3 Serpih ke Dua : HARA

.

.

"Kirain lupa jalan pulang,"

Kata-kata yang biasa ia dengar, coba Narel abaikan. Kendati di dalam sana seperti ada yang mencubit hatinya sakit. Hara ada di sana, menyeruput kopi panas dan berkata tanpa menoleh sedikit pun. Mengehela napas pelan, Narel memilih untuk terus melangkahkan kakinya ke kamar. Lebih baik beristirahat daripada menghadapi kakaknya yang malah membuat pikirannya menjadi kacau.

Sedang di bawah sana Hara menghela napasnya kasar. Netranya beralih menatap pada bagian tangga yang baru saja di lewati adiknya. Rasa marah itu kembali hadir, ketika kilasan malam yang buruk itu mnghantui pikirannya. Selera minum kopinya mendadak sirna dan berakhir membanting gelas tak bersalah itu ke meja.

"Berhenti salahin dia, deh, Ra,"

Narayana datang bersama plushie cantik di tangan. Gadis yang seumuran dengannya itu mendudukkan dirinya di hadapan Hara yang kini balik menatapnya marah. Tapi bukannya takut, Nara hanya balik menatapnya bersama layangan senyum tipis yang cantik.

"Narel juga korban di sini, Hara. Lo jangan-"

"Kalo misalkan lo ke sini cuma bilang omong kosong, mending lo pergi,"

"Ada banyak hal yang harus bisa lo sadari, Ra. Lo nggak sakit sendirian,"

"Pergi dari rumah gue."

"Hara-"

"Pergi Narayana,"

Telak. Narayana menghela napas pelan. Hara yang tengah diselubungi emosi bukan jalan yang baik untuk dilawan. Gadis itu memilih beranjak dari sana, setelah sebelumnya mengusap bahu tegas Hara mencoba menenangkan sahabat dekatnya itu.

"Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh, ya. Gue pamit,"

Hara menatap punggung sempit Narayana yang perlahan menghilang di balik dinding. Setelah mendengar suara pintu yang tertutup, lelaki berusia delapan belas itu menghempas cangkir kopi tak bersalah di sisinya hingga menimbulkan suara keras yang menggema di rumah besar itu. Hara menelungkupkan kepalanya di meja, menggeram pelan ketika marah yang lalu kini datang menutup hatinya lagi.

"Dasar nggak guna,"

.

.

"Gue turun malam ini,"

Maseratti abu-abu milik Hara melaju di jalanan malam yang mulai sepi. Waktu telah menunjukkan hampir tengah malam dan Hara dengan kesadaran penuh mengendalikan mobilnya menuju tempat yang menjadi rumah keduanya. Setelah menghabiskan perjalanan cukup jauh, sebuah tempat yang penuh dengan hingar binger menyambut kedatangannya.

Arena Balap

Arena Balap tersebut bukanlah arena resmi. Arena ini berada di lokasi yang tidak dijamah keramaian dunia luar, juga illegal. Tidak ada peraturan, tidak ada ikatan. Semua adalah kebebasan dan jangan lupakan tentang barang taruhan yang mungkin bisa melebihi apapun.

Seringai tipis tercetak di bibir tipis Hara ketika menatap hiruk pikuk yang ditangkap sepasang netranya. Seorang lelaki dewasa bersurai pirang menghampirinya. Itu Chris, pemilik arena sekaligus bartender handal yang ketampanannya berhasil menarik perhatian semua wanita di sana.

"Here's our king!" Chris menghampiri dengan senyuman cerahnya mengetahui Hara hadir di sana.

"Udah lama banget sejak lo turun terakhir kali. What's wrong, hm? Gue yakin ada yang lagi nggak baik-baik aja, nih,"

Hara terkekeh pelan, menenggak tequila di tangan dan berdesis pelan dengan sensai yang melewati tenggorokan. Chris tahu semuanya, tentang apa yang terjadi hidupnya dan semua sebab yang membuatnya berakhir di sini. Lelaki duapuluh satu itu sudah seperti kakaknya sendiri. Juga tidak merasa keberatan ketika harus menjadi sasaran kemarahannya.

"Biarin gue turun dulu. Males gue ngomongin bocah gak guna,"

Hara membawa kakiknya pergi dari sana. Meninggalkan Chris yang menatap punggung tegapnya perlahan menghilang dibalik kerumunan arena. Chris paham betul tentang apa yang membuat Hara menjadi demikian. Sebuah kemarahan yang salah juga rasa benci yang tidak seharusnya ada telah tumbuh subur dalam hatinya yang membeku sejak lama.

"Nggak seharusnya lo simpen semua rasa itu, Ra,"

.

.

"Your gift, dude,"

Sebuah platinum card dan kunci mobil Maseratti milik Hara telah berpindah kepada seorang wanita yang menjadi wasit malam ini. Pikiran kacaunya telah berhasil menguasai hinggak Hara bahkan tak lagi peduli tentang apapun, termasuk barang taruhannya. Tapi satu hal yang membuatnya yakin malam ini bahwa ia sang raja, tak mungkin dikalahkan dalam perlombaan apapun.

Arena liar itu semakin tak terkendali ketika sang wasit menembakkan senapan angin ke udara. Menjadi sebuah tanda bahwa para pembalap liar di sana siap untuk melajukan kendaraan masing-masing. Kemarahan tak beralasan Hara membuat kecepatan yang ia picu melebihi kecepatan standarnya. Hingga tak membutuhkan waktu lama, Hara dengan senyum penuh kemenangan di wajah, untuk ke sekian kali mendapatkan apa yang tak pernah ia kejar, hadiah taruhan misalnya.

Orang-orang bersorak di hadapannya. Menyampaikan bahagia dengan menyodorkan minuman di tangan masing-masing. Kendati demikian, ada kosong yang tak pernah terisi di dalam sana. Tentang keadaan hatinya yang hanya di penuhi marah dan benci. Hara sadar tentang ia yang telah tersesat terlalu jauh dan pilihannya kini, ia tak pernah berpikir untuk mengakhirinya.

Hara dengan barang taruhan milik lawan di tangan tersenyum menghampiri Chris yang kini berada di balik bar. Menyambut hi-five Chris untuk kemudian menenggak segelas martini yang disuguhkan untuknya. Hara berdesis pelan untuk kemudian menatap Chris yang sudah lebih dulu menatapnya.

"So?"

Hara terkekeh pelan. "Lo pernah kepikiran buat ngebunuh orang nggak?"

Chris mengangkat sebelah alisnya bingung, merasa tidak menangkap maksud pertanyaan Hara barusan.

"Rasanya nggak bakal ilang karena gue liat wajahnya tiap hari. Kali-kali kalo dia mati gue nggak perlu kaya gini lagi,"

Chris mengerti. Ini tentang Narel. Saudara laki-laki Hara yang malang. Chris tahu semuanya, tentang Hara yang merasa marah pada dunia, tentang Narel yang ditinggalkan semua orang, tentang mereka yang tidak pernah menyadari bahwa mereka telah berada di kutub yang berbeda.

"Jangan bertindak gegabah, Ra. Gue nggak mau lo nyesel nantinya,"

"Selalu gitu ya jawaban lo, Chris,"

Hara terkekeh pelan. Menenggak gelas martininya yang kesekian. Lelaki itu terlihat tipsy dengan pipi yang memerah. Chris dihadapannya hanya melayangkan senyum maklum melihat betapa kacaunya Hara saat ini. Lelaki yang sudah seperti adiknya sendiri itu hanya mencari tempat untuk menjadi penunjuk arahnya ketika ia tersesat seperti sekarang ini.

"Udah, lo istirahat aja. Tidur gih di atas,"

"No. Gue balik aja,"

Dengan sedikit limbung, Hara berusaha bangkit dari sana. Melangkah pelan dengan senandung tipis di bibir dan bermain-main dengan kunci mobil di tangan. Chris di balik bar hanya melayangkan senyuman tipis sembari menatap Hara yang semakin menghilang di balik kerumunan orang di sana.

"Nyatanya lo masih peduli, Hara."

.

.

Keadaan rumah besar itu tidak pernah terasa hidup. Entah bagi siapapun yang melihat atau bahkan yang tinggal di dalamnya. Rasanya kehangatan tak pernah tertinggal lagi di sana dan mungkin tak pernah datang. Narel dengan segelas kopi di tangan menghela napas pelan sembari terdiam menatap keadaan rumah yang lebih sepi dari apapun. Jauh di dalam sana, Narel rindu, rindu sekali. Tentang hangat yang pernah singgah, juga bahagia yang pernah hadir di antara mereka. Rasanya sudah terlalu lama hingga ia bahkan lupa bagaimana rasanya.

"Rasanya udah jauh banget, Ma,"

Waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari dan Narel masih terjaga di sana. Kopi itu ia seruput pelan, sedikit usahanya untuk mengurangi kantuk juga lelah yang datang menggelayuti matanya. Dihadapannya buku-buku tebal bertebaran dengan lembaran-lembaran soal yang masih belum terpecahkan penyelesaiannya. Narel tidak akan pernah selesai sebelum seua permasalahan itu ia mampu bereskan.

Ini sudah sangat malam namun ia tahu betul bahwa Hara belum kembali sejak insiden tadi. Narel berpikiran bahwa kakaknya pasti meliar lagi, dan ia adalah penyebab terbesar mengapa kakaknya melakukan hal demikian. Narel menghela napas pelan berusaha menetralkan pikirannya yang tiba-tiba kacau. Memikirkan semua hal yang terjadi mungkin bisa membuatnya gila seketika, namun Narel mencoba untuk tetap waras, sebelum semuanya semakin berantakan.

"Masih sok sibuk, nih,"

Entah karena terlalu sibuk dengan pikirannya, Narel tidak mendengar suara jika Hara bahkan telah berada dihadapannya. Berdiri limbung dengan raut wajah paling menyebalkan yang pernah ia lihat. Narel mencoba mengabaikan kendati indra pendengarnya malah beralih menjadi begitu tajam menunggu ucapan apa yang akan kakaknya lontarkan.

"Heh, Bocah, lo bodoh atau gimana, sih, hm? Lo masih bertahan sejauh ini, tapi lo nggak pernah sadar kalo lo cuma ngelakuin hal yang nggak guna kayak gini,"

Narel mencoba mengabaikan kendati jauh di dalam sana, ada marah yang siap untuk ia ledakkan. Tapi Hara akan semakin merasa menang jika ia melontarkan jawaban atas ucapan kakaknya.

"See? Lo emang sebodoh itu, Narel," Hara dengan tawa menyebalkan berbalik pergi dari sana. Meninggalkan Narel yang masih didera emosi yang tak mungkin meledak sampai kapanpun.

Narel menatap punggung kakaknya sendu. Menyadari jika mereka pernah menjadi nafas satu sama lain sebelum gelap mengambil alih segalanya. Narel menatap sebuah gelang tali hitam di tangan kanannya, hingga sebuah memori hangat hadir di pikirannya.

"Ini buat Narel, ini buat Hara. Jangan pernah diilangin ya, Rel. Sampe kapanpun, Narel selalu punya Hara dan Hara selalu punya Narel."

"Iya, Kak,"

"Oke, janji, ya,"

"Janji,"

.

.

Pintu kamar itu tertutup pelan. Sang pemilik kamar melangkan kaki mendekati nakas di sisian tempat tidurnya. Menarik loker kecil dan menemukan sebuah gelang tali hitam yang tak pernah lagi ia kenakan. Hara terkekeh pelan, menyadari jika adiknya yang bodoh itu bahkan masih mengenakannya hingga kini. Hara menangkap ekspresi anak itu, tentang marah yang tak pernah ia dengar juga semua rasa sakit yang bahkan tak pernah ia dengar rintihannya.

Narel terlalu bodoh. Mengapa ia masih bertahan sejauh ini jika dunia bahkan tak pernah lagi menerimanya. Jika ia adalah Narel, ia mungkin memilih mengakhiri segalanya sejak dulu. Gelap kini lebih menguasai segala yang ia lihat. Tak pernah ia lihat lagi bagaimana bahagia yang dulu selalu mengiringi tiap waktu yang terlewat juga hangat yang selalu ia rasakan.

Semua sudah berubah terlalu jauh dan tak ada lagi kesempatan untuk kembali ke masa itu. Luka hatinya yang tak pernah sembuh, juga sakit yang selalu ia rasa ketika angannya kembali ke masa lalu. Bahkan ketika hatinya mencoba untuk menerima, namun ada hal lain yang tak pernah mengizinkannya untuk kembali sembuh.

"Bodoh,"

avataravatar
Next chapter