17 Serpih ke Enam Belas : TIDAK ADA

TIDAK ADA

.

.

.

Hari telah menjadi malam sejak Narel mendapat pertanyaan yang sangat tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bohong jika ia mampu melewati harinya tanpa memikirkan kata-kata itu. Hara dan pertanyaannya adalah hal yang tak pernah masuk dalam harapannya selama ini. Namun lelaki itu pada kenyataannya memberinya tatap yang selama ini hilang dalam ingatannya.

Tubuhnya ia jatuhkan pada ranjang. Setelah seharian bergelut dengan segala materi yang mampu membuat kepalanya panas. Tak dapat dipungkiri ia cukup lelah dengan segala rutinitas yang tak henti itu. Pandangan Narel terhenti pada langit-langit kamar. Tanpa sadar ingatannya kembali pada malam tadi.

"Kapan terakhir kali lo tidur?"

Narel tahu, ada yang menghangat di dalam sana. Ada luka yang sedikit membaik dengan pertanyaan sederhana yang kakaknya lontarkan. Narel tak bisa berbohong jika ia melihat hangat yang tersampaikan dari tajam Hara menatap. Ini bahkan sudah sejak terakhir kali Hara bertanya tanpa benci yang coba ia layangkan.

Tangannya tanpa sadar terangkat demi menyentuh dadanya, tempat jantungnya berdetak konstan di sana. Narel ingin berharap bahwa ia kembali memenangkan permainan. Narel ingin berharap bahwa ia akan kembali diterima di sini tanpa tapi. Narel ingin berharap bahwa ia mendapat ampunan dari segala dosanya di masa lalu. Narel ingin, ingin sekali.

Namun sekali lagi kenyataan menyadarkannya akan banyak hal. Bahwa dosanya terlihat begitu besar. Ia membuat Mamanya pergi. Ia yang memotong garis kehidupan Mamanya sendiri. Dosanya begitu besar. Dosanya tidak bisa untuk diampuni. Terlalu fatal dan terlalu mengerikan. Dosanya tak semudah itu untuk diampuni. Dosanya tidak semudah itu untuk dimaafkan.

Tanpa sadar tangannya meremas baju di dadanya kasar. Meringis kecil merasakan jantungnya serasa diremas dari dalam. Karena sejauh apapun ia mencoba berharap tentang pengampunan. Kenyataan akan memberitahukan tentang seberapa besar dosanya selama ini.

Kata-kata Hara semalam hanyalah angin lalu. Itu satu-satunya jalan yang coba ia percaya untuk sekarang. Kakaknya bisa saja tidak sadar ketika mengatakannya. Ia tak boleh besar kepala hanya karena pertanyaan kosong seperti itu. Mungkin kakaknya kelelahan. Mungkin kakaknya menganggap ia adalah orang lain, bukan Narel, adiknya.

Narel tidak boleh berharap terlalu banyak. Narel tidak boleh meminta terlalu jauh. Karena mau bagaimanapun, dosanya terlalu berat. Jadi pengabaiannya selama ini adalah satu-satunya jalan yang mampu menghapuskan dosa-dosanya.

Hingga tanpa sadar, remasan pada dadanya perlahan mengendur. Bersamaan dengan maniknya yang mengerjap pelan. Hingga netra yang kelelahan itu berakhir terpejam. Bersama hening dan damai yang membawanya pada lelap yang lama ia impikan.

.

.

.

"Papa pulang,"

Pintu ganda besar itu terbuka bersamaan dengan masuknya sosok yang diam-diam Hara rindukan. Wayan pergi begitu lama demi mengurus bisnisnya di luar kota. Hingga pria itu akhirnya kembali menemui putranya yang juga sangat ia rindukan.

Tangannya merentang lebar menyambut Hara dalam dekapan. Mengusap surai putranya yang memanjang dengan lembut. Tertawa begitu lepas ketika akhirnya ia kembali bertemu Hara.

"Nak, gimana kalau kita keluar buat makan malam, hm?"

Wayan bertanya setelah ia melepas pelukan. Menatap putranya yang kini menatapnnya balik.

"Emang Papa nggak capek apa? Papa baru aja pulang dari luar kota kalau Papa lupa,"

"Buat kamu, Papa mah nggak apa-apa,"

Hara menarik bibirnya lebar, menunjukkan senyum yang tak pernah orang lain tau selain keluarganya. Kemudian dua lelaki berbeda umur itu melangkah menjauh dari sana. Bersama tawa yang lama sekali tidak pernah terdengar di rumah besar itu.

Seperti cerita yang sering terduga. Benar, Narel berdiri di ujung tangga. Menatap bagaimana Hara menyambut dekap hangat Papa yang dirindukan. Narel menghela napasnya pelan. Mencoba untuk menerima semuanya dengan hati yang berusaha ia buka lebar. Ia mencoba untuk tetap tahu diri. Bahwa apa yang terjadi sekarang adalah ganjaran yang memang seharusnya ia terima.

Karena mau bagaimanapun ia meminta, dosanya sudah terlalu berat. Mereka akan sangat sulit menerimanya kembali. Tanpa sadar tangan yang terluka kembali meremat. Mencoba mengantarkan perih nyata sehingga ia akan mampu sedikit teralih dari perih lain yang tak tampak jauh di dalam sana.

Narel membawa langkahnya turun menuju dapur yang kini sepi tak berpenghuni. Meraih lemari pendingin besar yang menyimpan bahan makanan yang entah siapa yang membelinya, pun Narel tak mencoba untuk peduli. Hingga tangannya terhenti pada rak penyimpan es batu yang kini terisi penuh.

Ia sedang tak ingin berdarah. Namun sesak jauh di dalam sana mencekiknya tanpa ampun. Ia bahkan tak mengerti jenis sesak apa yang ia rasakan. Karena rasanya ia begitu ketakutan, seperti ia akan mati sebentar lagi. Napasnya terhela berat sekali. Ketakutan ini aneh, rasanya seperti seseorang sedang mengikat lehernya kuat dengan seutas tali tambang. Ia tak mengerti.

Narel meraih es batu dalam genggam. Mencoba merematnya kuat menyalurkan dingin yang tak tertahankan. Ia menatap bagaimana tetes air dingin itu mengenai kakinya yang telanjang. Napasnya memburu dengan urat yang tanpa sadar tercetak jelas di dahinya. Rasanya begitu takut, namun tak menemukan alasan mengapa.

Balok es itu mencair perlahan. Memindahkan dinginnya pada permukaan tangan yang kini pucat pasi. Narel merasakan telapak tangannya mulai mati rasa karena dingin yang tak coba ia lepaskan. Pegal yang tak tertahankan itu mulai merambat hingga lengan atasnya. Getaran di lengannya semakin tampak, menandakan betapa kuat lelaki itu mencengkram.

Jantungnya berdetak begitu cepat bersama hela napas yang kian tidak beraturan. Tubuhnya bergetar semakin kuat. Tanpa sadar maniknya mulai memerah dan panas hingga air mata berhasil keluar dari netra kirinya.

Hingga pada napas yang semakin tak keruan jemarinya terbuka begitu saja. Melemparkan balok es yang kini mengecil hampir hilang. Narel menatap bagaimana tangannya bergetar kuat sekali. Pada detik-detik pertama ia bahkan tak mampu merasakan tangannya sendiri. Napasnya masih terdengar tidak teratur bersamaan dengan kaki yang semakin melemas. Namun Narel tak ingin menyerah di sini. Ia tak ingin. Ia ingin tetap sadar.

Tubuh bergetar itu berbalik perlahan, ketika mendengar suara dari belakang tubuhnya. Manik terang itu mengerjap pelan mencoba menyadarkan kesadarannya. Di sana, di balik tubuhnya ia melihat dirinya sendiri.

Narel kecil yang terluka jarinya tengah menangis. Terisak pelan menyadari darah yang turut menghiasi lukanya. Namun setelahnya Narel kecil tidak lagi menangis karena munculnya seorang wanita yang kini beralih mengobati lukanya dengan obat merah dan membalutnya dengan plester. Wanita yang ia panggil Mama itu meniup lukanya lembut, mengusapnya dan tersenyum meyakinkannya bahwa ia tidak akan kesakitan lagi setelahnya.

"Anak Mama, kan kuat. Narel itu anak Mama yang paling kuat. Luka kecil kaya gini nggak bakal buat Narel jatuh. Sekarang nangis dulu, nggak papa. Tapi setelahnya Narel harus jadi lebih kuat lagi,"

Narel kecil kini tersenyum lebar kendati hidung juga matanya memerah. Ia terlihat begitu yakin dengan segala ucapan yang Mamanya lontarkan. Hingga semuanya perlahan melebur ketika Mama menarik Narel kecil dalam dekap bersama usap yang kini begitu ia harapkan hadirnya.

Tubuh tinggi itu meluruh begitu saja. Berakhir menyandarkan tubuh pada lemari dapur. Tangisnya terdengar kemudian. Ia tak mencoba untuk meredam isaknya. Ia tahu ia sendiri dan ia tak ingin bersembunyi lagi. Tangannya terkepal demi memukul dadanya kuat. Mencoba menghilangkan sesak yang selama ini mengungkung dadanya. Air matanya keluar bak air sungai. Enggan terhenti dan ia tak mencoba untuk menyekanya.

"Nggak bisa, Ma.. Narel nggak kuat. Di sini sakit, sakit banget. Narel pengen di peluk Mama... "

avataravatar
Next chapter