15 Serpih ke Empat Belas : MENGAPA

MENGAPA

.

.

.

Pagi hari yang tak pernah terduga nyatanya berhasil membuat hari Hara menjadi penuh sesak. Lelaki yang lebih tua dari Narel itu memilih meninggalkan kelasnya sejak pelajaran ketiganya dimulai. Ia mengucap selamat pada Narel dalam hati karena berhasil membuat harinya yang semula tenang menjadi penuh tak terkendali seperti ini.

"Selamat pagi"

Seorang gadis yang selalu menemani Hara sejak bertahun-tahun lalu menampakkan diri dengan dua kotak susu di tangan. Memberikan salah satu berperisa coklat pada Hara di hadapannya. Nara melayangkan senyuman cantik, diam-diam mencoba menenangkan sahabat baiknya yang tampak murung hari ini.

"Kenapa lagi hari ini?"

Gadis dengan rambut panjang kecoklatan itu memiringkan kepalanya. Dengan binar cantik di mata, Hara tersenyum. Sedikit banyak ia bersyukur dengan kehadiran gadis cantik di hadapannya ini. Di tengah setiap hal buruk yang ia lalui, Nara selalu ada di sisinya, menemaninya dan membuatnya merasa baik kemudian.

Tangan Hara terangkat demi mengusap helaian surai Nara yang menutupi sebagian wajahnya. Terkekeh pelan menyadari nama mereka yang terdengar begitu mirip. Sedang Nara di hadapannya tersenyum lebar kendati tak memahami mengapa Hara tertawa. Namun setidaknya Nara bersyukur karena bersamanya, Hara terlihat tidak berbohong dengan keadaannya.

"Bad as usual,"

Nara tersenyum. "Ikut gue, yuk,"

Gadis itu berdiri dengan tangan yang berusaha meraih Hara yang masih menetap di tempatnya. Meski terlihat malas-malasan, Hara akhirnya bangkit dan mengikuti langkah riang Nara di hadapannya. Senyumnya terkembang, melihat bagaimana besar usaha Nara yang ingin membuatnya kembali bahagia.

.

.

.

"Sampai, deh,"

Hara mengedarkan pandang. Mengerjap kagum dengan apa yang ia lihat kini. Mereka sampai di sebuah perpustakaan tua di ujung kota. Tempat ini menenangkan. Terlihat dari sedikitnya orang yang datang ke sana. Aroma buku tua langsung menyambut indra penciuman keduanya. Juga dengan banyaknya buku yang berjajar di sana.

Buku adalah hal yang sangat jauh dari hidup Hara selama ini. Bisa dibilang selama ini ia menganggap buku hanya sebagai pelengkap hidupnya dan ia tidak terlalu butuh hal itu. Ia hanya perlu belajar dengan mengikuti arus maka hidupnya akan baik-baik saja.

Berbeda dengan seseorang lain yang selama ini tak ia lihat keberadaannya. Meski orang itu begitu jauh dari tiap jengkal hidupnya, namun ia tahu pasti dengan cara apa orang itu bertahan hidup. Buku adalah bagaimana cara Narel untuk tetap berpijak di dunia. Dengan segala ketidakpedulian yang Hara berikan, ia tahu ketika Narel rela tak tertidur di malam hari demi bercengkrama dengan buku-buku tebal yang ia miliki.

Ah, Narel, ya.

Hara bahkan tak mengerti mengapa di tiap ketidakpedulian yang ia miliki, ia malah kembali memikirkan anak itu. Apa yang salah padanya akhir-akhir ini?

"Loh, kan, ngalamun lagi,"

Gadis itu berjalan mendahului Hara menuju salah satu rak paling dekat. Meraba permukaan buku-buku tua di sana. Senyumnya terkembang. Menikmati ketenangan yang begitu jarang ia rasakan. Kepalanya tertoleh demi menemukan Hara yang juga tengah terdiam menatapnya.

"Gue suka ke sini. Aroma buku tuanya bikin tenang dan juga di sini jarang banyak orang. Jadi lo bisa nyaman banget, tanpa gangguan apapun,"

Nara mengambil sebuah buku yang paling dekat dengan tangannya, seketika ia tersenyum lebih lebar menyadari buku itu adalah buku dongeng yang ia sukai.

"Gue nggak bisa paksa lo buat cerita apa masalah yang lagi lo rasain. Tapi lo bisa ke sini kalo misalkan lo pengen nenangin diri,"

Hara mengedarkan pandang hingga ia menemukan sebuah buku yang begitu familiar. Langkahnya tanpa sadar mendekat hingga maniknya melebar begitu ia menangkap judul yang tertera di sana.

"Saint Clare"

Tanpa sadar Hara menghela napasnya sejenak. Ingatannya kembali pada beberapa tahun lalu. Dimana hidupnya masih diliputi dengan begitu banyak kebahagiaan. Buku itu adalah satu dari banyak buku yang diceritakan sang Mama dulu. Namun buku itu adalah buku yang paling sering Mama ceritakan.

Meski berisi tentang cerita saudari kembar, Mamanya begitu menyukainya. Ia ingat sekali, ia dan Narel kecil selalu Mama ceritakan tentang itu sebagai cerita pengantar tidur mereka. Tanpa sadar maniknya memanas. Rasa rindu itu datang lagi, membuatnya sesak kemudian.

Pada satu orang lain yang selalu ada padanya, entah mengapa kini ia tak lagi merasa benci. Rasa marah itu menghilang dengan tiap kilas kisah baik yang hadir di ingatannya kini. Narel, adik kecilnya yang begitu ia sayangi.

.

.

.

Malam menjelang. Hara yang siang tadi berhasil membuat Nara panik bukan kepalang karena diamnya, kini terdiam mengendarai mobil kesayangannya menuju satu-satunya tempat yang begitu sering ia datangi ketika masalah menghampiri harinya yang suram.

Hela napasnya terdengar seiring kepalanya yang berdenyut pelan. Ia tak mengerti mengapa ia berpikir bahwa ia merindukan Narel tadi. Bukankah Narel yang telah membuat Mama pergi. Sudah sepantasnya ia membencinya, bukan? Narel bukan adiknya. Ia kini hanya seseorang yang telah menyebabkan kekacauan besar di hidupnya. Cukup itu dan ia tak ingin mengingat apapun lagi.

Ia tak harus mengasihi siapapun lagi. Sampai kapanpun itu.

Hiruk pikuk arena menjadi penyambut kala mobilnya sampai di rumah keduanya itu. Wajar dengan ia yang cukup terkenal di sini. Hara adalah salah satu racer terbaik, jadi orang-orang akan paham siapa ia.

Langkah tegasnya ia bawa mendekat pada bar dan menemui bartender sekaligus sahabat baiknya, Chris. Lelaki blasteran Indonesia-Australia itu tersenyum menyambutnya. Memberinya segelas saparila untuk pembukaan malam ini. Hara tanpa kata menenggaknya habis dan mendesis pelan setelahnya.

"Hai, King. Lo mau apa malam ini?"

"Balapan. Lagi kesel gue,"

Chris tersenyum untuk kemudian berbisik pelan sembari menyodorkan satu gelas lagi. "Ada yang nantangin lo kayaknya. Duitnya gede, lumayan,"

Seringai Hara terbit kemudian. Tanpa kata ia bangkit meninggalkan bar untuk kemudian mendekat pada arena balap yang sudah ramai dipenuhi orang-orang. Manik terangnya mendapati seorang bersurai cerah yang sepertinya menjadi lawannya malam ini.

"This is our King!"

Seseorang berteriak di antara kerumunan orang-orang. Jelas ia tangkap jika lawannya tampak merasa di rendahkan. Namun Hara tak ambil pusing akan itu. Ia hanya melanjutkan langkahnya dan memilih masuk pada mobil yang biasa ia pakai untuk balapan. Setelah lawannya turut masuk pada mobilnya sendiri, seorang wanita dengan sapu tangan berdiri di antara mobil mereka.

"Racing malam ini luar biasa! Ada Hara dan Felix di sini!"

Sorak teriakan orang-orang mengundang seringai yang belum luntur dari wajah Hara.

"Bet-nya tuan-tuan,"

Lelaki bernama Felix itu menyodorkan sebuah kunci mobil dan sebuah platinum card. Melihat itu Hara terkekeh pelan. Berpikir tentang Felix yang begitu besar kepala. Lihat saja wajah angkuhnya yang terpajang sejak matanya bersitatap dengannya. Hara menyodorkan sebuah kunci mobil Maserati bersama platinum card yang nilainya lebih tinggi daripada milik Felix. Orang-orang bersorak dengan bet yang mereka berikan.

Arena menjadi ramai tak terkendali begitu wanita wasit tadi menarik senapan angin yang ia bawa di tangan kanannya. Dua mobil mahal itu melaju bak kesetanan di arena. Saling memacu kecepatan demi memperebutkan posisi paling tinggi di arena.

Hingga tak butuh waktu lama, Dua pembalap itu tampak dari ujung jalan mengundang sorak yang lebih ramai. Pada waktu yang ditunggu semua orang, Hara berhasil mendapatkan posisi pertama. Ia keluar mobilnya dengan sambutan orang-orang yang berbahagia dengan kemenangannya malam ini.

Langkahnya mendekat pada Felix yang berjalan ke arahnya dengan wajah yang sempurna tertekuk kesal. Hara tersenyum setelah menerima platinum card dan kunci mobil anak itu. Ia tahu betul jika Felix sebenarnya hanyalah anak yang sedang melepaskan stressnya di sini. Namun, tampaknya Felix salah besar jika ia akan memenangkan permainan ini. Sebelah tangan Hara yang bebas terangkat demi mengusap surai pirang Felix, mengundang decak malas anak itu.

"Kumpulin nyali dulu kalo mau tanding sama gue,"

Mungkin Hara terlihat begitu sombong di hadapan Feliz sekarang. Namun Hara tidak peduli. Ia pemenangnya dan sampai kapanpun akan selalu begitu.

.

.

.

Malam telah sampai pada pertengahannya. Hara melangkah pelan memasuki rumahnya yang terlihat begitu senyap. Papa sedang dalam perjalanan bisnis, jadi pria itu tak akan ada di rumah dalam waktu yang lama. Napasnya terhela pelan menyadari lampu ruangan yang sudah menggelap. Narel pasti yang melakukannya. Siapa lagi, tak ada orang lain selain mereka di rumah besar ini.

Hara merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Ia ingin segera beristirahat. Namun belum genap langkahnya sampai pada bibir tangga, netranya menangkap terang yang berasal dari dapur.

Sesungguhnya ia tak ingin peduli tentang itu, namun sesuatu seperti menariknya ke sana. Langkah ragunya mendekat. Sampai sayup-sayup ia mendengar rintihan lirih. Hara ingin berhenti, namun kakinya tak ingin menurut. Hingga kala netranya behasil menangkap eksistensi seseorang lain yang ia paham betul siapa.

Di hadapan matanya Narel terlihat begitu kacau. Wajah pucatnya basah akan air mata, pun dengan rambutnya yang lepek karena keringat. Tubuh anak itu bergetar bersama rintih lirih yang teredam. Narel terlihat berusaha menyembunyikan tubuhnya, terlihat dari ia yang berusaha semakin meringkuk mendekat pada lemari dapur.

Hara mengedarkan pandangnya hingga ia menemukan banyaknya pecahan kaca yang tersebar di sekitarnya. Kernyitnya terlihat begitu ia melihat luka basah yang tersembunyi di telapak tangannya yang mencengkeram lututnya sendiri. Perban yang membalutnya bahkan terlihat kembali memerah.

Mengapa Narel terlihat begitu hancur. Apa yang terjadi?

"Narel…"

avataravatar
Next chapter