16 Serpih ke Lima Belas : INSOMNIA

INSOMNIA

.

.

.

Benar kata orang jika penyesalan memang datang di akhir. Karena pada dentang waktu yang seperti berlalu begitu lambat, jantung Hara tak henti berpesta pora di dalam sana. Ini perasaan yang begitu asing. Bagaimana hela napasnya terasa begitu tercekik setiap pikirnya kembali pada waktu-waktu lalu.

Tidurnya terasa tak menyenangkan. Bersama mimpi buruk yang menyambangi lelap yang malah terasa begitu melelahkan. Hingga ketika sinar pagi berhasil mengetuk kelopaknya, Hara memilih untuk segera mengakhiri mimpi sialannya. Deru napasnya terasa berat, tak mencoba mengingat apapun tentang mimpinya semalam.

Namun pada dentang yang tak terhitung, Hara tiba-tiba bangkit bak orang kesetanan. Meninggalkan kasur hangatnya dengan selimut yang dibiarkan jatuh begitu saja. Kakinya ia bawa berlari. Kendati ada sisian lain tubuhnya yang menolak akan apa yang ia lakukan kini. Namun, ia tak ingin peduli.

Langkahnya berhenti pada pintu kamar yang sama dengan miliknya. Kamar milik penghuni lain yang lama ia lupakan. Ia tak ingin mengelak bahwa bayangan Narel semalam adalah hal yang membuatnya menikmati mimpi buruk yang panjang. Rona pucat penuh kerut sakit itu terus membayanginya bahkan hingga alam mimpi.

Tubuhnya mematung cukup lama. Kembali berpikir apakah yang ia lakukan sudah benar atau tidak. Tangannya terkepal di samping wajah hendak mengetuk namun tertahan begitu lama. Napasnya tanpa sadar tertahan, tak siap dengan apa yang akan terjadi setelahnya.

Pada detik dimana tangannya sudah sampai pada permukaan, pintu coklat itu terbuka begitu saja. Menampilkan Narel yang berdiri terpaku menatapnya. Pandang mereka saling bertemu. Cukup lama tanpa ada pergerakan dari salah satunya. Tatap penuh arti itu sama-sama mereka rasakan. Tentang rindu yang jauh sekali terkubur di balik ego yang lebih tinggi. Rasanya sesak.

Arah pandang Hara berhenti pada perban yang membalut tangan kanan adiknya. Bahkan jejak darah berhasil menembus permukaan putihnya. Ingatannya kembali pada semalam dan entah kenapa ia benci itu.

Menyadari kemana arah pandang Hara, Narel segera menyembunyikan tangan kanannya di balik tubuh. Enggan menerima tatapan kasihan yang dilayangkan Hara padanya. Ia bahkan tahu ketika semalam Hara melihat keadaannya yang begitu berantakan, meski keadaannya setengah sadar waktu itu.

Tanpa mengatakan apapun, Narel segera beranjak dari sana setelah sebelumnya menutup pintu. Melangkah tanpa menoleh lagi pada apapun di belakangnya. Ia tak ingin Hara tahu tentang lukanya. Tentang apapun yang membuatnya lemah di hadapan lelaki itu.

.

.

.

Sekolah tidak pernah terasa berbeda. Bagaimana riuh suara yang terdengar ketika istirahat tiba. Bagaimana hening yang tercipta ketika guru mulai membagikan lembaran ujian yang tiada habisnya. Semuanya terus berulang seakan menjadi siklus yang tak akan terbantahkan.

Jam istirahat adalah waktu yang benar-benar ditunggu semua orang. Benar saja, ketika bel istirahat berkumandang, semua orang di masing kelas mereka segera beranjak demi memenuhi permintaan perut mereka yang meronta-ronta. Namun, pada kenyataannya, Narel masih terdiam di tempatnya. Bersama tumpukan buku juga lembaran soal-soal yang meminta selesaikan.

Dahinya mengerut tipis, bersama belah bibirnya yang bergumam pelan. Tangannya yang menggenggam pensil terus menggoreskan permukaannya di kertas emi menemukan jawaban. Bahkan kehadiran Abyaz dan Abisatya di hadapannya tak serta merta membuatnya hilang fokus.

Duo upin ipin itu terus menatapnya tanpa arti. Gemas sekali ingin menyobek lembaran soal menyebalkan itu juga menarik headset yang menyumpal telinga Narel. Namun mereka berdua tahu, jika mereka tak akan mungkin mampu melakukan itu semua. Narel yang sedang konsentrasi adalah hal yang paling mengerikan. Karena jika mereka berhasil mengganggunya, bisa saja Narel tak ingin bertemu selama berhari-hari.

Abisatya hanya mampu menunggu Narel menyelesaikan pekerjaannya sembari memainkan ponsel miliknya. Agaknya berusa abai tentang keadaan temannya itu. Abisatya sama sekali tak bisa menemukan fokusnya terhadap aplikasi yang ia mainkan. Karena kini perhatiannya hanya tertuju pada tangan Narel yang terbalut perban. Bahkan ia masih mampu menemukan bercak merah di permukaan perban yang terlihat tebal itu.

Pikiran Abisatya terus berkelana begitu jauh. Mencari alasan yang mungkin mampu menjawab segala kebingungannya terhadap apa yang terjadi pada Narel. Arah pandangnya ia bawa pada wajah Narel yang lagi-lagi tak mampu ia baca. Seakan segala perasaan anak itu hanyalah hal yang selalu menjadi rahasia. Ronanya tak pernah berubah sejak pertama kali ia mengenal Narel. Ia selalu terlihat pias tanpa rona. Juga ekspresi yang tercipta di wajahnya tak pernah mampu tertebak siapapun. Abisatya bahkan tak pernah mampu mengingat kapan Narel terlihat jujur dengan perasaannya.

"Ngeliatnya nggak usah gitu juga kali, Bi,"

Narel mengangkat kepalanya hingga iris terangnya kembali menatap Abisatya yang terkejut di tempatnya. Anak itu tertawa pelan sembari meletakkan pensil yang semula ia genggam. Lucu sekali melihat Abisatya. Ia bahkan paham betul ketika detik pertama Abi menatap padanya.

Tak lama berselang setelah itu, Abyaz datang bersama kantong plastik putih di tangan. Lelaki itu sampai bersama senyum lebar untuk kemudian membagikan makanan pada dua temannya yang lain.

"Alhamdulillah, Abi baik banget mau traktir kita, Rel. Makanya gue berani banget beli ni makanan mahal,"

Pandangan Abisatya terhenti pada banyak makanan yang dibeli Abyaz. Susu, roti selai coklat asli, onigiri, dan banyak sekali makanan mahal sudah tertata rapi di atas buku-buku milik Narel. Hingga ketika otaknya mampu mencerna, pandangan matanya yang tajam terhenti pada Abyaz yang menatapnya tanpa dosa. Narel terkikik pelan ketika menyadari aura gelap yang menguar dari Abisatya.

"Abyaz!"

Hingga mereka akhirnya berakhir berlarian di kelas kosong itu. Abyaz yang berusaha menghindar dengan wajahnya yang lawak sekali juga Abisatya yang berusaha mengejarnya dengan wajah garang yang tak main-main.

"Ampuun.."

Narel tidak bisa untuk tidak tertawa. Melihat bagaimana mereka berlarian terlihat begitu menenangkan. Itulah mengapa ia lebih memilih berada di sekolah daripada harus berada di rumah. Karena setidaknya ia mampu tertawa bebas di sini, tanpa kebohongan, tanpa paksaan apapun.

.

.

.

Gelap telah menggantikan langit yang semula terang. Bersama bulan yang bulat sempurna ditemani taburan bintang yang terlihat begitu cantik. Langit terang malam ini, bersama angin malam yang tak sedingin biasanya. Suara hewan malam semakin terdengar jelas, mengantarkan alunan musik yang begitu menenangkan.

Narel bersama banyaknya buku tebal berada di hadapan jendela besar yang menyuguhkan pemandangan paling indah. Menikmati angin malam yang membelai lembut wajahnya yang tanpa rona. Senyum tipisnya terkembang, mengingat wajah Mama yang begitu cantik di matanya.

Arah pandangnya tetap terpaku pada kata demi kata materi yang tengah ia pelajari. Tangannya dengan cekatan memberi tanda tentang mana yang belum ia pahami agar ia bisa menanyakannya besok. Terkadang dahinya mengerut tipis bersama gumaman pelan demi memahami materi yang sulit dipahami

Waktu telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Sudah begitu larut namun Narel sama sekali tak berniat untuk menjemput mimpinya. Kendati maniknya telah berhias merah yang nyata, Narel tak mengantuk.

Narel mengalami kesulitan tidur yang cukup parah. Karena baginya tidur hanya akan membawanya kembali pada memori yang tak pernah membawanya pada tenang yang panjang. Memori yang hanya akan membawanya pada keterpurukan yang tak membiarkannya bangkit kembali. Ia hanya takut dan ketakutannya membuatnya tak bisa menjemput mimpi.

Ketika pening mulai ia rasakan, Narel melepaskan pandangan dari rentetan kata itu demi menatap pada langit yang terang. Menghela napas pelan ketika lelah yang ia harapkan tak kunjung datang menjemputnya pulang. Narel hanya ingin lelah. Narel hanya menginginkan tubuhnya meronta untuk beristirahat jadi ketika ia memilih untuk tertidur ia tak akan mengingat apapun lagi.

Namun, sepertinya ia masih terlalu kuat. Jadi pada dentang yang lama, Narel memutuskan untuk beranjak dari sana. Sepertinya mandi lebih baik. Kendati terlalu pagi, ia tak peduli. Mungkin mandi mampu membuatnya lebih tenang.

Tak membuang waktu lama, Narel bersama rambut setengah basah telah berada di lantai dasar. Berhenti pada dapur yang gelap karena lampu yang dimatikan. Langkahnya berhenti pada kulkas. Membukanya dan memilih untuk mengambil sekaleng kopi instan yang tersedia di sana.

Melangkah menuju meja makan. Mendudukkan diri di salah satu kursi untuk kemudian menenggak isinya hingga tandas. Pandangannya berhenti pada perban yang masih membebat tangan kanannya. Lukanya di hari lalu, yang entah kenapa ketika ingatannya kembali, perihnya kembali terasa.

Cukup lama ia berhenti tanpa melakukan apapun, perhatiannya teralih pada suara langkah kaki yang terdengar samar menuruni tangga. Namun ia mencoba tak mengindahkan, jadi ketika langkah itu semakin jelas, Narel hanya terdiam di tempatnya.

Itu Hara. Berdiri menjulang di hadapan Narel bersama wajah mengantuk yang ketara sekali. Merasa tak mendapat respon dari manusia di hadapannya, Hara memilih untuk memukul pelan meja di hadapannya. Benar saja, wajah yang semula tertunduk itu kini balas menatapnya.

Hara tak bisa untuk tidak terkejut. Sekarang sudah hampir pukul tiga. Namun, rambut anak itu sudah setengah basah. Wajahnya terlihat segar namun kuyu di saat yang bersamaan. Satu hal yang tak bisa ia lewatkan adalah, manik anak itu yang terlihat memerah.

Apakah ia tidak tertidur?

Apakah ia terjaga sepanjang malam?

Mengapa rautnya terlihat begitu kelelahan?

Narel mengalihkan pandangan begitu maniknya bertatap balik dengan manik tajam milik kakaknya itu. Ia tak ingin, namun tak bisa di pungkiri bahwa ia rindu. Rindu sekali.

"Kapan terakhir kali lo tidur?"

Satu pertanyaan, namun mampu mengantarkan hangat yang mencoba mereka sembunyikan.

avataravatar
Next chapter