1 The First Meeting That Started Everything

- pertemuan pertama yang mengawali segalanya -

Gadis itu berlari menuju kelasnya. Pagi ini dia terlambat bangun karena semalam harus bergadang mengerjakan tesisnya. Akhirnya, tibalah ia disini. Harus rela dimarahi oleh dosennya karena terlambat datang dan baru mengonsultasikan tesisnya.

Alana hanya bisa menghembuskan napas dengan pasrah dan berharap bisa segera keluar dari situasi yang menyebalkan ini.

~

Namanya Arabella Alana, biasa dipanggil Alana. Gadis yang tak lain baru saja mengalami pagi yang buruk. Alana memiliki paras yang cantik dan manis. Kepribadiannya sangatlah lugu, ceria, dan terbuka. Menjadikan itu sebagai pesonanya tersendiri. Sungguh, senyumannya mampu membuat tawa orang lain ikut merekah.

Alana hampir selalu membawa keceriaan dan kegembiraan di manapun ia berada. Ia mampu menghangatkan hati banyak orang, termasuk seorang Gavin Aksa Martendra.

Jika kalian bertanya apa ciri khas dari seorang Alana, mungkin semua akan menjawab "Ia adalah gadis yang tak pernah lepas dari buku hariannya."

Ya, memang benar. Alana selalu membawa buku hariannya kemanapun ia pergi. Lembaran-lembaran buku hariannya selalu rutin terisi dengan rangkaian kata yang ia buat setiap harinya. Sejujurnya, Alana merupakan seorang opacarophile dan penyuka frasa.

Apakah itu opacarophile? Opacarophile adalah sebutan untuk seseorang yang menyukai atau mengagumi senja, saat dimana matahari mulai menenggelamkan dirinya.

Jika orang lain lebih memilih mengagumi malam dimana mereka bisa melihat gelapnya angkasa dan terangnya bintang maupun bulan, lain hal nya dengan Alana. Ia tak membenci malam, namun ia jauh lebih menyukai senja.

Kenapa? Karena baginya, senja adalah waktu terindah 1x24 jam. Menurutnya, senja adalah waktu dimana matahari merelakan dirinya tenggelam dan digantikan perannya oleh bulan. Meskipun begitu, matahari tetap bekerja di belakang panggung. Ia tetap membiarkan bulan memantulkan cahaya nya diam-diam agar orang-orang tidak menderita di dalam kegelapan saat malam tiba.

Bagi Alana, angkasa senja yang berwarna jingga sanggup menghangatkan dirinya meski dalam keadaan terburuk sekalipun. Itu adalah satu-satunya waktu dimana ia bisa menumpahkan seluruh perasaannya dengan utuh.

Lalu, Alana juga seorang penyuka frasa. Itulah sebabnya ia selalu membawa buku hariannya kemanapun ia pergi. Jika ia merasa tak kuasa menjalani hari yang melelahkan, Alana akan membaca lembar demi lembar buku hariannya yang telah terisi oleh rangkaian kata.

Rangkaian kata itupun disusun dan dibuat oleh dirinya sendiri. Karena saat membaca dan menulis buku hariannya lah, Alana mampu mengibarkan semangatnya kembali.

Jika senja adalah penenangnya, maka frasa lah penyemangatnya.

Mungkin, buku harian dan senja adalah 2 hal yang tak akan pernah bisa lepas dari seorang Alana.

ALANA'S POV

Aku mengeluarkan seluruh isi tas ku. Berharap bisa menemukan buku harian yang ku yakin telah aku masukkan pagi tadi. Astaga, bahkan meski aku terlambat bangun sekalipun, aku juga tidak akan melupakan buku harianku. Namun selama apapun aku mencarinya, buku itu tetap tidak bisa kutemukan.

Aku meringis, meratapi segala kesialanku hari ini. Mulai dari bangun kesiangan, terlambat masuk kelas, baru mengonsultasikan tesis, dimarahi dosen, dan sekarang buku harianku pun ikut hilang.

Sungguh, ada apa sih hari ini? Mungkin ini adalah salah satu hari terburuk yang pernah aku alami seumur hidupku.

Aku mendinginkan kepalaku sejenak. Emosi tak akan membuat buku harianku ditemukan. Apa mungkin buku nya terjatuh? Tapi kapan? Dimana? Aduh entahlah, semua jadi memusingkan. Jika memang terjatuh, aku harap seseorang menemukannya. Namun, berdoa saja ia bukan orang dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Aku tak mau ada seseorang yang membaca isi buku harianku.

POV END

<< pagi tadi

Alana terburu-buru memasukkan buku hariannya ke dalam tas hingga tak sadar bahwa tas nya belum tertutup dengan sempurna. Ia benar-benar panik. Bagaimana tidak? Jam sudah menunjukkan pukul 08.45 disaat ia seharusnya sudah memulai kelas pertama pagi ini 15 menit yang lalu.

Salahkan tesis nya yang masih berantakan hingga ia harus bergadang untuk merevisinya untuk kesekian kali. Salahkan juga alarm nya yang tak berfungsi dengan baik hingga ia jadi terlambat bangun. Tapi yang utama, salahkan otak Alana yang tak cukup cakap dalam mengerjakan tesis nya.

Alana berlari di sepanjang lorong menuju kelasnya. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 , dan ia bahkan masih belum menghadiri kelasnya. Mungkin kali ini keberuntungan tak berpihak pada Alana. Karena naas nya, dosen yang mengajar kelas pertama Alana adalah dosen yang memberikan konsultasi untuk tesisnya.

Alana terlalu sibuk berlari hingga ia tak sadar telah menjatuhkan buku harian tersayangnya. Untungnya, ada seseorang yang mengambil buku itu. Awalnya orang itu langsung ingin mengembalikannya. Ia tak nyaman membawa barang milik orang lain. Namun, Alana berlari terlalu cepat hingga ia tak sempat mengembalikannya.

Akhirnya, dengan terpaksa ia mengambil buku itu dan memasukkannya ke dalam tas. Sungguh, jika barang itu bukanlah buku, ia hanya akan tetap berlalu lalang tanpa menganggap itu ada. Sayangnya, barang yang terjatuh adalah buku. Salah satu hal yang sangat ia hargai.

Ia bahkan tak bisa membayangkan jika buku lirik yang ia tulis hilang. Baginya, itu adalah harta yang paling berharga. Bahkan mengalahkan laptop dan handphone nya.

~

Namanya Gavin Aksa Martendra, biasa dipanggil Gavin. Ia adalah seorang mahasiswa semester akhir fakultas musik di Beijing National University, kampus yang sama dengan Alana. Hanya beda fakultas. Gavin musik, sementara Alana sastra. Entah kebetulan atau tidak, Fakultas musik dan sastra berada di gedung yang sama.

Gavin sendiri adalah sosok yang dingin, kaku, dan tertutup. Keberadaannya seakan membuat orang lain menjaga jarak dengan dirinya secara alami. Sejujurnya, memang itu yang Gavin harapkan. Ia tak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain tanpa kepentingan yang jelas.

Kalimat yang tepat untuk menggambarkan Gavin, "Pria tampan yang dingin dan tak pernah tertarik dalam urusan asmara."

Mungkin karena ketidak piawaiannya dalam berinteraksi yang membuatnya sulit mengekspresikan perasaannya secara langsung dengan kata-kata. Itu menjadi salah satu kelemahan terbesarnya.

Ia jadi sering dikira sosok yang sinis, sombong, dan arogan. Padahal sesungguhnya adalah, ia hanya pria yang enggan berinteraksi dan tak banyak bicara.

Hatinya seperti es yang belum pernah tersentuh dan masih tertutup dalam kotak pendingin. Ia sama sekali tidak tertarik dengan hal yang melibatkan perasaan emosional, khususnya cinta.

GAVIN'S POV

Sial, aku bahkan tak sempat meneliti parasnya. Ia berlari terlalu cepat hingga aku tak sempat mengembalikan buku nya yang terjatuh di lorong. Entahlah, ia seperti sedang dikejar waktu.

Dengan malas ku keluarkan lagi buku yang tadi telah ku masukkan ke dalam tas.

"Arabella Alana" terpampang dengan jelas nama pemiliknya di depan sampul buku tersebut.

Aku menghembuskan napas dengan pelan, mengernyitkan dahi. Berharap bahwa hal ini tidak terjadi.

"Menyusahkan." Pikirku.

Ku buka buku itu dengan harapan menemukan informasi yang lebih jelas tentang pemiliknya. Tidak mungkin kan aku mengembalikan buku hanya dengan modal nama pemiliknya saja?

Namun, lembaran-lembaran buku itu tidak menuliskan identias pemiliknya dengan jelas. Sebaliknya, buku itu hampir dipenuhi oleh rangkaian-rangkaian kata.

Bukan, aku tidak bermaksud membaca isi bukunya. Namun, hei! Aku juga harus tahu informasi mengenai pemiliknya bukan? Yang ku lakukan tidaklah salah!

POV END

Mungkin, keingintahuannya lah yang membuat mereka terhubung pada takdir yang sama...

avataravatar
Next chapter