31 Krisis Logard, Bagian Akhir

Radar di Right Head mendeteksi sebuah kapal anti-gravitasi raksasa datang mendekat.

Ain beserta mereka yang bersedia membantunya, dengan menggunakan Trava melesat menghampiri kapal tersebut.

Kiev yang paling Ahli dalam mengemudikan Trava, menjalankan kendaraan anti-gravitasi itu dengan kecepatan maksimum menuju sebuah kapal berwarna merah, dengan bentuk yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Kapal anti-gravitasi raksasa itu berbentuk panjang, dengan persenjataan lengkap di setiap sudutnya.

Begitu Trava mereka mendekat, kapal merah itu menghentikan lajunya.

Tidak seperti kapal udara atau pesawat yang menggunakan tenaga dorong, kapal dengan teknologi Anti-Gravitasi bisa berhenti di udara, mirip dengan helikopter, bahkan lebih stabil. Dan tentu saja tanpa baling-baling.

Tanpa diduga, pintu bagian bawah kapal itu terbuka lebar, seolah mengizinkan mereka masuk.

"Apa mereka mengira kami akan menyerahkan Agna?" pikir Ain, yang langsung ia tepis. Ia tidak mau memikirkan banyak hal lain dulu.

Trava melesat masuk, menerobos beberapa pasukan Abaddon yang berjaga di pintu kapal.

Begitu keluar dari Trava, dengan segera keenam pasukan Cerberus itu mengeluarkan senjata Plasma mereka. Pasukan Abaddon yang berada di sana langsung menyerang mereka, namun mereka berhasil melumpuhkan semuanya tanpa terluka.

Akhirnya, pria itu pun muncul. Pria bermantel hitam, mantel Cerberus yang ia kenakan sedari dulu. Hanya saja, logo Cerberus tidak lagi tersemat di lengan kirinya. Sang 'otak' Abaddon, yang menjadi musuh terbesar bagi Cerberus saat itu, Grief. Ia didampingi oleh beberapa orang pasukan terkuat di Abaddon menghampiri Ain dan kelima temannya.

"Kau masuk dalam perangkapku, bocah," ujar Grief sembari menyunggingkan senyum liciknya.

"Perangkap?" pikir Ain. Namun ia merasa tidak terkejut mendengarnya. Wajar kalau orang seperti Grief sudah menyediakan beberapa perangkap untuk mereka.

"Kau sudah tahu jawaban kami, bukan? Kami tidak akan menyerahkan Agna," jawab Ain yang tidak menghiraukan perkataan Grief sebelumnya.

"Tentu saja. Aku juga tahu kalau kau ingin sekali bertarung denganku." Grief kembali tersenyum dengan tatapan tajam. Ternyata Grief bisa merasakan hawa 'ingin bertarung' yang terpancar dari raut muka Ain.

Jantung Ain berdegup kencang. Bukan karena takut, melainkan perasaan senang yang tak tertahankan. Akhirnya, keinginan untuk bertemu dan bertarung dengan Grief bisa tercapai.

Ain tersenyum lebar dengan tatapan tajam. Sebuah ekspresi yang sangat jarang ia tunjukkan. Sambil mengeluarkan senjata Plasma miliknya, ia berkata, "Ayo, kita mulai."

[•X-Code•]

Tidak seperti Ain, Grief tidak menggunakan senjata apapun. Grief ingin menguji terlebih dahulu, sejauh mana perkembangan Ain dari semenjak mereka bertemu di tenda Night Blood dulu.

Ain menyerang Grief dengan cepat. Ia melancarkan berbagai serangan, namun Grief berhasil menghindarinya.

Grief tidak berpindah tempat terlalu jauh. Ia hanya mengambil beberapa langkah kecil sembari memutar tubuhnya saat menghindari serangan Ain.

Ain menyerang ke arah kepala dari depan, namun Grief berhasil menghindarinya dengan memiringkan kepalanya ke sebelah kanan. Dengan cepat, Ain menggerakan tangannya ke samping untuk menyerang pelipis Grief yang berhasil menghindari serangan pertama.

Grief merendahkan tubuhnya, membiarkan Ain menebas angin di atas kepalanya. "Lumayan," ujar Grief pelan.

Dengan gerakan yang tak kalah cepat dari Ain, Grief melayangkan tinjunya dari bawah, tepat mengenai dagu Ain dan membuatnya terpental jauh ke atas. Begitu keras hingga Ain merasakan sakit juga pusing begitu terkena serangan Grief. Untungnya Ain sempat bersalto di udara, agar tidak terjatuh dengan posisi badan atau kepala membentur lantai.

Mereka yang ikut hadir di sana ingin membantu Ain, namun pasukan Abaddon yang mengawal Grief tadi menghalangi. Sehingga mereka sendiri punya pertarungannya masing-masing.

Berbeda dari pasukan Abaddon yang selama ini mereka kalahkan, pasukan Abaddon yang mengawal Grief punya kemampuan bela diri yang tinggi. Mereka bisa mengimbangi sepak terjang pasukan terlatih Cerberus itu. "Siapa mereka sebenarnya?" hanya itu yang terbesit di benak mereka.

"Hanya dengan satu serangan?" tanya Grief dengan nada mengejek.

"Hmm," gumam Ain yang sudah mendarat dengan kuda-kuda rendah miliknya. Ia menunjuk ke arah wajah Grief.

Grief menyentuh pipi kirinya yang ternyata tergores cukup dalam oleh senjata plasma saat Ain menyerangnya dari arah samping. Ia memang sempat menghindari serangan telak, namun kecepatannya saat menghindari serangan itu belum cukup cepat. Telat sepersekian detik saja, kepalanya bisa terpotong.

"Hahahaha! Akhirnya, ada lawan yang bisa melukaiku! Nah, saatnya bertarung dengan serius," ujar Grief yang malah terlihat puas. Tapi memang belum ada satupun musuh yang bisa melukainya selama ini.

Tidak seperti pasukan Abaddon lain yang menggunakan senjata dengan teknologi laser, Grief masih menggunakan senjata yang ia pakai ketika masih di Cerberus. Ia mengusap cincin Cerberus miliknya, lalu mengeluarkan senjata plasma, dua buah senjata berbentuk pedang dengan mata pisau di satu sisi. Pedang yang akrab dipanggil Katana. Sama seperti Ain, senjata milik Grief juga merupakan senjata 'kembar'.

Mata Ain terbelalak begitu melihat senjata plasma milik Grief.

"K-Kau!" ujar Ain dengan rasa terkejut. Ia pernah melihat senjata plasma kembar itu, sekitar 13 tahun yang lalu.

Grief tidak paham mengapa Ain bisa terkejut. Ia mengerutkan alisnya sambil mengingat-ingat lagi. Ia memang merasa pernah bertemu dengan Ain, tapi ia lupa di mana dan kapan.

"Ah! Kau bocah yang waktu itu? Hahahaha! Kau sudah tumbuh menjadi petarung yang kuat, ya?" ucap Grief yang akhirnya berhasil mengingat kembali, kapan dan di mana ia bertemu dengan Ain.

Ain tidak mengucapkan sepatah katapun. Kuda-kudanya terlihat mengendur. Kedua tangan yang asalnya berada dalam posisi siap bertarung, ia turunkan ke bawah. Sedangkan wajahnya masih menyiratkan rasa terkejut yang belum hilang.

Ternyata, pria yang ia kejar itu... Adalah pria yang menyelamatkannya dulu. Pria itu juga yang menjadi motivasi, menjadi alasan kuat bagi Ain untuk bergabung dengan Cerberus.

"Jangan lengah, bocah!" pekik Grief sembari menyabetkan katana miliknya.

Grief menyerang dari jarak beberapa meter, namun sabetan katana itu menghasilkan angin tipis dan tajam yang bisa memotong benda seolah angin itu berwujud padat.

Ain yang masih terpaku, segera melompat ke samping kiri untuk menghindari angin yang dihasilkan dari serangan Grief. Ia kembali terkejut setelah melihat serangan itu.

"Apa itu?! Teknologi?! Ah! Bukan!" pikiran Ain jadi tak karuan.

Kalau memang serangan itu dihasilkan dari teknologi persenjataan, pastilah Ain juga bisa mengeluarkan angin tersebut, mengingat Grief juga memakai senjata Plasma. "Lalu... Apa itu?!" Ain berpikir keras, berusaha menganalisa tanpa mengurangi kewaspadaannya.

Kondisi Ain yang rentan diserang sehabis menghindar dijadikan kesempatan oleh Grief. Ia melesat, lalu menghantam perut Ain dengan lututnya. Setelah itu, ia menggengam pergelangan tangan kiri Ain, lalu mengangkat dan membanting tubuh pemuda itu ke lantai dengan keras.

Sebenarnya, Grief bisa menyerang dengan menggunakan senjata plasma miliknya. Tapi entah apa alasannya, ia tidak berniat membunuh Ain saat itu.

Ain merasa sesak akibat serangan dari Grief. Tubuhnya terasa sakit. Pandangannya terasa berputar. Ia hampir kehilangan kesadaran. Beberapa kali Ain berusaha berdiri, namun rasa sakit seolah mencegahnya untuk bangkit. Perutnya mendadak terasa panas seolah membakar bagian dalam tubuhnya.

Tidak lama kemudian, muncul sebuah Trava dari pintu kapal yang terbuka lebar. Ain menoleh ke arah Trava itu, dan untuk kesekian kalinya, Ain kembali dikejutkan.

Agna melangkah keluar dari Trava itu. Agna sendiri, tanpa ada seorangpun yang mendampinginya.

Gadis itu menghampiri Ain yang masih terbaring di lantai. Ia tersenyum pada Ain, namun terlihat air mata menetes membasahi pipinya.

"Ain...." lirih Agna. Ia mengambil tangan Ain, lalu menempelkan telapak tangan Ain di pipinya. Ia menyerahkan sebuah benda kecil pada Ain, lalu berkata pelan sebelum pergi, "Ain... Jaga... Semua...."

"Agna!! Apa yang kau lakukan?!" Ain ingin menjerit seperti itu, namun ia tidak mampu. Rasa sesak dan panas yang masih ia rasakan belum lenyap dari tubuhnya.

Terlihat pula Riev, Vabica, Kiev, Marlat dan Teir menatap Agna dengan panik. Mereka memekik, menyerukan nama gadis itu. Tapi Agna tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya menoleh ke arah mereka sembari melemparkan senyuman, seolah berkata, "Aku tidak apa-apa."

Namun mereka tetap tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Mereka tidak tega melihat Agna yang tersenyum tapi kedua bola matanya terus meneteskan air mata.

Secara kompak, mereka mengambil ancang-ancang untuk melesat ke arah Agna. Namun seketika tubuh mereka semua terjerembab di tanah. Jantung mereka berdegup kencang, dengan rasa lemas yang membuat mereka tidak mampu bergerak sedikitpun.

Kejadian serupa dengan yang dialami oleh Ain ketika ia melawan Grief pada saat ujian masuk Cerberus.

"Ag...na...." ujar Ain lirih, sebelum akhirnya ia kehilangan kesadarannya.

avataravatar
Next chapter