14 Trauma Pembawa Petaka

Kobaran api terlihat begitu dahsyat melahap sebuah rumah kecil di dekat pantai, berdekatan dengan hutan yang ada di selatan Logard.

Jerit tangis memecah keheningan malam yang tak berbintang. Seolah langit pun ikut berduka, awan kelam menutupi indahnya angkasa kala itu.

Seorang anak laki-laki berdiri mematung dengan mata membelalak, menatap kejadian yang terjadi begitu cepat di sana.

Neraka, yang seharusnya dijumpai hanya ketika seseorang telah melalui proses kematian, tengah dilihat oleh anak berusia 7 tahun itu. Sebuah pemandangan mengerikan yang tidak layak bagi siapapun untuk dilihat. Apalagi untuk seorang anak yang sama sekali belum menginjak usia dewasa.

Terlihat olehnya, banyak anak beragam usia tengah dirantai dan dipaksa untuk masuk ke sebuah kapal besar oleh banyak pria bersenjata yang bertindak kasar. Bagi yang menolak ataupun memberontak, langsung dibunuh seketika tanpa ampun. Berbagai siksaan keji juga terlihat oleh kedua bola mata polos miliknya.

"Ain! Lari!" pekik seorang wanita sambil menggenggam sebilah pisau berlumur darah di tangan kanannya. Seorang pria dengan senjata api terbaring di tanah bersimbah darah di dekatnya, tewas ia tikam.

Ain yang saat itu baru berusia 7 tahun tidak mengindahkan permintaan sang wanita. Kakinya terlalu lemas untuk dipakai berlari. Jangankan berlari, melangkah dari sana saja Ain tidak bisa. Tubuhnya yang begergetar hebat itu terasa begitu kaku. Kesadarannya juga sudah hampir menghilang.

Lalu datanglah beberapa orang pria menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. "Apa yang kau lakukan?!" pekik seorang pria yang mendapati temannya terbaring tak bernyawa. Dengan murka, ia menampar keras sang wanita.

"Bawa dia pergi! Kita jual dia dengan harga murah!" ucapnya penuh luapan emosi, memberi instruksi pada 2 pria yang mengikutinya.

Selepas memberi instruksi, tatapan pria itu tertuju pada Ain yang hanya terdiam dengan air mata mengalir deras. Ain tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Situasi yang tak layak disuguhkan pada anak berusia 7 tahun itu seolah membungkam mulut Ain untuk berbicara.

Pria itu menghampiri Ain, lalu memasang kalung besi yang tersambung dengan rantai di leher Ain. Dengan kasar, ia menariknya hingga Ain terseret jauh ke depan.

Melihat perlakuan keji pria itu, wanita yang tengah diboyong dengan kasar oleh 2 orang pria menjerit, memekik meminta sang pria keji untuk melepaskan Ain. Wanita itu berontak berusaha melepaskan diri.

"DIAAM!!!" Seorang pria yang mencengkram leher belakang wanita itu berteriak keras, sebelum menghantamkan gagang senjatanya pada kepala wanita itu. Darah segar mengalir dari pelipis sang wanita yang tak berdaya, dengan baju putih yang ternoda merah oleh darah.

"Iblis...." lirih wanita itu sebelum akhirnya tak sadarkan diri, diseret oleh kedua pria itu pergi ke tempat lain.

Ain hanya bisa terpaku melihat kejadian naas itu. Ia yang baru berusia 7 tahun tidak bisa melakukan apapun. Tubuh kecilnya terpaksa harus mengikuti langkah pria yang menarik rantai terikat di kalung besi itu dengan kasar, menuju ke arah kapal.

"Cepat jalan!" ucap pria kasar itu seraya menambah tenaganya, membuat Ain terjerembab di tanah untuk yang kesekian kalinya.

Kali ini tubuh Ain terasa lemas hingga tak kuasa untuk berdiri. Agak lama tubuhnya mendekap tanah, tidak dirasakan lagi tarikan kasar dari arah depan.

Merasa heran, Ain menoleh ke depan untuk melihat pria yang tengah menarik rantai yang tersambung dengan kalung besi miliknya.

Mata Ain kembali terbelalak, jantungnya berdegup kencang sekali seolah bisa menggetarkan tanah.

Ia mendapati pria yang tengah menariknya, berdiri mematung dengan kepala yang tidak lagi berada di tempat yang seharusnya. Di sebelah pria itu, ada seorang pria lain berdiri tegap dilengkapi dengan 2 bilah senjata berwarna biru terang, dengan mantel hitam dengan logo anjing berkepala 3 di bagian lengan kiri.

Pria itu menatap Ain dengan tatapan tajam, dengan mata yang berkaca-kaca. Tersirat kepedihan yang mendalam dari tatapan pria itu.

[•X-Code•]

"Aaaaaah!!!" pekik Ain keras dari dalam kokpit Trava, memecah keheningan malam di sana. Napasnya terengah-engah seolah habis berlari. Jantungnya berdegup kencang sampai membuat kedua tangannya gemetar.

Ain mengatur napasnya untuk menenangkan diri. "Mimpi itu lagi," ujarnya pelan seraya terpejam dengan alis yang berkerut.

Ia memegangi kepalanya yang terasa sakit dan terasa basah begitu ia sentuh. Awalnya Ain mengira kepalanya basah oleh keringat. Namun setelah Ain melihat telapaknya, ia mendapati bercak merah di sana. Pelipis Ain mengeluarkan darah akibat benturan sewaktu Trava itu jatuh menghantam tanah.

Untungnya Ain tidak merasa panik. Ia kembali mengatur napas untuk menenangkan diri seraya kembali mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Kemudian Ain teringat kalau ia seharusnya tidak sendirian.

"Agna?!" pikirnya panik, melihat Agna tidak ada di kursi sebelah. Ain melepas sabuk pengaman di kursinya, membuat tubuhnya terjatuh ke kaca depan. Trava itu terjatuh dengan posisi bagian depan menancap di permukaan tanah.

Ain segera keluar dari Trava. Tubuhnya lemas, kepalanya juga masih terasa sakit. Dari sekujur tubuhnya, Ain hanya merasakan sakit di bagian kepala. Ia tertolong oleh mantel Cerberus yang dikenakannya.

Dari tampilannya memang mantel itu terlihat seperti mantel berbahan kain biasa. Namun sebenarnya mantel itu menggunakan Nano-Technology sebagai bahan dasar. Selain sebagai 'perisai' yang bisa menetralisir benturan, Nano-Technology itu juga berfungsi untuk mengatur suhu.

Ain tengah berada di sebuah hutan lebat yang seharusnya membuat Ain merasa kedinginan. Tapi berkat mantel yang ia kenakan, ia malah merasa hangat.

Begitulah cara kerja Nano-Technology yang ada di mantel Cerberus. Ketika suhu di sekitar mencapai titik yang mampu membuat tubuh kedinginan, mantel tersebut akan terasa hangat. Begitu pula sebaliknya. Kalau suhu disekitar berada di titik panas tertentu, mantelnya akan memberi kesejukan bagi yang mengenakannya.

Ain merebahkan dirinya di bagian kiri Trava yang tertancap di tanah seraya mengamati sekitar. Pandangannya berlarian mencari Agna, tapi tetap tidak ia temukan di sekitar sana.

Tapi jangankan untuk mencari Agna yang hilang, ia sendiri tidak tahu ada di mana. "Di mana ini?" tanya Ain dalam hati. Kemudian Ain memejamkan matanya untuk melihat lagi peta yang ada dalam ingatannya.

Dari arah dan kecepatan Trava yang ia kendarai, juga dari keadaan sekitar, Ain bisa menarik kesimpulan di mana ia berada sekarang. "Sebuah tempat yang salah, di waktu yang kurang tepat," pikir Ain dengan wajah yang terlihat cemas.

Pemuda itu mencoba menghidupkan alat komunikasinya yang terpasang di telinga kanan untuk menghubungi markas Left Head Cerberus.

Sia-sia saja, Ain tidak mendengar apapun. Ia juga sempat menghidupkan hologram yang muncul dari benda berbentuk gelang, melingkar di pergelangan tangannya.

Hasilnya tetap nihil, hologram yang muncul terlihat kacau seperti televisi yang tak bisa menangkap sinyal dengan baik.

"Sepertinya ada medan magnet yang kuat di tempat ini," pikir Ain mengambil kesimpulan. Pantas saja Ain merasakan sensasi yang berbeda di tempat itu. Sensasi yang sama dengan ketika ia berlatih di dalam goa Gunung Khyterra.

Tempat itu bernama Hutan Hallun, masih jauh dari Left Head.

Hutan tempat ia berada itu terkenal dengan mitos-mitos yang dibicarakan dari mulut ke mulut. Makhluk-makhluk menyeramkan, sarang bandit, bahkan ada gosip yang mengatakan di sana terdapat laboratorium yang melakukan percobaan ilegal terhadap manusia.

Ain tak ambil pusing dengan kabar angin soal hutan liar, Hallun, yang tidak terjamah manusia itu. Ia harus segera menemukan Agna dan kembali ke Left Head secepatnya.

Untungnya ia pernah menjalani pelatihan di Akademi Cerberus. Ia pernah dilatih untuk melihat dalam gelap. Walaupun tidak begitu jelas, namun cukup bagi Ain untuk mengamati keadaan sekitar. Dengan cermat, ia mengamati kondisi sekitar sekaligus memulihkan tenaganya.

Setelah dirasa cukup kuat, barulah Ain beranjak untuk mencari Agna.

Kemudian Ain teringat dengan pesawat misterius yang bertabrakan dengan Trava miliknya. Ia memutuskan untuk mendatangi tempat jatuhnya pesawat itu terlebih dahulu. "Mungkin aku bisa menemukan petunjuk di sana," pikir Ain yang masih belum melihat sosok Agna di sekitar sana.

avataravatar
Next chapter