14 Serpih ke Tiga Belas : PECAH

PECAH

.

.

.

Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dirancang siapapun. Kemarin malam adalah kejadian yang tak mudah disingkirkan bagi siapapun yang ada di sana, entah itu Nara, Narel, atau bahkan Hara. Pagi hari tak pernah terasa sesuram ini sebelumnya. Kendati memang tak pernah ada kehangatan di sana, namun pagi ini terasa lebih buruk daripada pagi pagi yang lain.

Wayan berangkat pagi buta dengan alasan pergi keluar kota. Menyisakan Hara yang kini duduk sendirian di meja makan besar dengan sepotong roti panggang di hadapan. Lelaki itu terdiam melamun tanpa pergerakan, bahkan susu hangat di hadapannya sudah hampir mendingin. Entah apa yang ia pikirkan.

Hingga dalam hening yang mencekik, seseorang lain muncul di ujung tangga dengan pandang yang lebih gelap daripada yang lalu. Narel dengan tas hitam di sebelah bahu melangkah pelan dengan tatap lurus yang tak tergoyah. Ia hanya terus berjalan mengabaikan eksistensi satu orang lain yang kini menatapnya dengan pandang yang tak mampu diartikan siapapun.

Tanpa sadar Hara menumpukan pandangnya pada Narel yang jelas tak menaruh perhatian pada siapapun di sekitarnya. Hara terhenyak pelan dengan alis mengerut tipis, menyadari betapa pias wajah anak itu. Ia seperti melihat banyak hal yang di sembunyikan di balik wajah tanpa ekspresi itu. Mengerjap pelan menyadari bahwa wajah mereka terlihat begitu mirip. Hanya saja ia lebih berisi dan menyedihkan melihat anak itu ternyata begitu kurus.

Lelaki yang lebih tua menahan napas sejenak. Kembali berpikir tentang apa yang baru saja ia lakukan. Kebencian itu masih ada, namun ia dapat merasakan perasaan lain yang tak ia mengerti. Ia terlihat seperti, kasihan? atau kata lain yang lebih tepat. Apakah anak itu benar-benar terluka parah selama ini? Apakah dengan meninggalkannya bertahun-tahun ternyata menyakiti anak itu dengan tikaman paling jahat? Apakah benar jika anak itu bahkan lebih memilih untuk mati dan menyerah untuk mendapat segala maaf yang ia harapkan selama bertahun-tahun?

Apakah Narel akan menyerah untuk kembali menjadi adik kecilnya yang dulu?

.

.

.

Taksi itu mulai melaju di jalanan yang mulai terlihat ramai. Sedang Narel di dalamnya memilih menyandarkan kepalanya pada sisian jendela. Ia tak bisa tidur semalam. Kejadian tak terduga semalam membuatnya berpikir terlalu keras. Hingga mimpi buruk yang tak pernah mampu ia terima dengan baik datang menjadi bunga tidurnya. Bahkan hingga fajar menyingsing, Narel masih berada pada posisi yang sama, maniknya hanya terus mengerjap tak ingin tertidur. Kendati tubuhnya begitu lelah, namun tidurnya tak serta merta datang begitu saja.

Dalam perjalanan menuju sekolahnya, anak itu kembali berpikir tentang kejadian di rumah tadi. Ia tahu betul jika Hara melayangkan pandang padanya semenjak ia menapakkan kakinya di lantai dasar rumah ayahnya. Ia tahu pasti kakaknya itu bahkan masih menatapnya hingga ia menghilang dibalik pintu depan rumah. Namun hal yang ia tahu adalah apa yang sebenarnya kakaknya itu pikirkan. Apakah Hara berencana mengusirnya? Atau bahkan berencana untuk menyakitinya lebih dari sebelumnya?

Narel menghela napasnya lelah. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk kemudian ia daratkan pada lengan kiri atasnya. Tempat goresan darah yang ia buat semalam berada. Ia menggenggamnya erat, mengundang perih karena luka itu jelas belum mengering sama sekali. Bibir pucatnya ia tarik tipis, tipis sekali bahkan hampir tak terlihat. Ia menyukainya. Gelenyar perih yang tercipta membuat pengalihan dari segala rasa sakit dari sisi lain tubuhnya.

Taksi berhenti sepuluh menit kemudian. Setelah membayar, Narel menarik langkah menuju gerbang sekolah yang ternyata masih sepi. Dengan malas, ia berjalan pelan menuju kelasnya. Memilih mendudukkan diri di sana atau mungkin menjemput tidurnya semalam yang tak mampu ia raih.

.

.

.

Narel melangkahkan kakinya ringan menuju kantor. Setelah mendapatkan tidur setidaknya selama setengah jam, seorang temannya membangunkannya untuk pergi ke kantor, seorang guru memanggilnya. Hingga sampailah ia di sini, di hadapan dengan seorang guru muda yang tersenyum cantik. Narel melayangkan senyum serupa setelah sebelumnya memberikan salam pada gru tersebut.

"Ibu panggil kamu kesini, mau kasih kamu ini,"

Sebuah trofi emas dengan bahan kaca di sodorkan Bu Ghina padanya.

"Selamat, Narel. Ibu bangga sekali sama kamu. Ini piala besar dan kamu berhasil raih. Saya yakin orang tua kamu pasti bangga dengan prestasi membanggakan ini,"

Ada perasaan lain yang menusuk hatinya dalam, namun ia berusaha untuk tetap menarik senyum sebagaimana Bu Ghina lakukan padanya. Ia hanya tetap tersenyum dan banyak mengucap terimakasih pada apa yang telah Bu Ghina lakukan padanya selama ini. Setelah mengucap pamit, Narel dengan trofi di tangan melangkah meninggalkan kantor bersamaan dengan senyumnya yang ikut menghilang dari wajahnya.

Narel menatap trofi indah di tangan kanannya. Cantik sekali. Bahkan hampir semua orang yang menjadi saingannya di olimpiade matematika ini berharap besar untuk memiliki trofi yang kini ada di tangannya. Namun, ketika semua orang datang mengerumuninya , tertawa dan berteriak tentang kemenangannya. Menyalaminya, memberinya banyak selamat, Narel tetap merasakan kosong yang sama. Senyum yang berhasil ia tunjukkan pada semua orang pada kenyataannya tak pernah sampai pada matanya, pada hatinya. Ia hanya bersikap seperti botol kosong yang tak tahu harus apa yang akan membawanya pergi jauh.

Bukan ini yang Narel mau. Bukan keramaian ini yang Narel inginkan. Bukan semua orang yang memberinya banyak selamat dan tepukan pundak yang menyenangkan. Ia ingin keluarganya. Ia butuh ayahnya. Ia butuh kakaknya. Mereka yang memberinya selamat dan mengucap banyak terimakasih karena telah berhasil membuat mereka bangga. Ia ingin itu. Ingin sekali.

Tapi mau sampai kapanpun, ia tak akan bisa. Mimpi itu bahkan ketika ia memilih untuk mati sekalipun, mimpi itu tak akan pernah terwujud. Narel cukup tau diri tentang itu. Namun setiap luka dan rasa sakit yang ia dapatkan tak pernah mampu ia singkirkan sampai kapanpun. Ia ingin sekali menyerah, namun ia tahu ia tak bisa, tak akan pernah bisa.

.

.

.

Rumah besar Nagarjuna terlihat begitu sepi. Jika saja lampu tak dinyalakan dan keberadaan mobil-mobil di garasi, mungkin orang-orang akan menganggap jika rumah itu adalah rumah kosong. Sama seperti salah satu penghuninya, Narel. Anak itu terdiam bersandar pada ranjang. Menatap tak bernyawa pada dinding putih dihadapannya. Sedang di sebelah tangannya, trofi cantik itu berada. Dimainkannya pelan tanpa minat.

Nyatanya kebahagiaan itu tak pernah sampai di hatinya. Pandangnya beralih, menatap sebuah lemari kaca di sisi meja belajarnya. Di sana berjajar semua prestasi yang ia raih selama ini. Tumpukan keberhasilannya yang ia harapkan bisa membuat ayah dan Hara melihat ke arahnya, menyadari keberadaannya. Namun bahkan sampai saat ini, semakin ia beranjak dewasa, mimpi itu terlihat semakin jauh ia raih. Ketika semua usahanya, tubuhnya yang selalu ia paksakan, tetap tak berubah apapun hingga saat ini.

Narel lelah. Rasanya ia ingin berhenti di sini. Menghentikan segala usahanya atau memilih untuk menemui mamanya yang sudah begitu jauh ia raih. Ia ingin mati, namun sisian jiwanya yang lain menolak untuk itu. Ia masih harus hidup, setidaknya sampai maaf dan penerimaan yang ia dapatkan dari keluarganya sendiri. Sampai itu terjadi, ia akan bertahan. Semoga saja.

Pada dentang waktu yang samar tak terdengar, Narel dengan segala luka yang selalu ia sembunyikan, melayangkan trofi cantik di tangannya. Hingga trofi itu melayang cepat di udara menciptakan berisik yang nyata karena riak tubuhnya yang menghambur berserakan.

Prang

Trofi yang begitu di banggakan sekolahnya berakhir mengenaskan di lantai kamar Narel. Pecah berkeping-keping, tak lagi menunjukkan indah yang mampu ditangkap matanya. Seringai tipis muncul di bibirnya yang pucat, menatap kilauan pecahan kaca yang kini mengotori lantai kamar. Ia tak peduli. Bahkan ketika tubuhnya yang berakhir seperti trofi itu, ia tak yakin apakah keluarganya akan melihatnya.

Narel menatap sebuah pecahan paling besar yang ada di dekat kakinya. Melihat kilau indah dari tiap ujung runcing permukaannya. Dengan sadar, Narel meraihnya. Menggenggamnya erat, merobek kulit telapak tangannya. Menciptakan luka dalam bersama darah yang begitu ia sukai. Ia membukanya lagi, menemukan kaca yang semula emas bening itu menjadi merah akibat tebalut darah miliknya.

Rasanya sakit, namun setidaknya mampu mengalihkan dari rasa sakit di bagian tubuhnya yang lain.

avataravatar
Next chapter