8 Serpih ke Tujuh : Sejenak

SEJENAK

.

.

.

Hari beranjak menggelap. Pemilik langit telah memberikan sinarnya pada bulat putih yang lebih indah. Narel terpaku pada hening yang ia ciptakan. Menatap bangunan menua di hadapan dengan segala kemantapan hati yang ia miliki.

Berisik di dalam rongganya tak lagi ia hiraukan. Bersama langkah pasti ia mencapai pintu tua di sana. Seorang lelaki berperawakan besar menyambut. Raut mengerikan langsung ia dapat sebagai ucapan selamat datang. Narel menyodorkan lembaran uang merah agar penjaga di sana memberinya akses masuk.

Riuh penonton menjadi sambutannya. Terfokus pada dua orang di arena yang tengah sibuk membandingkan kekuatan masing-masing. Degup jantung Narel menggila, diam-diam merasa beruntung mengetahui ada tempat semacam ini.

Boxing Underground

Tempat tinju ilegal semacam ini menerima penantang dari semua kalangan. Dengan syarat untuk tidak membeberkan tempat ini pada aparat. Narel tidak peduli. Kemarahan tanpa alasan yang menumpuk di dalam jiwanya semakin tidak tertahankan. Dan ia butuh pelampiasan.

Narel meletakkan tas di tempat terdekat yang mampu ia raih. Melangkah percaya diri mendekat pada arena yang ternyata telah kehilangan salah satu penantangnya. Lelaki itu mengangkat tangannya yakin ketika mendengar pembawa acara di sana mencari penantang baru. Mengundang berbagai reaksi dari semua orang yang datang ke sana.

Senyuman lebar terpaut di wajah tampan Narel bersama langkah ringan yang membawanya maju ke tengah-tengah arena. Ia jelas tak memiliki persiapan yang berarti. Tujuannya hanya satu, menemukan cara bagaimana semua kemarahan tak beralasan di dadanya mampu sirna.

Lampu biru merah itu dimatikan. Meninggalkan sebuah lampu sorot redup yang langsung membuat siapapun akan fokus pada dua orang penantang paling berani di arena.

Riuh penonton tak mampu mengalihkan fokus Narel. Diam-diam ia tak lagi peduli pada keadaannya di waktu yang akan datang. Entah berakhir baik atau sebaliknya, yang terpenting adalah semua bebannya mampu sedikit berkurang.

Lonceng besar berbunyi nyaring, menandakan dimulainya pertarungan sengit itu. Pria besar di hadapan Narel melayangkan pukulan keras yang untungnya mampu ditepis dengan baik. Pukulan itu tak mampu membuat Narel gentar.

Hingga pada pukulan ke sekian, sesuatu di dalam sana meminta Narel untuk berhenti memberikan perlawanan. Membawa segala ingatannya kepada semua makian yang pernah keluarganya katakan untuknya. Suara tak bertuan itu seakan memerintahkannya untuk menerima semua pukulan yang sang lawan berikan untuknya.

Dengan tubuh yang serasa diambil alih, Narel terpaku diam. Hingga sang lawan menarik segaris senyum mengerikan serasa seperti orang asing yang membuat Mamanya pergi. Narel gentar, getar itu datang lagi. Menyakiti jantungnya tanpa tahu malu.

Pukulan selanjutnya berjalan tak terduga. Karena Narel hanya terpaku diam menerima segala serangan brutal dari pria besar di hadapan. Riuh penonton semakin berang seakan menertawakannya yang hanya diam menerima kasar yang ia beri. Luka-luka mengerikan datang bertubi-tubi.

Pria besar itu seperti memiliki dendam pribadi padanya. Hingga setiap pukulan yang ia layangkan serasa berasal dari hati hingga mampu membuatnya kesakitan parah. Biar bagaimanapun, Narel tak berkeinginan untuk melawan. Suara dalam kepalanya seakan benar memintanya untuk berhenti, ia pantas untuk itu.

Hingga pada waktu yang berjalan semakin cepat, sebuah pukulan keras menyentak ulu hati lelaki yang terlihat begitu kewalahan. Narel tersungkur mencengkram perutnya yang terasa begitu sakit. Belum sempat semuanya mereda, tendangan kuat mengenai kepalanya yang semula tertunduk hingga mampu membuatnya terlentang pasrah. Semuanya menjadi buram di penglihatannya.

Riuh penonton semakin ribut, namun mereka terdengar muncul-hilang dalam pendengarannya. Entah dendam apa yang pria besar itu miliki, seakan tak cukup, sepatu besar itu mendarat mulus di dada Narel, menciptakan suara keras yang sepertinya berasal dari dalam sana. Narel mengerang keras, merasa seluruh tubuhnya begitu remuk di bawah pria itu.

Nyatanya, di tengah dera rasa sakit tak tertahankan itu, senyum yang terlihat mengerikan itu malah terbit di wajah babak belur Narel. Merasa bahwa mungkin ini waktunya untuk pulang dan bertemu dengan Mama yang begitu ia rindukan.

Mama, Narel sakit sekarang. Sakit banget. Kalau Narel minta buat ketemu Mama, apa Mama bakal mau nerima Narel. Narel capek, Ma

.

.

.

Kerjap pelan Narel membawa pada kesadaran yang entah berapa lama telah hilang. Lelaki itu meringis pelan, menyadari bahwa ternyata ia tertidur cukup lama di halte yang kehilangan pengunjung itu.

Tuhan ternyata masih memberinya kesempatan hidup di tengah rasa sakit yang ia kira tak mampu lagi ia tahan. Narel dengan kesadaran di ambang batas tetap berjalan pulang, namun berakhir tak sadarkan diri di halte kosong yang kini ia tempati.

Hela napas lelah meluncur dari bibir yang terluka di ujungnya. Merasa tak mampu bahkan hanya untuk menatap jalanan sepi di hadapan. Sekarang pasti sudah begitu larut, terlihat dari jalanan yang seolah mati. Namun Narel tak ingin berakhir di jalanan, kendati tak ada yang menerimanya, setidaknya jika ia memang harus mati, Hara dan Papanya harus tau tentang itu.

Dengan langkah terseok, Narel tetap berjalan di sepinya malam yang terasa begitu dingin. Mencengkram ulu hatinya yang berdenyut menyakitkan. Pada waktu yang terasa berjalan begitu lambat, Narel ternyata telah mencapai bangunan rumahnya yang megah, namun getir menyadari bahwa hangat tak pernah hadir di dalamnya.

Dengan gerakan pelan, Narel membuka gerbang setinggi benteng itu. Mendesah lelah ketika masih harus berjalan untuk mencapai bagian pintu rumahnya. Narel harus berputar untuk mencapai bagian pintu belakang. Ia cukup tahu diri untuk tak melewati bagian depan. Ia tak pantas dan ia menyadari itu.

Alih-alih gelap, suasana terang menyambutnya. Mengedarkan pandangan ketika menemukan sang Papa dan Hara tengah berbincang di ruang makan. Narel tak ingin peduli, toh ia seperti bukan bagian dari mereka.

Langkah terseoknya tak mengalihkan fokus ayah dan anak itu. Seperti apa yang mereka bicarakan terlihat begitu penting. Sekali lagi Narel tak ingin peduli. Ia lebih fokus pada usahanya untuk mencapai kamarnya di lantai dua yang tinggal tersisa beberapa langkah lagi.

Pada anak tangga terakhir, tubuh ringkih Narel terpaku. Pendengarannya tak salah.

'Kakek bakal dateng ke sini dan tinggal selama beberapa hari. Ia rindu kamu katanya. Papa harap, kamu bisa buat Kakek nyaman, '

Mimpi buruk apa lagi ini?

Tanpa sadar, tubuh Narel bergetar pelan. Rasa takutnya datang lagi. Sang Kakek datang dan itu bukan sebuah berita yang baik. Semua orang tahu, betapa pria tua itu membenci Narel dengan segenap asa yang ia miliki. Rasa benci itu jauh lebih besar daripada yang Wayan miliki untuknya.

Cengkraman Narel pada pegangan anak tangga menguat. Membawa dentum keras yang membuatnya kesulitan bernapas. Narel hanya mampu berharap. Semoga ia mampu bertahan ditambah luka nyata yang ia miliki kini.

Narel takut, Ma..

avataravatar
Next chapter