12 Serpih ke Sebelas : SAKIT

SAKIT

.

.

.

"Kayaknya ni bocah emang niat cari mati, deh,"

Abisatya berujar pedas dengan arah pandang yang terkunci pada sahabat paling bebal yang pernah ia miliki. Di bangkunya, Narel tertidur dengan kepala yang ditelungkupkan di atas meja.

Anak itu bahkan tak berkata apapun sejak memasuki kelas. Ia hanya melenggang dan tidur begitu saja. Namun Abisatya dengan mata tiga yang ia miliki mampu menangkap gurat sakit yang berusaha Narel sembunyikan.

Sedang di sisinya, Abyaz terdiam. Menatap Abisatya yang terlihat begitu kaku. Anak dingin itu terlihat mengerikan dengan manik yang tak lepas dari Narel yang tertidur.

"Rel-"

"Selamat pagi, anak-anak,"

Sial. Sepertinya pelajaran matematika kali ini akan terasa begitu panjang.

.

.

.

Pelajaran matematika bersama guru bertubuh kekar benar-benar terasa begitu lama. Terlebih dengan segala ceritanya tentang masa mudanya ketika beliau menjadi binaragawan. Itu dulu, dulu sekali dan Abisatya di tempatnya sudah seperti ingin meledak di tempat.

Manik tajamnya tak lepas dari Narel di depannya yang sejak tadi masih setia memejamkan matanya. Anak jenius itu bahkan tak pernah meninggalkan pelajaran apapun, namun hari ini ia terlihat tak biasa. Narel sedang tak baik dan Abisatya mampu melihat bagaimana tangan Narel bergetar kecil di sana.

Demi sepatu Abyaz yang selalu ganti, guru mantan binaragawan itu benar-benar menyita waktu.

Sepertinya Tuhan mengetahui emosinya, karena ketika emosinya sudah hampir meledak, guru itu akhirnya mengakhiri pelajaran dan beranjak pergi dari kelas.

Seketika Abisatya menepuk pundak Abyaz yang sepertinya sama khawatirnya dengan keadaan Narel di sisinya. Mereka berpandangan sejenak sebelum akhirnya Abyaz beranjak dan membiarkan Abisatya mengambil alih.

Tangan Abi terangkat pelan, menyentuh bahu Narel dan berjengit pelan ketika menyadari panas yang merambat di permukaan kulitnya. Hingga Abi menyadari bahwa surai Narel terlihat basah karena keringat.

"Jangan cari mati, deh, Rel,"

Abisatya berujar bersama tepukan pelan yang ia layangkan di bahu Narel. Berusaha membangunkannya untuk setidaknya membiarkannya beristirahat di tempat yang lebih nyaman.

"Narel,"

Kini giliran Abyaz yang berbicara. Pun berusaha membangunkan dengan menepuk pelan tangan Narel di atas meja. Dua sejoli itu saling berpandangan. Narel yang sakit tak akan pernah menjadi baik.

Narel yang sakit bagi mereka sedikit mengerikan. Narel bukan Abyaz yang akan berubah manja dengan meminta hal-hal aneh demi tidak ditinggalkan. Bukan juga Abisatya yang akan tertidur sepanjang hari namun tetap terbangun ketika tak menemukan satu di antara mereka yang tak berada disisinya. Narel adalah Narel yang akan menghilang ketika tubuhnya sendiri kesakitan.

"Bangun, Rel. Sumpah, lo jangan bikin kita makin khawatir, "

Abisatya tak berusaha menutupi khawatir yang meremas perasaannya. Ada takut yang berusaha ia coba sembunyikan. Hingga ketika napasnya hampir tercekat sakit, tubuh kurus di hadapannya bergerak pelan.

Terbangun dan berhasil membuat dua sejoli itu tercekat di tempat. Di hadapan mereka, Narel mengusap matanya sendiri dan tersenyum. Senyum yang paling Abisatya benci.

Bahkan orang bodoh pun langsung mengerti apa yang dirasakan Narel. Bagaimana lepek dari rambut yang biasa keren itu karena keringat. Bagaimana pias pucat wajah yang biasanya segar. Narel sakit, dan dengan bodohnya ia masih sanggup berpura-pura.

Abisatya menutup matanya sejenak. Berusaha meredam emosi yang sedari tadi berusaha ia tahan. Ia benci Narel yang seperti ini. Dengan kesabaran yang hampir habis, Abisatya menarik sebelah tangan Narel yang benar-benar lemas. Mengundang kernyitan Narel dihadapannya.

"Ikut gue, sebelum gue meledak di sini,"

Narel terdiam lama. Menyadari betul raut khawatir yang ditunjukkan kedua sahabat di hadapannya. Narel bahkan masih sangat sadar ketika Abi dan Abyaz berusaha membangunkannya. Ia ingin segera bangkit namun sepertinya tubuhnya menolak untuk itu. Demi apapun, rasa sakit yang menyerang tubuhnya benar-benar membuatnya sangat lemah.

Narel benci dirinya yang lemah. Menjelaskan bagaimana ia lagi dikalahkan takdir yang sepertinya tak ingin melihatnya baik.

"Di sini aja, Bi,"

Bahkan serak suara itu tak bisa menutupi apa yang sebenarnya anak itu rasakan. Narel menyadari marah yang berusaha Abi redam pada tiap rendah kata yang ia ucapkan. Namun, Narel tak ingin. Karena ketika ia memutuskan untuk beristirahat, sama artinya dengan ia yang menyerahkan tubuhnya pada lelah yang tak lama.

"Gue nggak apa-apa,"

Setelah serak yang sama terdengar. Emosi yang berusaha ia redam, ternyata tak mampu lagi bertahan. Di sana, Abisatya dengan kesadaran penuh, menghempaskan tangan lemas Narel tanpa kira.

"Berhenti pura-pura! Lo bukan anak dewa yang bisa sakit sembuh semau Lo! Berhenti nyusahin orang!"

ah, Narel menyusahkan, ya,

Pandangan Narel turun dan jatuh pada tangannya yang bergetar kecil. Senyum getirnya terbit di wajahnya yang pucat dan berkeringat. Sakit di kepalanya tak lagi terasa karena dentum tak beraturan di dalam sana mengambil alih segala rasa sakit fisiknya.

Berhenti nyusahin orang!

Berhenti nyusahin orang!

Hari ini Abisatya menyadarkan posisinya dan tentang apa yang selama ini ia perbuat. Kata-kata dingin itu berputar acak di kepalanya. Seakan berteriak tepat di dekat telinganya. Selama ini Narel memang tertolak dari segala sisian hidupnya, terutama di lingkaran keluarganya. Namun hari ini, ia tak pernah menduga bahwa ia kembali tertolak di satu-satunya tempat di mana ia merasa aman.

Diamnya Narel menjadi pengingat bahwa Abisatya baru saja salah berucap. Agaknya Abisatya menyesal tentang kata-kata yang tak sadar ia lontarkan. Hatinya teremas sakit ketika menemukan Narel mengangkat wajah bersama senyum paling menyakitkan yang pernah ia lihat.

"Rel-"

"Nggak papa, Bi. Gue tahu lo jujur, kok,"

Sungguh Abisatya menyesal. Ia sungguh menyesal. Melihat bagaimana senyum yang terbit seolah apa yang baru saja ia ucapkan hanya candaan semata. Abisatya benci dirinya yang tak mampu menjaga emosinya sendiri dan berakhir menyakiti sahabatnya sendiri.

Abisatya menahan napas ketika melihat Narel yang berusaha bangkit dari duduknya. Anak itu terhuyung namun jelas sedang tak ingin menerima bantuan dari siapapun. Abi dan Abyaz berusaha menjaga tubuh yang seakan bisa jatuh kapan saja.

Namun baru dua langkah kaki itu beranjak, Narel merasakan kepalanya berdentum kuat sekali. Hingga ia merasakan tubuhnya menjadi begitu ringan dan berakhir tumbang pada langkah berikutnya. Narel merasakan hangat Abyaz yang menjaganya dari keras lantai yang dingin. Pun ia masih sanggup mendengar teriakan yang terdengar lirih memanggil namanya. Sebelum ia memilih menyerahkan dirinya pada gelap yang hening.

.

.

.

Menyaksikan bagaimana tubuh itu jatuh tak sadarkan diri. Membuat bagaimana sesal berhasil menggulungnya kuat-kuat. Abisatya tenggelam dalam heningnya melihat bagaimana pias wajah tanpa rona yang kini memilih menyerah dalam gelap.

Seharusnya Abisatya mampu menahan emosinya sehingga ia tak menyakiti Narel hingga demikian. Seharusnya ia mampu memilih kata-kata yang lebih baik yang tak membuat Narel merasa semakin buruk. Ia memang tak pernah mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan Narel, namun ia tahu pasti bahwa banyak hal buruk yang selalu Narel sembunyikan lewat jenius yang selalu ia tunjukan.

Ia seharusnya mampu menjaga, namun hari ini Abisatya melukainya.

avataravatar
Next chapter