11 Serpih ke Sepuluh : MIMPI BURUK

MIMPI BURUK

.

.

.

Napas adalah satu-satunya hal mampu Narel syukuri sekarang. Kendati setiap hal buruk yang ia terima, ia masih bersyukur karena masih diizinkan hidup hingga saat ini. Narel menengadah, menatap hamparan langit yang masih memberinya kesempatan akan indahnya biru luas itu.

Hari ini adalah hari yang patutnya ia syukuri keberadaannya. Dewi Fortuna agaknya tengah berteman baik dengannya karena hari ini Bara meninggalkan rumah karena hal yang tak ia ketahui alasannya.

Narel merasakan rongga dadanya melega. Tak lagi sesak dengan setiap hal yang Bara lakukan di depan matanya. Namun jauh di dalam sana ada sedih yang tak mampu ia jabarkan. Kakeknya pergi dan kesempatan memohon penerimaan semakin jauh ia dapatkan. Helaan napas pendeknya terdengar, menatap luas kamarnya yang beberapa hari lalu menjadi tempat istirahat bagi Bara.

Aroma kayu masih menyambutnya kala ia kembali masuk ke sana. Merasakan aroma Bara yang tertinggal. Tak dapat dipungkiri bahwa ia sesak dan lega di saat yang bersamaan.

Arah pandang Narel berhenti pada lantai di bawah kakinya. Memikirkan kesempatan yang entah datang lagi atau tidak sampai eksistensinya lagi nampak di hadapan keluarganya sendiri.

Hari semakin menggelap dan lelah yang ia rasa semakin tak mampu ia sembunyikan. Maniknya bergulir pada jam di atas nakas. Masih terlalu awal untuk beristirahat dan Narel mulai merasakan getar pada tangannya.

Sial. Kecemasannya datang lagi dan ia tak menemukan alasan tentang rasa yang menemaninya sejak lama itu. Narel berusaha mengendalikan deru napasnya yang mulai tidak beraturan. Ia tak ingin hilang dalam gelap yang membuatnya terlihat tidak bisa apa-apa. Narel ingin menyelamatkan dirinya sendiri sekarang.

Dentang jam yang semakin samar dan Narel berusaha bangkit kendati tubuhnya mulai terasa tak seimbang. Melangkah mendekati jendela demi melihat langit yang kini gelap sepenuhnya. Ia tak mengerti namun langit jelas mampu membuatnya lebih tenang. Meski jauh ia masih merasa bahwa langit bersedia melihatnya kapanpun. Menerimanya dalam keadaan kapanpun.

Butuh waktu cukup lama hingga Narel merasa bahwa hela napasnya mulai terasa ringan meski getar yang ia rasa masih cukup kuat. Tangannya terjulur merasakan detak jantung yang mulai normal. Tersenyum tipis, merasa menang karena ia kini tak lagi kalah dalam pejam panjang yang menyesakkan.

Narel menang. Ia tahu ia menang kali ini.

.

.

.

Pekat malam menjadi pemandangan yang selalu Narel suka. Pada tiap harap yang ia rapalkan tiap malam. Narel rasa langit selalu mendengarkannya. Memberinya tenang bahwa ia tak pernah sendirian.

Satu hela napas terbuang dan Narel memutuskan untuk kembali memasuki kamarnya untuk beristirahat. Serangan petang tadi agaknya mampu membuatnya menjadi lebih lelah.

Pekat irisnya perlahan memejam. Mengantarnya menuju alam mimpi yang mampu membuatnya lupa akan perih yang dunia persembahkan untuknya. Pejam yang tenang bersamaan dengan deru napas yang mulai terdengar teratur.

Untuk malam ini Narel berharap tenang yang mampu membawanya istirahat sejenak. Narel ingin bertemu Mamanya. Merasakan bagaimana tangan hangat wanita itu mampu membuatnya nyaman.

Narel rindu Mama. Sebesar benci yang ia terima dari keluarganya sendiri.

.

.

.

Namun sepertinya hal buruk senang sekali mengganggu ketenangan yang baru saja Narel nikmati adanya. Karena pada dentang ke sekian, Narel merasa hidupnya seakan berakhir.

Manik yang semula memejam tenang itu terbuka paksa. Menerima sesak yang datang tanpa aba-aba. Tubuh Narel menegang kaku bersamaan dengan maniknya yang bergerak gusar karena menemukan bayangan mengerikan yang membuat detaknya tak lagi teratur.

Di hadapan matanya, Narel seperti melihat semua kilas balik mengerikan itu.

Darah

Mama

Teriakan

Narel melihat semuanya, namun tubuhnya seakan terpasung kaku hingga ia tak mampu menggerakkan sekujur badannya sendiri. Narel ketakutan. Ketakutan parah yang membuat desakan air mata itu mengalir dari ujung maniknya yang terbuka ketakutan.

Sudah sejak terakhir kali serangan ini menghampiri malamnya dan Narel masih tak mampu mengendalikan semuanya. Isakannya terdengar menyakitkan. Menjadi iringan malam panjang yang Narel harap segera berakhir.

"Mama, tolong Narel. Narel takut,"

Bisikan panjang yang mampu ia ulang berkali-kali. Narel ingin menggerakkan badannya namun semua terasa sangat berat hingga yang mampu ia lakukan hanya menangis kesakitan. Napasnya tercekat bersama detak jantung yang menggila.

Ia berharap seseorang datang padanya. Menyelamatkannya dari sakit yang seperti mampu membunuhnya kapan saja. Narel ingin bangun. Mimpi buruk itu hanya menyakitinya terus menerus.

"Mama, jangan hukum Narel, "

Terkadang, semua perih dan rasa takut yang ia terima membuat Narel berpikir bahwa ini semua adalah hukuman yang sudah sepantasnya ia terima. Ia pembunuh dan semua ini harus ia terima dengan hati lapang.

Narel terisak pedih. Merapalkan begitu banyak doa. Berharap segala halusinasi di hadapan matanya segera berakhir. Narel menerima hukumannya dan ia tak ingin menyerah pada sakit yang lagi-lagi ia terima.

Sepertinya doa yang ia rapalkan terdengar oleh Sang Pemilik Segalanya. Mimpi mengerikan itu perlahan sirna. Tergantikan dengung panjang yang terlihat lebih baik daripada harus menerima segala mimpi buruk yang baru saja ia terima.

Narel tersentak ketika berhasil merasakan tubuhnya mampu bergerak lagi. Dengan napas yang masih terasa menyakitkan, setidaknya ia mampu membawa tubuhnya kembali dari mimpi buruk yang sepertinya mampu membuatnya hilang akal.

Semesta baru saja menghukumnya dan ia akan berusaha menerimanya dengan tangan terbuka. Anak itu bangkit dari tidurnya. Merasakan wajahnya basah akan air mata. Wajahnya kacau bersama keringat yang membuat rambutnya terasa lepek.

Tangan bergetarnya tergerak meraih dada dimana jantungnya berada. Merasakan detaknya yang masih terasa tak karuan. Narel tahu pasti bahwa tubuhnya terasa menghangat dan ia paham pasti bahwa besok akan menjadi hari yang lebih berat.

"Mama, Narel takut, "

.

.

.

Pagi ini akan menjadi pagi yang berat. Setelah serangan semalam, Narel sama sekali tidak mampu lagi memejamkan matanya untuk kembali tertidur. Tak dapat dipungkiri bahwa tubuhnya terasa remuk bersama suhu tubuh yang lebih hangat.

Ia tahu ia demam namun ia tak ingin melemahkan dirinya dengan berisitirahat. Lagipula meski ia jatuh sakit, Papa dan Hara tak akan pernah peduli padanya. Mau separah apapun sakit yang ia rasa, mereka tak akan pernah peduli.

Dengan perih yang ia coba redam, Narel membawa tubuhnya turun. Berjalan tertatih demi berjalan menuju sekolah dimana Abisatya dan Abyaz berada. Setidaknya mereka tidak berusaha menyakitinya lebih dalam.

avataravatar
Next chapter