5 Serpih ke Empat : KITA PERNAH

.

.

.

.

Their Childhood

.

"Narel agak ngedeket sini. Jangan jauh-jauh,"

Hara kecil melambaikan tangan mengajak Narel yang berjalan tertatih ke arahnya. Melayangkan senyum tipis ketika pandangan matanya menangkap Narel yang sedikit kesulitan meraihnya bersama dua gelas jus mangga di tangan. Dia terlihat begitu menggemaskan.

"Kak Hara jahat, ih. Masa aku disuruh bawa ginian sendiri, sih,"

Narel meletakkan dua gelas mangga itu sembari bersungut-sungut lucu. Ia membawa tubuhnya untuk bersila di sisian sang kakak yang tengah lebih dulu duduk manis menghadap air mancur besar di hadapan. Mereka terlihat begitu manis ketika sama-sama menatap pada percikan air yang menerpa wajah.

"Kurang jusnya?"

Pandangan mata sewarna jelaga itu menatap pada gelas sang adik yang telah kehilangan isinya. Menyadari bahwa mungkin sang adik kehausan setelah membawa gelas yang cukup besar itu sendirian. Sedang Narel di sisinya melayangkan senyum manis sembari menggeleng pelan, menolak halus tentang jus mangga segar yang di buatkan ibunya khusus untuk mereka.

"Narel udah kenyang minum jus sebanyak ini. Itu buat Kak Hara aja. Mama buat itu kan khusus buat kita. Masa dikasih ke aku, sih,"

Kikikan Hara pelan menyapa gendang telinga Narel. Tawa Hara adalah salah satu suara favoritnya setelah suara tegas sang ayah dan ucapan lembut dari sang bunda. Bagi Narel berada di antara Nagarjuna menjadi salah satu hadiah Tuhan yang terbaik untuknya. Narel begitu menyayangi sosok di sampingnya dan begitu berterimakasih karena Hara telah menjaganya dengan baik.

"Narel,"

"Hm?"

Tubuh yang sedikit lebih tinggi dari Narel itu bergerak perlahan mengadap Narel. Mengundang degung halus Narel yang balik menatapnya. Mereka begitu serupa. Mungkin hanya pada rambut Hara yang sedikit lebih gelap sedang milik Narel sedikit lebih terang. Hara tersenyum sembari mengusap surai Narel yang sedikit lebih panjang.

"Kakak sayang Narel,"

Senyum cerah Narel terpancar. Membawa damai dan bahagia bagi Hara dihadapannya. "Narel juga sayang Kakak,"

.

.

Hari-hari berjalan tidak pernah menjadi membosankan bagi keluarga Nagarjuna. Pagi yang cerah akan dimulai dengan sarapan bersama di sebuah meja panjang bersama hidangan berjejer yang menjadi favorit kedua pangeran di sana. Sedang kedua orang tua di sana hanya menatap gemas kedua putranya yang terkadang berebut daging. Bahagia yang membuat siapapun berharap berada di antaranya.

"Hey, Prince, bagaimana kalau kita pergi ke danau nanti?"

Wayan Nagarjuna, kepala keluaga Nagarjuna berucap sembari menatap harap pada kedua putranya yang tengah melihat sang ibu yang tengah membereskan meja makan. Yang lebih muda mengangguk antusias dengan manik yang berbinar menggemaskan. Sedang Hara di sisinya tersenyum bersama anggukan setelah melihat Narel yang menyetujui usulan Wayan barusan.

"Bagaimana, Ma?" tanya Wayan menatap pada istrinya yang sibuk mencuci piring membelakangi posisi mereka.

"Kedua pangeranku setuju, untuk apa Mama menolak?"

Nagarjuna bersaudara itu melompat sembari bersorak senang. Berlari dengan kaki kecil mereka menuju kamar untuk memilih pakaian terbaik yang akan mereka kenakakan nanti. Wayan menatap gemas pada kedua putranya yang terlihat begitu bersemangat untuk kemudian berganti menatap sang istri yang juga menatapnya.

"Mereka terlihat begitu bahagia. Biarkan aku menyiapakan hidangan untuk kalian makan nanti."

Wayan tersenyum dan beranjak untuk menghampiri sang istri. Mengusap surai lembutnya dan mengecup puncak kepalanya sayang. Betapa beruntung Wayan yang memiliki mereka di hidupnya. Mereka terlihat begitu murni dan ia tak ingin merusak bahagia yang mereka miliki.

"Terimakasih, Dhita,"

.

.

Danau buatan adalah tempat favorit bagi keluarga Nagarjuna untuk melepas keseharian mereka yang berulang. Menatap hamparan rumput hijau di sisian danau yang sepi. Tempat ini begitu damai dan Nagarjuna bersaudara sangat menyukai bagaimana sejuk udara menemani mereka yang lelah bermain di rerumputan yang basah.

Dhita dan Wayan membentangkan sebuah tikar cukup lebar untuk mereka beristirahat. Mengeluarkan banyak makanan yang akan mereka akan bersama nanti. Sedang dua putra kecil mereka telah bermain-main di tepian danau yang sepertinya tengah mengejar seekor kupu-kupu cantik yang beterbangan bebas. Suara tawa mereka terdengar seperti denting lonceng yang membahagiakan.

"Hati-hati, sayang," Dhita berteriak memperingatkan kedua putra kecilnya yang terlihat tidak terlalu memperhatikan sekitar. Namun Wayan di sisinya meyakinkannya dengan mengusap bahunya lembut bersama sebuah gelengan pelan. Mengatakan bahwa putranya pasti baik-baik saja.

Putra Nagarjuna itu melangkah pelan mendekati bibir danau. Mendudukan diri di rerumputan lembab sembari memainkan embun dingin yang menyentuh permukaan kulitnya. Mereka diam dalam pandang yang tak lepas dari pemandangan menenangkan di hadapan. Bagaimana riak-riak air itu terlihat bagai kerliap lampu yang begitu indah. Juga pada burung-burung kecil yang beterbangan di langit seolah saling berkejaran.

Angin bertiup lembut. Menggerakkan surai mereka hingga membuatnya sedikit berantakan. Hara tersenyum tipis. Menoleh mendapati adiknya yang tak melepas pandangan pada riak danau dihadapan. Sebelah tangan kecil Hara terangkat pelan demi membenarkan surai Narel yang sedikit berantakan. Sedang Narel menoleh menatap balas sang kakak yang masih bersaa kegiatannya. Senyum lebarnya tercetak bersama tangan yang ikut membenarkan surai Hara yang berantakan. Siluet mereka begitu indah bagi siapapun yang melihat. Membawa hangat yang merasuk menuju jiwa kedua orang tua mereka yang tak henti menatap interaksi menggemaskan kedua putra mereka.

"Narel,"

"Hm,"

"Narel jangan pergi kemana-mana, ya?" tanya yang mengundang tatapan bingun Narel di sisinya.

"Emang Narel mau kemana?" Hara melayangkan senyum tipis menanggapi betapa menggemaskannya Narel, adik kecilnya.

"Kakak akan jagain Narel kapanpun. Makanya Narel nggak boleh pergi ke mana-mana."

Narel tersenyum lebar sekali. "Narel nggak akan pergi ke manapun. Narel akan selalu ada sama Kak Hara,"

"Janji,"

"Janji,"

Pagi yang menenangkan. Saat dua jari kelingking itu saling menjalin, janji terucap di antara mereka. Tentang bahagia dan tak akan meninggalkan satu sama lain. Mereka yang saat itu belum menginjak sepuluh tahun tidak pernah mengira akan hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Namun mereka tidak peduli, karena bagi mereka, bahagia adalah rasa di mana mereka berpijak saat ini, bukan masa depan atau bahkan masa lalu. Hari ini milik mereka, entah untuk esok hari.

.

.

.

Mimpi Narel hanya satu. Ia ingin bahagia. Tentang rasa yang mempu membawa senyum terbit di wajahnya. Tentang lapang yang akan hinggap di hatinya. Tentang ringan yang tak akan memberatkan kepalanya. Narel tak penah berharap tentang mimpi yang lain. Adanya seluruh Nagarjuna sudah mempu membuatnya lepas dari setiap lelah yang ia miliki.

Pada enam tahun hidupnya, Narel yang masih sangat kecil hanya ingin untuk selalu berada di antara hangat keluarganya. Di antara rangkul tegas sang papa, di antara dekap hangat sang mama, dan berada dalam tangkup lembut sang kakak. Nagarjuna adalah satu-satunya tempat teraman yang ia miliki. Jika mereka taka da, Narel tak akan mampu membayangkan apa yang akan terjadi pada hidupnya. Entah, pun ia tak ingin membayangkannya.

Nagarjuna adalah tempatnya pulang. Satu-satunya rumah yang ia miliki. Kemanapun Narel pergi, ia akan pulang pada mereka. Pada sebuah kemungkinan terburuk, bahkan jika mereka yang pergi, Narel tak akan pergi. Narel akan tetap pulang pada Nagarjuna.

Namun siapapun tak akan pernah mengira tentang pilu masa yang akan datang. Bahwa pada kemungkinan terburuk yang tak ingin terbayangkan, semuanya menjadi nyata. Cahaya yang meninggalkan dan hitam yang akan mengisi hari-harinya kemudian. Tapi tetap saja, Narel tak pernah menemuka tempatnya pulang, selain pada Nagarjuna, rumahnya.

avataravatar
Next chapter