17 Simpul

Berjam-jam perjalanan sudah mereka tempuh, melewati berbagai medan yang ada di hutan tersebut.

Sebenarnya Ain bisa bergerak lebih cepat lagi, namun gaun pesta yang masih Tiash kenakan membuatnya tidak bisa bergerak cepat. Ditambah lagi, kaki gadis itu mulai terasa sakit. Ia tidak pernah berjalan sejauh itu sebelumnya.

Ain memang merasa terhambat oleh Tiash. Tapi mau bagaimanapun, tidak ada dalam benak Ain untuk meninggalkan Tiash sendirian di hutan belantara itu.

Semakin lama, langkah Tiash semakin terlihat gontai. Sebenarnya Tiash ingin beristirahat, namun ia tidak mau jadi hambatan yang lebih untuk Ain. Sampai akhirnya Tiash terjatuh, tak kuasa menahan rasa sakit di pergelangan kakinya.

Dengan cepat Tiash kembali berdiri walau sakit. Ia tidak ingin Ain menganggapnya sebagai beban, juga tidak mau merepotkan Ain dengan fisiknya yang lemah kalau dibandingkan dengan Ain.

Ain terdiam melihat Tiash yang tersenyum kecut sambil meringis, dengan tatapan yang seolah berbicara, "Aku tidak apa-apa."

Dari atas ke bawah, Ain mengamati Tiash dengan seksama.

Tatapan dingin Ain sempat membuat Tiash salah sangka. ia mengira kalau Ain berpikir dirinya lebih baik ditinggalkan.

Tentu saja Ain tidak berpikir demikian. Ia mengamati seluruh tubuh Tiash untuk mencari bagian yang bermasalah. Tatapan Ain terpaku ke pergelangan kaki Tiash yang terlihat membengkak. Kakinya juga sudah lecet akibat sepatu hak yang dikenakannya. Yah, sepatu yang seharusnya hanya dipakai untuk acara-acara resmi pastilah tidak akan nyaman kalau dipakai berjalan jauh.

Tiash merasa sedikit risih diamati dengan seksama oleh Ain. Apalagi, tatapan pemuda itu terasa begitu dingin.

Lalu Ain berbalik, memunggungi Tiash dan berjongkok. Tiash sedikit terkejut melihatnya. Ia sampai merasa bersalah telah berburuk sangka pada Ain.

"T-Tidak perlu," ujar Tiash malu-malu. Ia menganggap Ain akan menggendongnya.

Ain hanya menoleh ke belakang ke arah Tiash, sambil masih berjongkok. "Hmm," gumam Ain dengan wajah datarnya, yang kemudian kembali menghadap ke depan, menunduk ke bawah.

"B-Baiklah kalau kau memaksa… Uh…." Tiash merasa sungkan sebenarnya. Namun ia tetap berjalan perlahan mendekat ke arah Ain.

Tapi tiba-tiba saja Ain berdiri setelah mengambil sesuatu dari tanah.

Tiash terkejut dibuatnya.

Ain menoleh sebentar ke belakang, sebelum akhirnya berlari sekuat tenaga ke depan, meninggalkan Tiash sendiri, terpaku menatap Ain yang begitu cepat hilang dari pandangannya.

Perlahan padangan Tiash terasa kabur oleh air mata. Tak kuasa lagi menahan rasa kesal dan sedih, Tiash pun menangis tersedu-sedu. "Hiks... Hiks... Kak Yolaaa... Tolong aku... Hiks..." tangisnya, begitu mendapat perlakuan yang tak jelas dari Ain.

Tiash pikir, ternyata apa yang ia ketahui tentang penduduk Logard yang kasar dan egois memang benar. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan sembari terus menangis. Takut, kesal, cemas, semua jadi satu.

Tapi tidak lama ia menangis, Tiash mendengar ada yang bertanya.

"Kenapa nangis?" dalam tangisnya, Tiash mendengar suara pemuda yang baru saja meninggalkannya itu.

Tiash terkejut. Ia segera membuka telapak tangan yang tadi menutupi wajahnya. Ia melihat Ain kembali di hadapannya dengan wajah heran.

"Duduk," ujar Ain memberi perintah.

"T-Tidak usah... Hiks... Aku… masih kuat... Jadi... Jadi jangan tinggalkan aku sendiri... Aku takut... Hiks...." balas Tiash terpatah-patah, dengan masih sedikit disertai tangisnya.

Ain malah mengerutkan alisnya dengan rasa heran. Ia benar-benar tidak memahami apa yang terjadi. "Sudah, duduk. Cepat, nanti keburu malam," sekali lagi, Ain menyuruh Tiash untuk duduk.

Akhirnya Tiash mengikuti perkataan Ain. Ia duduk, lalu Ain menyuruhnya untuk meluruskan kakinya ke depan.

Tiash tidak tau apa yang akan dilakukan oleh Ain. Ia tidak sempat melihat tangan Ain yang sedari tadi menggenggam rerumputan dan dedaunan berwarna hijau kemerahan.

Ain mengunyah dedaunan tersebut, lalu mengambil kembali daun dan rumput yang sudah hancur lebur dari dalam mulutnya. Ia melepas sobekan kain yang melilit di kepalanya, lalu menempelkan dedaunan tadi di pergelangan kaki Tiash yang membengkak. Setelah itu, Ain mengikat kain tadi untuk menjaga dedaunan itu agar tetap menempel di kaki Tiash.

Tiash hanya terdiam mendapat perlakuan Ain yang sempat membuatnya salah sangka hingga menangis. Ia ingin menanyakan apa yang tengah Ain lakukan, namun ia memendam pertanyaan itu karena takut Ain akan marah atau malah membencinya karena banyak bertanya.

Seolah bisa membaca keinginan Tiash, tanpa disuruh Ain pun menjelaskan kalau dedaunan itu adalah obat untuk otot yang membengkak.

Di akademi Cerberus juga diajarkan tentang pertolongan pertama, sehingga Ain tahu jenis daun dan rumput yang bisa menjadi obat.

Namun Ain tidak menjelaskan alasannya berlari meninggalkan Tiash dengan cepat. Alasannya, karena bahan yang ia temukan di sana kurang. Sehingga Ain merasa harus bergerak cepat untuk menemukan sisa bahan lainnya. "Terlalu membuang waktu kalau harus menjelaskan terlebih dahulu," pikir Ain, sehingga tadi ia langsung saja berlari. Lagipula, Ain memang tidak suka berbicara panjang lebar.

Setelah selesai membalut pergelangan kaki Tiash, Ain kembali menyuruh Tiash untuk berdiri.

"U-Uh... Oke...." jawab Tiash seraya berusaha untuk berdiri. Kakinya memang terasa mendingan, sakitnya berkurang. Dedaunan itu terasa hangat di kaki, seperti dibalur balsem penghilang nyeri.

Lalu, apa yang dilakukan oleh Ain selanjutnya membuat Tiash terkejut bukan main. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Ain merangkul Tiash, dan membopongnya di depan.

"A-Ain?!" Tiash yang mendapat perlakuan spontan dari Ain itu merasa terkejut bukan main.

"Ya?" jawab Ain singkat tanpa menoleh ke arah Tiash. Tatapannya terfokus ke depan.

"Uh... Um... Terimakasih...." ucap Tiash pelan sambil mempererat rangkulannya pada Ain, membenamkan wajahnya yang tersipu ke bahu pemuda yang baru dikenalnya semalam.

Semakin bertambah rasa bersalahnya karena telah berburuk sangka pada Ain.

"Sepertinya... Aku sudah menemukan Xenatria-ku," pikirnya dalam hati sambil tersenyum simpul dengan hati berdebar. Ia sangat berharap Yola ada di sana saat itu untuk melihat mereka.

Setelah membopong Tiash, Ain berlari sekuat tenaga. Melalui banyak medan yang sulit dilalui seperti akar pohon raksasa, bebatuan, juga jurang kecil. Semua ia lakukan sembari membopong seorang gadis, suatu hal yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang biasa.

Hari sudah sore. Kalau tidak bergegas, mereka terpaksa harus bermalam lagi di sana.

[•X-Code•]

Hamparan padang rumput yang menjadi ujung dari hutan Hallun terlihat begitu tenang dengan terpaan angin sepoi-sepoi, membelai rerumputan yang bergoyang seirama. Ain yang masih membopong Tiash tiba di sana, tepat setelah matahari terbenam.

Sebuah siluet menarik perhatian Ain di sana. Dari kejauhan, Ain melihat seorang gadis tertidur pulas sambil bersandar ke sebuah batu yang cukup besar.

Setelah berada cukup dekat, ia terkejut mendapati gadis itu ternyata Agna.

Agna terbangun dari tidurnya begitu Ain menghampiri. "Uh... Ain!" sapanya senang.

Ain melonggarkan dekapannya, mempermudah Tiash untuk perlahan turun dari dekapan Ain.

"Apa yang kau lakukan?! Lain kali, jangan bertindak seenaknya! Merepotkan!" ujar Ain dengan cukup keras pada Agna. Memang terdengar kasar, tapi hal itu disebabkan oleh rasa khawatir Ain pada Agna.

Tapi Ain juga sebetulnya merasa senang sekaligus lega mendapati kondisi Agna yang baik-baik saja.

"Uh! Maaf! Ain! Maaf!" ucap Agna yang masih saja riang walau baru saja dimarahi Ain.

Agna seolah paham dengan perasaan Ain yang begitu mengkhawatirkan dirinya. Ia pun bergegas menghampiri Ain, lalu mencium pipi kiri Ain.

Agna merasa sangat senang dikhawatirkan oleh Ain, sekaligus merasa bersalah telah membuat Ain cemas. Ia yang tidak terlalu pandai mengucapkan kata-kata memilih untuk mengungkapkannya dengan tindakan.

"Eh?!" tentu saja Ain terkejut bukan main mendapat perlakuan spontan dari Agna. Wajahnya terlihat merah padam disertai dengan jantung yang berdegup kencang.

Wajah Tiash yang melihatnya juga ikut merona merah padam. "P-Pacarmu... A-Ain?" tanyanya dengan sedikit gugup. Jantungnya juga ikut berdegup kencang. Ada sedikit rasa cemburu dalam hatinya.

"B-Bukan," jawab Ain singkat dengan gugupnya, sambil membuang muka. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Sedangkan Agna hanya tersenyum lebar pada Ain.

"Uh... Halo? Namaku...." Tiash menghampiri Agna untuk memperkenalkan dirinya. Dan seperti biasa, Agna mengacungkan telunjuk.

"Tiash Lumina X, Queen of Elyosa Candidate. Height : 160cm, Weight : 45kg, Blood Type : O, DNA-Fighting Type... 13-Z," jelas Agna yang membuat Tiash terbelalak sekaligus kagum.

Sedangkan Ain hanya menggaruk-garuk kepala. Namun kata-kata 'Queen of Elyosa Candidate' bersarang di benak Ain.

Tiash menoleh ke arah Ain dengan raut wajah yang tak ubah dari sebelumnya, berharap mendapat penjelasan dari Ain.

Ain hanya mengangkat bahunya seraya berkata, "Ceritanya panjang."

Kemampuan Agna membuat perhatian Tiash teralihkan dari kejadian sebelumnya. Ain merasa cukup lega dengan hal itu. Kalau bisa, ia ingin semua yang ada di sana melupakan kejadian saat Agna mencium pipinya.

Tidak lama setelah itu, sebuah Trava terbang di atas mereka, lalu mendarat di tengah-tengah padang rumput dekat dari posisi mereka berada.

"Kak Ain!" pekik Vabica dengan senang, setelah ia keluar dari Trava untuk menjemput mereka.

Dengan segera, ketiga remaja itu dibawa pergi oleh Vabica kembali ke Left Head. Vabica sempat bingung melihat Tiash, namun ia tidak bertanya apapun pada Ain. Ia ingin segera membawa mereka ke Left Head secepatnya.

avataravatar
Next chapter