10 Serpih ke Sembilan : SULIT

SULIT

.

.

.

Hidup semakin terasa berat bagi Narel. Terlihat dari bagaimana ia berusaha untuk terus berjalan di atas kakinya sendiri. Kendati terjatuh berkali-kali, Narel masih belum ingin menyerah.

Ringisan pelan terdengar dari belah bibirnya yang terbuka. Ia tak pernah tahu bahwa bangun tidur akan terasa seberat ini. Pandangannya mengedar demi kembali dijatuhkan keadaan bahwa ia memang terbuang dari kamarnya sendiri.

Pukul 04.30

Ah, ia bangun terlalu pagi hari ini. Tapi kantuknya benar-benar sirna sejak awal. Jadi ia memutuskan untuk beranjak keluar dan menikmati hening yang mendekapnya sejak lama. Langkah tertatihnya ia bawa menuju halaman belakang. Tempat terbaik yang bersedia menerima kehadirannya tanpa tapi. Satu-satunya tempat yang tak pernah menyaksikannya terluka karena semua orang di sana.

Hela napas pelan terdengar mendominasi. Di tengah dingin yang berkuasa, Narel terduduk di sana menatap kolam renang yang beriak tenang bersama langit yang bahkan masih tak bercahaya. Manik nya terpejam bersama tarik napas yang terasa segar. Satu hal yang masih ia syukuri bahwa ia masih hidup hingga saat ini.

Pikiran Narel melayang pada hal-hal yang terjadi. Ini sudah hari ke sekian sejak kakeknya datang dan apa yang ia dapat bukan hangat yang ia harap. Namun, dalam sudut hati yang tersembunyi, Narel bersyukur masih bisa menemukan eksistensi sang Kakek yang mau melihat padanya meski hanya benci pada akhirnya.

Waktu berlalu begitu cepat sejak pertama kali semua perlakuan buruk itu ia terima. Dan kewarasannya memintanya untuk tetap diam menerima, karena biar bagaimanapun hal buruk yang menimpa Mama tidak lain adalah karenanya. Napasnya mulai tersengal ketika memori buruk itu datang lagi. Namun Narel mencoba untuk tetap sadar dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan tetap baik-baik saja.

Hingga pada detik yang berlalu tanpa permisi, pekik keras itu menyadarkan lamunannya. Itu suara Bara. Berteriak memintanya datang ke dapur entah untuk apa. Satu lagi doa yang ia rapalkan bersama langkah kakinya yang beranjak.

Semoga hari ini ia baik-baik saja.

.

.

.

Sepertinya Narel berteman baik dengan hal-hal buruk. Karena ketika langkah yang membawa dirinya ke hadapan Bara, Narel harus menahan rasa sakitnya ketika Bara memberinya begitu banyak kesulitan.

Bara memintanya membuat sarapan sesuai dengan apa yang pria tua itu inginkan. Sepertinya Bara memang sebenci itu, karena setelah Narel menyelesaikan semua titahnya, Narel baru menyadari bahwa Bara memang berniat membuatnya terlambat ke sekolah.

Hening mencekam menemani Narel yang harus berakhir di ruang kedisiplinan. Di hadapan seorang guru kedisiplinan paling mengerikan yang pernah ada. Ini pertama kalinya Narel berakhir di sini dan ia tak tahu hadiah apa yang akan diberikan Pak Abdul kepadanya.

Hela napas berat Pak Abdul terdengar nyaring dan Narel tak ingin repot-repot melihat wajah Pak Abdul di hadapan.

"Kenapa kamu terlambat, Narel?" gema suara Pak Abdul terdengar.

"Maaf, Pak. Kakek saya baru datang, jadi saya diminta menemani sarapan beliau, Pak,"

Gelenyar ngilu ia tekan dalam-dalam. Menemani katanya, Narel bahkan diperlakukan buruk, bukannya menemani. Sedang di hadapannya, Pak Abdul menghela napas bersama tarik senyum di wajah menuanya.

"Kamu memang teladan, Nak. Baiklah. Tapi maaf peraturan tetap peraturan, jadi sekarang bantu Bu Nina mengurus perpustakaan, ya,"

Narel mendongak kaku. Mengernyit tipis ketika menyadari guru semengerikan Pak Abdul tidak melayangkan amarah pada murid yang terlambat. Hingga Narel ikut menarik senyum dan mengangguk patuh untuk kemudian beranjak dari sana.

"Baik, Pak. Terimakasih banyak,"

Benar, Narel diterima orang lain namun ia bahkan ditolak keluarganya sendiri. Semua orang memperlakukannya dengan baik namun ia harus menerima perlakuan buruk keluarganya sendiri.

.

.

.

Narel berteman baik dengan hening. Ia bahkan menikmati waktunya ketika ia dihukum untuk ikut mengurus perpustakaan. Bu Nina tersenyum lembut sembari menyodorkan sebotol air mineral pada Narel yang suda jg membantu banyak hari ini.

"Makasih banyak, ya, Rel. Sini kamu istirahat dulu,"

Anggukan pelan ia berikan sembari menerima air mineral itu. Beranjak pelan dan melangkah mendekati jendela besar di sisian ruangan. Perpustakaan itu hening dan ia menyukai bagaimana ia mampu mendengar hela napasnya sendiri.

Hingga pada detik-detik berlalu setelahnya, keheningan nyaman itu harus terusik ketika dua orang upin ipin terbaiknya datang.

"Abyaz ganteng dateng!"

Pekik Abyaz bersama langkah mendekat dengan sebuah onigiri di tangan. Sedang Abisatya di sisinya hanya melayangkan senyum lebar dan mendudukkan diri di hadapan Narel.

Kedatangan mereka memang mengusik Narel, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia menyukai bising yang mereka bawa. Narel mengambil onigiri di tangan Abyaz untuk kemudian memakannya. Menatap bergantian Abyaz dan Abisatya yang juga memakan onigiri di tangan masing-masing.

"Keren lo, Rel. Lo satu-satunya murid yang nggak bisa buat Pak Abdul marah. Mantep emang,"

Abyaz berucap di sela kunyahannya. Mengantarkan decak keras Abisatya yang kemudian memukul belakang kepalanya pelan.

"Ditelen dulu, Bambang. Jorok, dasar,"

Narel tersenyum, tak mencoba menanggapi apa yang diributkan dua manusia di hadapannya.

"Ya, mana bisa Pak Abdul marah sama Narel. Jangan sampe dia lupa kalo Narel yang bawa nama sekolah jalan kemana-mana. Ya nggak, Rel?"

Tak ada kata yang Narel ucap. Ia hanya tersenyum tipis sembari sibuk menatap wajah upin ipin di hadapannya. Narel hanya bersyukur dan ia berharap bahwa semesta tidak lagi bermain-main padanya.

.

.

.

"Kita balik dulu, Rel,"

Narel memusatkan pandangannya sembari mengiringi langkah Abisatya dan Abyaz yang semakin menghilang di belokan jalan. Ia merasa baik saat mereka ada di sekitarnya dan ketika mereka pergi, Narel kembali pada dirinya yang lalu.

Namun semesta sepertinya senang melihatnya tersiksa. Karena sebelum langkahnya sempurna meninggalkan lingkungan sekolah, sebuah mobil yang terlalu ia hafal berhenti di hadapan. Itu mobil milik Bara.

"Masuk,"

Suara dingin Bara menusuk pendengaran. Bersama tarikan paksa di tangannya untuk segera masuk ke mobil. Narel memejam demi menetralisir degup tak beraturan di dadanya. Ia beringsut merapat pada sisian mobil. Tak berani untuk sekedar mengangkat wajah. Diam-diam mengharapkan keselamatan di waktu yang tersisa.

Perjalanan memakan waktu cukup untuk membuat Narel kesulitan bernapas. Bara membawanya pulang untuk kemudian membawanya menuju kamarnya sendiri. Ah, kamar Bara maksudnya.

Bara dengan kemarahan yang datang entah dari mana, menarik tangan Narel untuk kemudian membuatnya berlutut. Bara mencengkram wajah Narel keras. Melayangkan tatapan paling mengerikan yang membuat Narel bergetar pelan di tempatnya.

Narel tak mengerti dengan apa yang Kakeknya lakukan. Ia merasa bahwa ia tak melakukan hal yang buruk pada kakeknya hari ini. Namun, ia menyadari bahwa ia memang berteman baik dengan hal-hal buruk.

Jadi ketika Bara melayangkan tatapan paling mengerikan bersamaan dengan cengkraman yang semakin menguat, Narel hanya memejam sembari terus berharap bahwa ia akan baik-baik saja. Hingga pada detik kemudian, Narel tahu bahwa ia hanya akan patah kemudian.

"Saya masih nggak habis pikir sama kamu. Kenapa kamu masih bisa sesantai ini, padahal semua orang tau kalo kamu adalah malaikat pencabut nyawa buat Dhita?! "

Layangan tangan Bara mendarat sempurna di pipi Narel membuat kepalanya terpaling. Panas merambat menciptakan retak panjang di dalam sana. Narel mencoba tetap tenang kendati getar itu semakin tak terkendali.

Karena yang terjadi selanjutnya adalah benar yang tak ia coba tepis lagi. Bara berteriak di hadapannya menyerukan bahwa ia hanyalah hama tak berguna yang tak pantas untuk dipertahankan hidup. Seruan-seruan yang hanya akan menyakiti hatinya, namun ia akan menelannya dengan baik karena sekeras apapun ia menolak, ia benar seorang pembunuh Mamanya sendiri.

Pada perih yang tersisa, Narel hanya menekan bibirnya. Mencoba menguatkan hati bahwa ia masih harus bertahan hidup. Demi mereka. Demi eksistensi yang diharap kembali dilihat.

avataravatar
Next chapter