu menyadarkannya. Dengan cepat Yoona membalikkan tubuhnya. Pria itu. Sehun berada dibelakangnya. Menatapnya heran. "apa yang sedang kau lakukan?"

Seakan jantung hendak copot karena kaget. Menggenggam tangannya karena merasa geram, Sehun terus menatapnya menunggu jawaban. "Aku.." tapi ia malah kebingungan, bingung hendak menjawab apa. Tidak mungkin jika ia harus mengatakan bahwa ia mengkhawatirkan pria itu, lagi pula Sehun terliat baik-baik saja. "Aku.." kini ia benar-benar kesal dengan dirinya sendiri.

"..." Sehun menatapnya dengan tatapan menyelidik. Menyadari tatapan itu membuat Yoona dengan cepat mendapatkan jawaban yang tepat.

"Aku mau mengambil kembali foto-fotoku!" ucapnya dengan kuat, tapi terlihat gugup. Sehun menyipitkan matanya seakan menyadari kegugupan itu.

"Kau kesini untuk itu?" sukses, kini kegugupan itu semakin menjadi karena Sehun melangkah maju mendekatinya. Menahan nafas, seakan lupa bahwa ia bisa bernafas.

"Ya." Yoona terlihat sangat lucu ketika menjawab itu. Nakalnya, Sehun semakin memojokkannya yang kini mendarat di pintu besi karena mencoba mengindari pria itu. Yoona bahkan mengalihkan pandangannya guna menghindari tatapan tajam pria itu.

"Jongmal?" bisik Sehun. Yoona mengangguk kaku. Sehun diam sejenak, masih dalam posisinya. "foto-foto itu, aku sudah membuangnya." mundur beberapa langkah, memberi ruang untuknya.

"Mwo! Yak!" mengatup mulutnya sejenak mencoba menahan sedikit emosinya. "kau tahu seberapa penting foto-foto itu? hah!" menghembuskan nafasnya dengan teratur tapi penuh tekanan. "aish, kau benar-benar menjengkelkan." mengacak pinggangnya lalu menatap Sehun, tak lagi terlihat gugup. "kembalikan foto-foto itu. Aku tahu kau belum membuangnya. Cepat!" Sehun malah tersenyum simpul. "kenapa kau tersenyum? Apa ada yang lucu?"

"Pulanglah. Aku mau istirahat." menggeser tubuhnya lalu membuka pintu besi itu.

"Kau mau kemana? Kembalikan dulu fotonya." tapi Sehun sudah tak terlihat. Pintu besi kembali tertutup rapat. "aish.. jinja, aku benar-benar marah." menghentakkan kakinya ke aspal, lalu meringis kesakitan hingga melompat kecil. Menatap sinis pintu besi itu. Lalu dengan berat hati ia melangkah pergi.

     Terdengar suara pintu besi terbuka. Tentu Yoona langsung berbalik guna melihat siapa yang keluar dari sana. Seharusnya ia kembali memarahi pria itu. Tapi yang terlihat gadis itu hanya diam menunggu pria itu berhenti tepat dihadapannya. "pakai ini." dengan reflek tangan Yoona menerima payung pemberian pria itu.

"Payung?" batinnya tak berani berkata. Sehun kembali meninggalkannya disana tanpa mengatakan apapun. Mengamati payung itu, lalu mengamati langit. Barulah ia menyadarinya. Saat ini salju turun dengan semangat. Bahkan Yoona tidak menyadari bahwa terdapat tumpukkan salju di atas kepalanya. Seakan baru balik dari alam sadarnya, tubuhnya merasa menggigil akibat udara dingin yang memaksa masuk kedalam jaketnya. Dengan cepat ia membuka payung itu lalu berlari kecil menuju rumahnya.

--

     Benar bahwa Yoona kedinginan, tetapi disamping itu ada yang lebih merasa kedinginan bahkan nyaris membeku, hati maupun tubuhnya. Dari kejauhan, dari awal hingga tontonan itu berakhir, berdiri bersandar pada motornya, Kai tidak sekalipun melepaskan pandangannya dari Yoona. Tidak, tidak hanya Yoona, tentunya juga Sehun. Ternyata Kai mengikuti Yoona, tanpa sepengetahuan sahabatnya itu. Ia sungguh tidak menyangka, bahwa ia akan melihat semua itu. Yoona terlihat berbeda, menurutnya.

     Langkahnya terlihat lemah, kembali menaiki motornya dan duduk diam disana. Mengingat ekspresi yang ditunjukkan Yoona kepada pria itu, Kai tersenyum miris. Yoona bahkan tidak pernah berlaku seperti itu dihadapannya. Kai mengusap wajahnya dengan kuat, berharap tersadar dari mimpi buruk, namun ini adalah kenyataan. Menepikan poninya keatas, dan kembali hening. Sesuatu mengalir manja di pipinya, sepertinya Kai tidak menyadari itu. Masih mengenakan  helm pull press, Kai pergi dari sana. Pandangannya fokus ke jalan, dan tidak menghiraukan air mata yang mulai membasahi wajahnya.

--

     Malam ini Yoona memasak ramen yang baru ia temukan didalam laci dapurnya. Menyantapnya dengan lahap, namun ia tidak terlihat baik. Wajah murunglah yang mendampinginya pada malam itu. Setelah membersihkan piring dan dapur, Yoona memilih duduk dikamar ayahnya. Hanya duduk menikmati sepinya malam. Tapi kesepian itu menghilang ketika ia mendengar ketukan keras pada pintu rumahnya. Tepatnya mengetuk dengan kasar. Dengan perasaan bercampur aduk Yoona berlari menuju pintu rumahnya, membukanya dengan ragu.

Brukk!

     Ia terjatuh karena seseorang mendorong pintu rumahnya dengan kuat. Belum sempat bangkit, tiga orang pria sudah masuk kedalam rumahnya tanpa ijin. Melihat itu tentu Yoona bisa menebak. Mereka adalah penagih hutang yang biasanya datang setiap akhir bulan, seperti saat ini.

"Hoh, kenapa dia pakai dipenjara segala? Lalu, bagaimana dengan hutang-hutangnya? Siapa yang akan melunasinya? Kau? Apa kau bisa?" ucap pria itu kepada Yoona. Mendorong tubuh Yoona berkali kali, tentu dengan kasar. Yoona tidak takut, tapi ia lebih terlihat bingung hendak melakukan apa.

"Ahjussi, memangnya berapa lagi hutang ayahku?" tanyanya. Mereka menertawainya.

"Kau tidak akan sanggup membayarnya. Ayahmu saja sulit, apa lagi kau. Kecuali.." ia memandangi kondisi rumah itu. "kau menyerahkan rumah ini kepadaku." ia merasa otaknya enggan berpikir. Tidak tahu hendak mengatakan apa. "Bagaimana? Serahkan saja rumah ini. Aku sudah lelah terus-terusan berurusan dengan kalian."

"..." Yoona masih mengatup rapat mulutnya.

"Yak, kau tidak mendengarku?" tentu Yoona tidak bisa melunasi hutang itu, karena itu ia merasa berat untuk mengatakannya. Mengatakan bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dan dengan terpaksa ia harus merelakan rumahnya. Ingin sekali melawan, tapi itu tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Hal hasil, ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa kini ia tidak memiliki rumah.

     Berat memikirkan semua itu, Yoona pun melangkah keluar dari rumah. Menaiki bis yang entah kemana tujuannya. Ia sudah tidak memikirkan itu. Mereka memang memberikan waktu selama dua hari untuknya meninggalkan rumah itu. Tapi, kemana setelah itu ia akan pergi? Menumpang? Sakit memikirkan itu. Menyadari betapa menyedihkan dirinya.

     Bis berhenti di sebuah halte, tanpa mengetahui dimana saat itu, Yoona memilih turun dari bis. Ditepi jalan kota Seoul, ia menatap langit malam yang dipenuhi butiran salju. Syukur ia membawa payung pemberian Sehun, lantas ia langsung memakai payung itu guna menghindari butiran salju. Kembali melangkahkan kakinya, entah kemana, sesuka hatinya.

     Langkahnya terhenti di tepi Sungai Han. Menyadari dirinya telah berada disana, ia hanya tertawa tak percaya. Tapi sesungguhnya tawaannya hanya sebagai penghilang rasa sedihnya. Memandangi pantulan lampu hias di air sungai yang tenang itu, sebuah senyuman tersungging di wajahnya. Tidak bisa membohongi dirinya, pemandangan itu memang sangat indah.

     Ia kembali melangkah guna mencari tempat yang lebih nyaman untuk merenung. Tapi tanpa sengaja matanya  menangkap sebuah tontonan menyeramkan. Seseorang hendak melompat kedalam sungai. Melihat kondisi orang tersebut tentu Yoona dapat dengan cepat menanggapi itu. Ia melangkah cepat hingga berlari seperti orang gila, mencoba menangkap orang itu agar menjauh dari sana.

"Jogiyo! Menjauh dari sana! Itu berbahaya!" teriaknya sembari mendekati pria tua yang sepertinya berumur 50 tahunan. Tapi pria tua itu tidak mendengarnya. Yoona semakin mempercepat langkahnya, sayangnya pria itu sudah melompat kedalam air.

     Dilihatnya kini pria itu kesusahan berenang. Baru Yoona sadari, pria itu memegang botol minuman keras, dan itu artinya ia dalam keadaan mabuk. Tidak bisa berdiam diri, tanpa berpikir Yoona langsung melompat kedalam air sungai lalu menyelamatkan pria itu.

--

     Mengawasi pekerja yang bekerja untuk ayahnya hingga larut malam. Hingga semua pekerjanya menyelesaikan tugas mereka dan satu-persatu meninggalkan pabrik. Barulah Sehun bisa bersantai dan dapat mengunjungi adiknya seperti yang ia lakukan belakangan ini. Mengambil beberapa roti yang baru saja selesai dipanggang, memasukkan kedalam kotak. Dengan senyum manisnya ia berjalan keluar dari pabrik.

"Yak Sehun!" teriak pria yang biasanya dipanggil Kris.

"Ne hyung." jawabnya yang sudah berhenti melangkah. Kris terlihat terburu-buru.

"Cepat kerumah sakit, ahjussi kembali mencoba bunuh diri. Aku akan menyusul setelah membereskan tugasku." ucap pria berwajah tampan itu. Kotak yang berisi roti pun tak lagi berada digenggamannya, berlari dengan cepat menuju mobil milik ayahnya. Dan dalam sekejap mobil itu sudah keluar dari perkarangan pabrik.

     Menghapiri suster yang tengah bergelut dengan komputernya, setelah mengetahui keberadaan ayahnya. Tak terlihat langkah, ia berlari dengan sangat cepat. Disaat melihat keadaan ayahnya, barulah ia bisa bernafas lega setelah tadinya merasa sulit bernafas. Seakan sudah terbiasa dengan hal itu, ayahnya malah terlihat asik menonton siaran di televisi, walau infus tetap menempel di tangan kanannya.

"Oo, wasseo?" Sapa ayahnya seakan tidak terjadi apa-apa.

"Mau sampai kapan kau seperti ini!" Bentak Sehun, tepatnya mengkhawatirkannya.

"Sudahlah, anja." tersenyum lebar kepada anak laki-lakinya itu. Sehun tetap saja berdiri, menatap ayahnya dengan kesal. "aish kau ini, sudahku bilang, aku baik-baik saja!" ayahnya malah ikutan kesal. "ah, aniya." ucapnya setelah itu. Ia seperti sedang berpikir.

"Waeyo?" merasa aneh melihat ayahnya yang berhenti bebricara.

"Gadis itu.. Dimana dia?" tanya ayahnya dengan panik.

"Siapa maksudmu?"

"Dia yang telah menyelamatkanku." ayahnya berusaha bangkit dari tempat tidur, lalu ia mencoba keluar dari ruangan itu.

"Aboji, wae geurae?" menahan ayahnya agar tidak bergerak.

"Aku harus mencarinya." mendorong tangan Sehun lalu berjalan menuju suster yang sedang duduk dibalik meja resepsionis. Tidak bisa berbuat apa-apa, mengetahui watak ayahnya, Sehun hanya bisa mengikuti langkahnya dengan memegang kantung infus ayahnya. "suster, apa kau tahu dimana gadis yang menyelamatkanku? Sepertinya tadi ia juga dibawa kerumah sakit ini." tanyanya dengan sopan.

"Dia berada tepat didepan kamarmu." jawab perawat itu.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya ayah Sehun lagi.

"Sejauh ini dia belum sadarkan diri, tetapi dari keterangan yang dokter berikan, gadis itu baik-baik saja."

"Baiklah, khamsahamnida." dengan langkahnya yang terlihat terburu-buru, tanpa memikirkan Sehun yang kesusahan menjaga selang infusnya, ia melangkah dengan cepat guna menghampiri penyelamatnya.

"Tak bisakah kau pelan-pelan saja?" gerutu Sehun kesal. Tapi tidak didengarkan oleh ayahnya.

     Pintu kamar itu dibuka olehnya dan tanpa menunggu ia langsung mendekati tempat tidur guna melihat keadaan gadis yang telah menyelamatkan nyawanya. Sehun masih mencari posisi agar dapat menempatkan kantung infus dengan benar. Ayahnya memang selalu merepotkannya.

"Kasihan sekali gadis ini.. Dia pasti sangat kedinginan." kata ayahnya, mengamati gadis itu yang sedang tertidur.

"Aboji, benarkan letak selang infusmu." Sehun masih sibuk dengan selang infus ayahnya. Tapi ayah tak juga bergerak dan terus mengamati gadis yang tengah tertidur itu. "Aboji.." berhenti berkata. Karena kini matanya menatap lekat gadis yang berada dibalik selimut itu. Hingga melotot tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat.

"Y-yoona?" kantong infus terlepas dari tangannya dan jatuh keatas lantai.

"Yak! kau menjatuhkannya." dengan cepat ayahnya berjongkok untuk mengambil kembali kantung infusnya.

"Dia yang menyelamatkanmu?" tanya Sehun tak melepaskan tatapannya dari gadis itu.

"Wae? Kau mengenalnya?" Sehun mengangguk mengiyakan. Lalu ayah dan anak itu pun sama-sama terdiam, menatap Yoona yang masih tertidur lelap.

Continued..

Hi kakak-kakak..

Saya baru saja terbitkan novel.

Judulnya White Romance

Jika ingin tanya2, bisa dm saya di instagram @hyull

Murah kok. Rp 78.000

Dan sejauh ini White Romance adalah novel terbaik yang pernah saya buat.

Siapa tahu tertarik, bisa langsung diorder.

Maaci..

avataravatar
Next chapter