3 Part 3

     Setelah berhari-hari bekerja, akhirnya ayah Yoona pulang kerumah. Kali ini wajahnya terlihat berseri-seri, memasuki rumah dengan kunci cadangan yang ia miliki. Pada saat itu keadaan rumah terlihat sepi, mungkin karena Yoona sedang bersekolah. Hal yang pertama kali ia lakukan yaitu masuk kedalam kamar anak tercintanya. Meletakkan sebuah kotak berukuran sedang di atas meja belajar anaknya. Dilihatnya sebuah catatan harian Yoona yang ada di atas meja belajar.

Hal yang sampai saat ini sangat aku sesalkan adalah ketika aku terus mendesak appa agar membelikanku jaket. Tidak menghiraukan bagaimana kehidupannya diluar sana. Sungguh aku menyesali itu. Kini aku sangat merindukannya, dan aku bertekat, ketika aku bertemu dengannya, aku akan mengatakan itu, bahwa aku tak lagi menginginkan jaket itu.

Aku benar-benar bodoh, aku merasa sudah sangat bersalah atas tindakanku selama ini terhadapnya. Seharusnya aku mendukungnya, menjaganya dengan baik. Dan hal lain yang membuatku merasa menyakitinya. Karena aku juga merindukan eomma. Hal yang sepertinya tidak dirasakan olehnya.

Apa yang harus aku lakukan jika nantinya eomma kembali? Karena sepertinya appa tidak menginginkan itu. Mengingat seringnya ia memarahiku ketika aku mengatakan bahwa aku tengah merindukan eomma. Mengapa appa sampai semarah itu? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang telah eomma lakukan terhadapnya? Jika seperti ini, apa aku harus merelakan hidupku tanpa ditemani seorang ibu? Selamanya?

     Isak tangisnya pun terdengar mengisi ruangan yang sepi itu. Ia terduduk di kursi yang ada dikamar putrinya. Didalam kegelapan dan ditemani kesunyian, hingga malam tiba. Catatan yang baru saja ia baca masih terus terputar di memorinya. Ia benar-benar merasa bersalah, tak seharusnya putrinya mengalami kehidupan yang seperti ini. Hidup miskin dan tidak didampingi oleh ibunya. Dan juga dirinya yang tidak bisa sepenuhnya memberikan hal yang putrinya inginkan. Dia sungguh merasa terpuruk.

     Tetapi ketika ia mengingat kata "eomma", dengan cepat amarah menyelimuti dirinya. Matanya memerah menahan emosi, tak ada lagi air mata, yang terlihat hanya raut wajahnya yang menakutkan. Disela itu, ia mendengar pintu rumahnya terbuka dan juga bunyi langkah pengguna sepatu hak tinggi. Tidak lama dari itu sebuah suara terdengar dan berhasil membuatnya mematung diatas tempat duduknya.

"Yoona-a.. Kau dimana?" suara itu terdengar lantang ditengah sepinya malam. "Yoona-a.. Eomma kembali." darahnya mendidih. Kegelisahan menguasai dirinya. Tentu amarahnya semakin memuncak. Ia bangkit dari duduknya, dengan langkah cepat ia menghampiri asal suara itu. "omo!" wanita dengan pakaian yang modis, tepatnya seperti anak muda, dengan make-upnya yang sedikit menor, ditambah sepatu hak tingginya yang terlampau tinggi. Ayah Yoona nyaris tidak mengenali wanita itu. "kau! Kenapa kau datang secara tiba-tiba! Kau mengagetkanku saja." bentak wanita yang sepertinya sudah berumur itu.

"Mwo?" masih mencoba menahan amarahnya.

"Dimana putriku?" tanya wanita itu dengan angkuh.

"Kau kira kau pantas menanyakan itu?" tangkasnya dengan geram.

"Jangan banyak bicara, aku kesini hanya ingin menemui putriku. Aish, kenapa rumah ini gelap gulita seperti ini? Ternyata kau masih seperti dulu. Kau masih bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini? Kasihan sekali puteriku."

"Keluar!" bentak ayah Yoona.

"Hoh, apa kau bilang?"

"Keluar dari rumah ini!"

"Kau benar-benar kurang ajar." 

     Melihat wanita itu yang tak juga bergerak, ayah Yoona pun mendorongnya keluar, tapi wanita itu berusaha melawannya. Bahkan wanita itu menampar ayah Yoona menggunakan tas miliknya. Berkat tamparan itu, sebuah sayatan terlihat di pipi ayah Yoona, dan tidak lama dari itu darah pun mengalir di wajahnya.

"Keluar sebelum aku menggunakan kekerasan." suaranya pelan tapi penuh dengan tekanan. Tapi wanita itu tidak juga keluar, ia malah berjalan ke dapur lalu mengambil segelas air mineral untuk diminumnya. Merasa sudah berada diujung kesabarannya dan tidak dapat menahannya lagi. Seperti kilat ia menghampiri wanita itu yang masih berada di dapur, lalu mencengkram lehernya dengan kuat.

"Apa yang kau lakukan! Lepaskan!" teriak wanita itu terbata-bata. "yak! aku tidak bisa bernafas!" tapi ayah Yoona tidak juga melepaskan cengkramannya.

"Kau lupa dengan apa yang telah kau lakukan terhadap kami?" menghantam tubuh itu ke meja yang ada dibelakangnya, masih mencengkram leher itu. "kau meninggalkan kami disaat keadaan masih sangat kacau!" air mata menggenangi kedua matanya. "dan juga, tanpa perasaan kau limpahkan aku hutang-hutangmu yang berjumlah luar biasa itu!" perlahan air mata itu mengalir, walau terlihat enggan. "hidup kami semakin hancur berkat kau! Dan sekarang, berani-beraninya kau kembali kesini? Apa kau benar-benar ingin mati!"

"Uhuk! Uhuk! Tolong!!!" cengkraman itu terlepas dikarenakan wanita itu menusuk paha ayah Yoona menggunakan pisau, pisau yang ia dapat dari meja yang ada dibelakangnya. Ayah Yoona meringis kesakitan. Melihat itu pisau terlepas dari tangannya. "mati? Seharusnya kau yang mati! Pria tua sepertimu tak pantas hidup!" tampak ketakutan wanita itu melangkah menjauh. Tapi ayah Yoona tidak membiarkannya begitu saja. Dengan langkahnya yang terlihat pincang, ia berlari guna menutup pintu dapur, lalu tak lupa menguncinya. Wanita itu lantas semakin ketakutan. Dengan tubuh gemetarnya ia terus berteriak meminta pertolongan.

"Kaulah yang harus mati. Mati ditanganku." pisau yang tadinya terjatuh dari tangan wanita itu kini sudah berada ditangannya. Tidak sempat mengelak, pisau itu sudah melayang ke tubuh wanita itu. Tanpa kasihan ayah Yoona menarik kembali pisaunya dan kembali menusuknya. Ia melakukan itu berulang kali hingga tubuh itu tak lagi bergerak. Dan tewas.

     Hiruk pikuk warga mulai terdengar. Beberapa menit dari itu bunyi siriney dengan nyaring mengisi sistem pendengarannya. Disaat itulah baru dirinya tersadar. Ia menatap tubuh yang ada dihadapannya, penuh darah. Dilihatnya kedua tangannya, tangan kanannya masih menggenggam pisau itu, pisau yang juga dilumuri darah. Sontak ia kaget lalu menjatuhkan pisau itu.

     Tepat ketika pisau itu terjatuh dari tangannya, pintu dapur terbuka dan terlihatlah beberapa anggota kepolisian tengah menodongkan pistol kepadanya. Tidak ada yang ia perbuat, hanya merelakan tubuhnya diseret mereka, dengan tangannya yang sudah terborgol. Dilihatnya sekumpulan warga yang sedang menontonnya dengan pandangan hina. Ia tidak mempermasalahkan itu. Tapi ketika ia mendapatkan puterinya tengah menatapnya, hati terasa remuk. Hanya mengatup rapat mulutnya dan membiarkan tubuhnya didorong paksa masuk kedalam mobil polisi.

--

     Setelah kepergian mobil ambulan dan juga mobil polisi, keadaan menjadi lebih tenang. Walau masih ada beberapa polisi yang berjaga-jaga disana. Beberapa warga melirik kearah Yoona. Sebagian meliriknya dengan pandangan kasihan, dan sebagian lagi tak tertarik. Tapi tidak dihiraukan olehnya. Ia masih belum tahu hendak melakukan apa. Berbagai asumsi memenuhi pikirannya.

"Ikutlah denganku." suara itu memecahkan lamunannya. Tidak sempat menolak, Sehun sudah menarik tangannya, guna menjauh dari sana. Tidak ada yang Yoona lakukan, hanya merelakan pria itu membawanya, entah kemana.

"Sehun? Ada apa? Apa ada yang tertinggal?" tanya nenek yang baru saja membuka pintu rumahnya setelah Sehun mengetuk tadinya. "oo? Yoona? kenapa kalian kembali?"

"Halmoni, sepertinya malam ini dia harus menginap dirumahmu. Kau tidak keberatan kan?" tanya Sehun dengan tenang.

"Tentu saja tidak, tapi kenapa? Kenapa Yoona terlihat murung?" melihat Yoona yang tidak juga mengangkat wajahnya dan terus menunduk.

"Nanti akan aku ceritakan. Kami boleh masuk?" dengan cepat nenek itu mengangguk. Sehun langsung mendorong Yoona masuk kedalam rumah itu. 

--

"Apa yang baru saja kau katakan?" tanya nenek sesudah Sehun menceritakan semuanya. Sementara itu Yoona sudah berada didalam kamar tamu yang nenek itu siapkan untuknya.

"Aku tidak tahu betul seperti apa kejadiannya, tapi yang pasti, itulah yang aku lihat." jelasnya. Ia terlihat khawatir, tepatnya penasaran. Penasaran dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Yoona pasti merasa sangat terguncang. Yasudah, biarkan saja dia disini. Bahkan jika disini selamanya, aku akan menerimanya dengan senang hati. " dapat terlihat juga ekspresi kasihan dari wajah nenek itu.

"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Aku akan kembali besok."

     Melihat hal yang menyeramkan seperti itu tentu membuatnya tidak bisa memejamkan matanya. Terjaga sepanjang malam dengan terus memutar memori itu, masih berharap bahwa apa yang baru saja ia lihat tidaklah benar. Namun, darah yang melumuri ibunya, dan juga darah yang tertinggal ditangan ayahnya, hal itu membuatnya tak bisa menyangkal apa yang kini sedang ia pikirkan.

"Kehidupan seperti apa yang sedang aku jalani? Sungguh, aku ingin hidup tenang." air mata menggenangi kedua mata indahnya, tapi tak berhasil mengalir, sebab gadis itu melarangnya. Terus seperti itu hingga pagi menjelang.

 

--

     Cahaya matahari mengintip dari sela gorden. Pagi ini kamar gadis itu terasa sangat dingin, mungkin dikarenakan ia tidak menutup rapat jendelanya. Ditambah jaketnya yang sudah tak layak pakai. Ia terbatuk beberapa kali. Mencoba mengatur nafasnya yang terasa berat. Didengarnya suara tawa Sena dari luar kamar. Sebuah senyuman tersungging dengan alami di wajahnya. Ia segera bangkit dari kasur.

"Eonni.. Ayo main bersamaku, salju sedang turun. Wah.. Diluar benar-benar indah!" sapa Sena.

"Benarkah? Baiklah, ayo kita bermain." Sena menarik tangannya.

"Yoona-a, mengapa wajahmu pucat sekali?" tegur nenek yang sedang membersihkan halaman rumah dari tumpukkan salju.

"Aku baik-baik saja." lalu tersenyum lebar. Walau sebenarnya dirinya sudah hampir tumbang. Tapi itulah kehebatannya, ia mampu menutupi segala hal tentang dirinya. Baginya, orang baik seperti mereka hanya pantas diberikan senyuman.

"Eonni, buatkan aku boneka salju." pinta Sena semangat.

"Boneka salju? Jamkaman.. eonni kumpulkan saljunya dulu." ia mulai mondar mandir guna mendapatkan tumpukkan salju yang besar. "Sena, kancing jaketmu dengan benar." ujarnya dari jauh. Tapi anak itu tidak menghiraukannya. Yoona pun meninggalkan tumpukkan saljunya lalu menghampiri Sena. "kau harus mengancingnya seperti ini, jika tidak udara yang nakal ini akan menggerogoti tubuhmu, dan kau bisa sakit." ucapnya sembari mengancing rapat jaket Sena. "kau tidak boleh sakit, mengerti?" sambil mengelus pipi Sena.

"Oppa!" teriak Sena yang menyadari kedatangan Sehun. Ia langsung berlari menemui Sehun, pria itu pun menyambut adiknya dengan pelukkan hangatnya.

"Kenapa kau bermain diluar, bukankah ini dingin sekali?" tanya Sehun sembari membersihkan salju yang mengotori rambut adiknya.

"Aku suka salju, aku suka dingin. Hahaha.."

"Halmoni, aku pergi dulu, nanti aku akan kembali." kata Yoona kepada nenek yang masih menyapu di halaman.

"Oo? Tidak makan dulu? Kau belum menyantap apapun." nenek terlihat khawatir.

"Gwenchana, aku hanya ingin melihat-lihat keadaan rumahku." ia langsung berjalan, melewati Sehun tanpa menyapa. Ya, mereka belum sedekat itu. 

     Garis polisi masih menghalangi halaman rumahnya. Beberapa polisi masih berjaga-jaga disana. Dan ada juga warga yang berkumpul guna melihat-lihat. Yoona menghampiri polisi yang sedang berdiri di halaman rumahnya. Awalnya ia dilarang masuk, tapi setelah ia mengatakan bahwa ia anak pemilik rumah, barulah dirinya dipersilahkan melewati garis polisi.

"Ahjussi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya gadis itu.

"Namamu Im Yoona?" kata polisi itu yang sedang membaca sebuah data. Yoona mengangguk mengiyakan. "jenazah ibumu akan segera di kremasi, jadi sebaiknya kau ikut dengan kami ke rumah sakit untuk menemuinya sebelum proses kremasi dilakukan." mendengar kata kremasi membuatnya lemas. Tapi tidak ada pilihan lain, biaya pemakaman sangatlah mahal, maka kremasi lah pilihan terakhirnya. Ia pun menuruti perintah polisi tersebut.

--

     Mengamati peti yang ada dihadapannya. Menatapnya dalam diam. Tidak ada kesempatannya untuk melihat jenazah ibunya, karena proses kremasi akan segera dilakukan. Itulah yang membuatnya sangat bersedih. Tapi, tetap saja air mata tak terlihat di wajahnya. Hanya matanya yang memerah menahan tangis. Menghampiri peti itu lebih dekat. Menyentuh peti itu, penuh perasaan, seakan menyentuh ibunya.

"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, jika benar kau bersalah, jika kau benar-benar telah menyakiti perasaan appa, kurasa kau pantas mendapatkan ini. Tapi, sungguh aku ingin melihat wajahmu, aku merindukanmu." suaranya bergetar menahan kesedihan yang tengah ia rasakan. "Tuhan telah merencanakan semuanya, ani, ini semua merupakan jalanku untuk menuju masa depan. Tapi, mengapa harus mengorbankan nyawa?  Dan juga kenapa harus nyawamu? Dan, mengapa harus appa yang melakukannya? Aku, mengapa aku hidup dengan orang yang menakutkan seperti kalian?" mencoba bernafas dengan tenang. Dirinya tengah diliputi perasaan yang kacau balau.

"Maaf jika mengganggu waktumu, tapi kami harus segera membawa peti ini." ujar seorang pria yang sedang menunggu dibelakangnya. Terlihat pasrah, Yoona melangkah mundur untuk mempersilahkan mereka membawa peti itu untuk segera di kremasi. Tak kuat menyaksikan proses itu, ia memilih menunggu di ruang tunggu.

     Setelah menunggu sangat lama, akhirnya ia menerima sebuah guci yang berisikan abu hasil kremasi jenazah ibunya. Masih diam menatap guci itu. Terlintas dipikirannya untuk menaburkannya saja, dan sepertinya ia benar-benar akan melakukan itu. Menyimpannya hanya akan menyakitinya lebih lama.

"Yoona-a!" panggil seseorang disaat Yoona baru saja keluar dari pintu utama rumah sakit. Ternyata itu Kai. Tidak sempat menjawab, Kai sudah memeluknya. Yoona hanya menerima pelukan itu dalam diam. "tubuhmu dingin sekali." kata Kai setelah melepaskan pelukannya. "masuklah kedalam mobil." menarik tubuh Yoona agar segera memasuki mobilnya.

"Bisakah kau antarkan aku ke pantai?" tanya Yoona setelah lama diam. Kai yang baru saja memakaikan sabuk pengaman miliknya langsung menatap Yoona.

"Waeyo?" tanya pria itu lembut.

"Aku ingin menaburkan abu ini." jawab Yoona tanpa membalas tatapannya. Yoona terus menatap guci yang ada dipelukannya.

"Sungguh kau ingin menaburnya?" tanya Kai lagi, guna meyakinkannya. Yoona mengangguk, dan kini menatapnya, mencoba meyakinkan pria itu.

"Baiklah." yang jelas, Kai terlihat sangat mengkhawatirkannya. Tapi pria itu mencoba menahannya, karena ia mengetahui itu, Yoona tidak suka diperlakukan seperti itu. "ahjussi, kita ke pantai sekarang." pinta Kai ke sopirnya. Ya, saat itu ia menggunakan seorang sopir.

--

     Kepingan es yang membeku memenuhi tepi pantai. Tidak mungkin melewati kepingan itu, karena akan sangat licin. Yoona pun memilih menaburkannya dihadapan kepingan es yang seakan menyinari kepergian abu milik ibunya. Wajahnya terlihat lesu, dengan tangannya yang perlahan terus menaburkannya hingga tak tersisa. Kai mengambil alih guci untuk disimpannya didalam mobil, sedangkan Yoona masih berdiri disana. Pria itu kembali menghampiri Yoona lalu memakaikan Yoona jaket miliknya.

"Ternyata seperti ini akhirnya." gumam Yoona dalam lamunannya. "janji yang selalu eomma katakan padaku, bahwa ia akan membawaku menikmati keindahan pantai sewaktu musim dingin." keningnya mengerut. "Tuhan memberikan jawabannya. Bahwa aku, hanya diperbolehkan kesini dengan abunya." Yoona terdiam, cukup lama. Karena ia sedang menahan diri untuk tidak menangis. Tidak ada yang bisa dilakukan, Kai kembali memeluknya, sangat erat. Menepuk pelan punggungnya, agar Yoona merasa tenang.

"Sebaiknya kita pergi dari sini. Udara semakin terasa dingin." Kai kembali membawa Yoona kedalam mobilnya. Bersama duduk dibelakan kemudi.

"Bisakah kau antarkan aku menemui appa?" Melihat raut wajah gadis itu, tentu Kai tidak bisa menolak. Walau sebenarnya ia enggan melakukannya. Karena menurutnya Yoona perlu beristirahat.

"Aku akan mengantarmu, tapi apa kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali."

"Gwenchana." Kai kembali meminta sopirnya untuk mengantarkan mereka.

--

     Memasuki gedung itu membuatnya merinding. Penjara. Tidak menyangka bahwa ia akan mengunjungi tempat itu. Kini ia tengah menunggu ayahnya disebuah ruangan yang kecil. Duduk dihadapan kaca pembatas dengan beberapa lubang yang merupakan perantara suara. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya wajah itu terlihat. Duduk dihadapannya yang berbataskan kaca nan tebal itu. Ayahnya tidak sekalipun menatapnya. Hanya menunduk menyesal.

"Lihatlah aku, aku kesini untuk melihat wajahmu." ujar Yoona dengan tenang. Setelah berhasil mengontrol emosi dan kesedihannya karena melihat ayahnya menggunakan seragam tahanan.

"Aku tidak pantas melihatmu." jawab ayahnya lirih.

"Appa, lihat aku." ulang Yoona masih sangat tenang. Walau sebenarnya ia sudah tidak mampu membendung semuanya.

"..." setelah menunggu beberapa lama, akhirnya ayahnya menatap wajahnya. Terlihatlah air mata yang membasahi wajah ayahnya.

"Jangan menangis." Yoona memang sangat ahli dalam menutupi perasaannya, bahkan ketika ia sudah berada diujung pertahanannya. Ia bertekad untuk tidak memperlihatkan air matanya dihadapan ayahnya. Karena baginya itu hanya akan semakin menyakiti perasaan ayahnya.

"Yoona-a, mianhae. Jongmal mianhae." menangis tersedu-sedu dihadapannya. Ingin sekali rasanya memeluk ayahnya, tapi tentu ia tidak bisa melakukannya. Ingin menyeka air mata ayahnya, tentu ia juga tidak bisa melakukannya. Hanya menggenggam tangannya menahan semua itu. Bibirnya bergetar menahan tangis. Sungguh berat menahan semuanya.

"Appa, aku tidak pernah menyalahkanmu. Kau harus ingat itu." suaranya terdengar membisik akibat menahan tangis. Mendengar perkataannya membuatnya ayahnya terdiam menatapnya. Polisi datang untuk membawa ayahnya. Ada perasaan untuk enggan pergi dari sana. Tapi gadis itu menahannya dengan kuat. Ayahnya sedikit melawan polisi untuk mengatakan sesuatu kepadanya.

"Tunggu sebentar, ada yang ingin aku katakan padanya." kata ayahnya memohon. Polisi itu diam sejenak, lalu mengangguk mempersilahkan. Berlari kecil ayahnya kembali duduk dihadapan Yoona yang juga masih duduk disana. "Yoona-a, pergilah kekamarmu, aku menaruhnya diatas meja belajarmu. Kuharap kau menyukainya. Maaf jika aku terlambat memberikannya padamu. Jaga dirimu baik-baik, aku yakin kau bisa melakukannya." polisi kembali menariknya dan kali ini ia tidak bisa menghindarinya. Kursi yang ada dihadapan Yoona sudah kosong.

     Yoona meminta Kai mengantarkannya kembali kerumah nenek. Karena tidak ada tempat lain yang bisa ia singgahi. Kai membujuknya untuk tidur dirumahnya, tapi Yoona menolaknya. Jika Yoona sudah menolak, Kai tidak bisa memaksa. Setiba disana, Yoona segera turun dari mobilnya. Membawa kembali guci yang sudah kosong itu. Tak lupa gadis itu mengembalikan jaket yang tadinya Kai pakaikan ketubuhnya.

"Kau pakai saja." Kai menolak dan hendak masuk kedalam mobilnya.

"Jangan begitu." Yoona menarik tangannya. Lalu memberikan jaket itu ketangan Kai. "kau bisa sakit jika tidak menggunakan ini. Gomawo, hari ini kau sudah sangat lelah mengantarku kebanyak tempat." Kai hanya diam menatapnya. Menyadari betapa menderita gadis itu.  "aku masuk dulu." Yoona langsung melangkah masuk. Rasanya kakinya sudah tidak mampu menompang tubuhnya.

     Suasana rumah itu terasa nyaman. Nenek sedang menemani Sena menonton kartun. Mereka terlihat serius hingga tidak menyadari kehadirannya disana. Merasa tidak perlu mengganggu, Yoona hanya melewati mereka lalu masuk kedalam kamarnya. Sesampainya dikamar, ia meletakkan guci itu ke atas meja, lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Dan tak lama itu langsung tertidur pulas.

     Salju berhenti menghiasi udara. Tetapi sudah berhasil menutupi daratan. Malam itu terlihat terang akibat tumpukan salju yang menghiasi setiap sudutnya. Yoona terbangun dari tidurnya dikarenakan udara dingin yang sangat amat menusuk. Dilihatnya jendela yang masih terbuka, dengan cepat ditutup olehnya. Disadarinya, suasana terasa sunyi. Tak terdengar apapun dari luar kamar itu. Ia segera keluar dari sana. Memeriksa keadaan. Ternyata nenek dan Sena sudah tertidur. Ia pun beralih kedapur guna meneguk segelas air hangat.

     Setelah merenung sangat lama di dapur, akhirnya Yoona mengingat itu. Perkataan terakhir ayahnya yang menyuruhnya untuk mengambil sesuatu dikamarnya. Ia langsung berlari keluar rumah menuju rumahnya. Tanpa menyadari bahwa ia baru saja melewati Sehun yang hendak menemui Sena dan nenek. Tapi setelah melihat gadis itu, Sehun menjadi penasaran dengan apa yang akan gadis itu lakukan, ia pun mengikuti Yoona.

"Izinkan aku masuk, sebentar saja." pinta Yoona memelas kepada polisi yang sedang berjaga-jaga disana.

"Jesong hamnida, aku tidak berwenang membiarkanmu masuk kedalam." jawab polisi itu ramah.

"Aku mohon, ada  sesuatu yang harus aku ambil." Yoona terus memohon.

"Maaf nak, jika bisa, pasti aku sudah membiarkanmu masuk."

"Tapi ini sungguh penting. Kumohon." suara gadis itu terdengar serak.

"Ahjussi." suara itu terdengar tidak asing.

"Oo? Sehun-a." polisi tampak kaget dan juga senang.

"Ahjussi, kau bertugas disini?" Sehun berjalan mendekati polisi itu, tidak dulu menyapa Yoona.

"Ne.. Aku baru saja diperintahkan untuk berjaga disini hingga besok."

"Ahjussi, bolehkan kami masuk? Ada sesuatu yang harus kami ambil." memperlihatkan senyum termanisnya. Mendengarnya membuat Yoona menatapnya heran.

"Kami? Kau mengenalnya?" tanya polisi itu sembari menatap Yoona dan Sehun bergantian.

"Ne, dia kekasihku." ucapnya tanpa malu. Yoona terbodoh sesaat. "bagaimana, boleh kami masuk? Sungguh, sebentar saja." sepertinya polisi itu termakan tipuannya.

"Wah, pantas saja kalian terlihat serasi. Baiklah, kalian boleh masuk. Tapi ingat, jangan lama-lama. Aku bisa dapat masalah." polisi itu tersenyum kepadanya dan juga kepada Yoona.

"Gomawoyo ahjussi." membalas senyum polisi itu yang setelah itu langsung mendorong tubuh Yoona agar segera masuk kedalam rumahnya.

     Seakan tak tersentuh, kamarnya terlihat rapi dari sebelum dirinya meninggalkan kamar itu. Tidak memiliki banyak waktu, ia langsung mencari sesuatu. Sesuai yang dikatakan ayahnya, bahwa ia meletakkan sesuatu di atas meja belajar Yoona. Ternyata benar. Sebuah kotak berukuran sedang terletak diatas meja belajarnya. Yoona menyentuh kotak itu ragu. Perasaannya kembali berkecamuk. Tangannya mulai bergerak guna membuka kotak tersebut. Dan ternyata.. tak mampu membendungnya lagi, kini air mata sukses mengalir diwajah manisnya pria itu. Sehun hanya bisa menyaksikan itu dalam diam.

     Dengan tangannya yang gemetar, Yoona menyentuh jaket indah yang terlipat rapi didalam kotak. Sesuai keinginannya. Akhirnya ia mendapatkan itu dari ayahnya. Tapi, kini perasaan yang ia rasakan jauh berbeda. Ia merasa sangat jahat terhadap ayahnya. Ayahnya pasti sudah sangat menderita hanya demi membeli jaket yang pastinya berharga mahal. Ketika itu tiba-tiba saja ia kehilangan keseimbangan. Kepalanya terasa sangat pusing. Tak mampu menahannya, Yoona pun tersungkur ke lantai. Tapi syukur Sehun berada disana, dan pria itu menyadarinya. Dengan cepat ia mengangkat tubuh Yoona keatas punggungnya. Dan membawa gadis itu keluar dari sana beserta jaket pemberian ayah gadis itu.

     Disepanjang perjalanan menuju rumah nenek. Dapat Sehun dengar isakan tangis Yoona yang membisiknya. Sejenak, Sehun merasa kasihan melihat keadaannya. Dari awal ia melihat gadis itu. ia sudah menduga, bahwa gadis itu tengah menyimpan sesuatu yang sangat berat. Dan kini Sehun mendapatkan jawabannya. Mengingat jasa Yoona terhadap Sena, tentu ia tidak bisa membiarkan gadis itu begitu saja. Mengangkat tubuh itu tidak terlalu menyusahkannya. Malam itu Yoona benar-benar tertidur dengan pulas. Tanpa gangguan sedikitpun. Karena Sehun sudah memeriksa jendela, dan menyelimutinya dengan selimut tebal yang ternyata selama ini tidak digunakan Yoona.

--

     Pagi tiba diiringi dengan tawa ceria Sena. Nenek sedang mengompres kening Yoona. sedangkan Sena berbaring disamping Yoona yang masih tertidur. Anak itu sangat lucu. Seakan tidak mengerti, ia malah bernyanyi dikarenakan bosan menunggu Yoona bangun. Dan karena nyanyian lucunya, Yoona benar-benar terbangun.

"Sena.. kau terlalu berisik." bisik nenek. Tapi Yoona sudah terlanjur terbangun. "omo, kau sudah sadar? Wae Wae? Kepalamu pusing?" tanya nenek ketika melihat Yoona menyentuh kepalanya. Yoona menggeleng mencoba berbohong. Nenek menjadi kesal. "jangan membohongiku! Aish kau ini, bagaimana bisa kau seharian tidak makan! Kau ini benar-benar! Pantas saja kau sakit seperti ini. Suhu tubuhmu panas sekali." ungkap nenek panjang lebar. Yoona tersenyum menyesal. "tunggu sebentar, aku ambilkan bubur." berlari kecil menuju dapur, lalu kembali menemuinya dengan membawakan bubur panas dan segelas teh jahe hangat. Sedikit memaksa, ia menyuapi Yoona hingga tak tersisa.

"Eonni, nanti buatkan aku boneka salju lagi ya.." kata Sena dengan imut.

"Ne.." jawab Yoona tak kuasa menahan senyum melihat anak itu.

"Eonni sedang sakit, kau minta sama kakakmu saja ya." bujuk nenek.

"Oppa?"

"Ne, sana temui kakakmu, dia ada didepan." perintah nenek dan ternyata dilakukannya.

"Halmoni, mianhae, aku sudah sangat merepotkanmu." ucap Yoona setelah meminum obat pemberian nenek itu.

"Aniya, aku senang melakukan ini. Yoona-a, tinggallah bersama kami." menggenggam tangan Yoona. Yoona diam sejenak menatap wajah nenek itu. Lalu tidak lama dari itu ia tersenyum.

"Lalu bagaimana dengan rumahku?" nenek itu pun terdiam. "halmoni, bagaimanapun juga aku akan tetap sering mengunjungimu. Percayalah." juga menggenggam tangan nenek itu. "hari ini rumahku sudah bisa ditempati. Aku harus kembali, rumahku pasti sangat kotor, harus segera dibersihkan. Halmoni, gomawoyo.. Kau sudah sangat baik terhadapku. Aku tidak tahu bagaimana membalasnya."

"Berbahagialah, hanya itu caramu membalas semuanya. Kau harus berjanji padaku, bahwa kau akan hidup bahagia." merasa tersentuh mendengar itu, Yoona langsung memeluknya.

Continued..

Gimana kak?

Suka?

avataravatar
Next chapter