28 Krisis Logard, Bagian #6

Butuh waktu lama bagi Tiash untuk memilih pakaian yang sesuai dengan seleranya.

Ain dan Marlat hanya bisa menunggu di luar toko sambil menyeruput kopi yang mereka beli dari kafe di dekat sana.

"Ain... Apa... Sikapku menjengkelkan?" Tiba-tiba saja Marlat menanyakan pertanyaan itu. Ada alasan mengapa ia bertanya seperti itu.

Orang-orang di Left Head acap kali tidak menghiraukannya. Padahal, Marlat terlahir sebagai keluarga bangsawan. Tapi karena sikap arogannya, Marlat tidak punya satupun teman dekat. Bahkan ketika ia masih berada dalam masa pelatihannya sebagai akademisi Cerberus, tidak ada seorangpun yang mau berbincang dengannya.

Marlat sengaja mengajukan pertanyaan itu pada Ain. Karena walaupun Ain memiliki sikap dingin dan datar, tapi Ain punya beberapa teman dekat. Selain itu juga, banyak yang mengagumi Ain. Baik dari akademisi maupun dari anggota pasukan Cerberus. Bahkan Orland, sang Maestro sekalipun ikut mengaguminya. Ia ingin mengetahui apa kesalahannya sehingga ia dijauhi.

"Iya," singkat, padat dan jelas. Ain yang tidak suka bertele-tele menjawab seadanya, sesuai dengan apa yang ia pikirkan tanpa dibuat-buat.

"Uh... Tapi! Kau juga menjengkelkan, Ain!" ujar Marlat yang malah balik menghakimi Ain.

"Lalu?" tanya Ain lagi. Ia tidak merasa kesal pada Marlat yang berkata seperti itu padanya. Ia memahami perasaan Marlat yang sebetulnya, ingin memiliki seorang teman.

Ain juga memahami, sikap arogan Marlat yang menjengkelkan bagi banyak orang itu diakibatkan oleh 'rasa ingin diperhatikan'. Makanya, Ain tidak pernah marah atau risih dengan sikap arogan Marlat. Walau memang, keangkuhan Marlat terasa cukup menjengkelkan baginya.

"Terserah kau sajalah, Ain!" Marlat yang jengkel membuang mukanya. Ingin rasanya ia bertarung dengan Ain. Tapi sudah jelas apa yang akan terjadi padanya kalau sampai ia bertarung dengan Ain.

Kemudian, di sela-sela situasi tak bersahabat antara mereka, Tiash dan Agna menghampiri dari dalam toko.

Wajah Tiash terlihat tersipu saat berhadapan dengan Ain.

"A-Ain... Uh... Aku... Aku tidak punya uang...." ujar Tiash dengan sangat pelan, dengan wajah tertunduk. Pipinya kembali merona kemerahan.

"Bayar! Agna, bayar!" Agna menarik-narik tangan Tiash. Ia bermaksud untuk membayar belanjaan Tiash.

"Tidak punya uang? Lalu... Bagaimana dia bisa membayar permintaan, yang Maestro bilang kalau permintaan itu dibayar dengan harga tinggi?" Pikiran Ain malah tertuju pada percakapannya dengan Orland beberapa waktu yang lalu.

"B-Bagaimana... Ain...? Uh...." Tiash membuang muka saat berucap pelan pada Ain untuk memastikan, apakah Ain akan membelikannya pakaian atau tidak.

Agna kembali heboh, memaksa Tiash untuk menerima traktirannya.

Entah kenapa, Tiash begitu menginginkan Ain untuk membelikannya pakaian sampai-sampai ia tidak menghiraukan tawaran Agna.

"Hm, baiklah. Sekalian juga denganmu, Agna. Aku juga akan membayar belanjaanmu," jawab Ain dengan datarnya. Ia ingin membalas kebaikan Tiash dan Agna saat mereka berada di Hallun. Tiash yang sampai rela merobek gaun mewahnya untuk membalut luka di kepalanya, serta Agna yang rela berlari semalaman demi mencari bantuan.

Agna terlihat sangat gembira, sampai mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berkata riang, "Yaaay!! Ain! Baiiiik!"

"U-Uh... Te-Terimakasih...." ujar Tiash, masih tersipu malu. Kemudian tangannya ditarik lagi oleh Agna untuk kembali ke toko, membayar pakaian yang sudah mereka pilih.

Ain beranjak dari bangku di depan toko itu. Ia menoleh ke arah Marlat yang terlihat merenung dengan wajah murung.

Ain merasa sikap Marlat bisa menghambat mereka, kalau Marlat terus-terusan murung seperti itu. Mau tidak mau, ia harus melakukan sesuatu.

"Orang akan menilaimu dari 'apa yang kau lakukan'. Bukan 'dari mana kau berasal'," ujar Ain memberi sedikit nasihat pada Marlat, sebelum akhirnya masuk ke dalam toko untuk membayar belanjaan Tiash dan Agna.

Kata-kata itu begitu sederhana, namun cukup menusuk ke dalam hati Marlat, membuat jantungnya berdegup kencang. Ia termenung dengan alis yang berkerut, memikirkan ulang perkataan Ain padanya.

[•X-Code•]

Ain menyodorkan kartu identitas Cerberus miliknya ke si penjaga toko.

Penduduk Logard tidak menggunakan kertas atau koin sebagai alat pembayaran mereka. Mata uang yang mereka pakai berupa data yang tersimpan dalam sebuah kartu, yang bisa dipakai berbelanja di manapun di Logard. Mirip dengan kartu debit, namun dikelola hanya oleh satu lembaga keuangan Logard.

Kartu hitam berlogo Cerberus yang tidak terdapat tulisan apapun itu memiliki fungsi lain selain sebagai tanda pengenal. Kartu ID Cerberus itu juga berfungsi sebagai alat pembayaran.

Anggota Cerberus digaji sesuai dengan Rank mereka. Semakin tinggi peringkat, semakin tinggi juga nilai mata uang yang mereka dapatkan. Ditambah dengan bonus yang mereka dapatkan setelah menuntaskan sebuah misi, yang jumlahnya mengikuti tingkat misi tersebut.

Di antara mereka, Ain-lah yang paling banyak memiliki uang. Oleh karena itu, bukan hal berat bagi Ain untuk membayar belanjaan kedua gadis tersebut. Tapi bagaimana dengan Marlat sang anak bangsawan? Walaupun Marlat terlahir dari keluarga bangsawan, namun ia tidak mau menerima uang dari keluarganya. Ia ingin hidup dari hasil keringatnya sendiri.

Tapi lain lagi dengan Elyosa. Mereka bahkan tidak menggunakan 'benda' apapun untuk mata uang. Para penduduk Elyosa menggunakan kode genetik yang diimplankan ke tubuh untuk nilai tukar mata uang. Dengan kata lain, 'uang' ada di dalam tubuh mereka.

Sebelumnya, Tiash yang berniat untuk membayar malah menyodorkan lengan ke penjaga kasir, dengan anggapan kalau Logard juga menggunakan teknologi yang sama dengan kota tempat ia berasal, Elyosa. Pantas saja Tiash tidak meminta Ain untuk membelikannya pakaian sedari awal.

Selesai Ain membayar, Tiash langsung mengenakan pakaian yang baru saja ia beli. Tidak seperti yang disangka, ia memilih pakaian sederhana, bukannya pakaian mewah seperti yang lumrah dikenakan oleh bangsawan.

Tiash memilih kemeja berwarna merah yang serasi dengan rok hitam panjang, juga sebuah mantel hitam yang langsung ia kenakan.

"Biar serasi sama pasukan Cerberus, hehehe," jelasnya saat melihat Ain mengerutkan alis, yang tak menyangka dirinya akan memilih pakaian itu.

[•X-Code•]

Marlat masih terdiam, dengan wajah yang menyiratkan kalau ia tengah memikirkan sesuatu.

"Ada apa, Mar?" tanya Tiash dengan suara lembutnya, memerhatikan perubahan sikap Marlat.

Tiash selalu memiringkan kepalanya saat ia bertanya, disertai wajah lugu yang ia tunjukkan ketika merasa penasaran. Sungguh manis dan menggemaskan, namun sayangnya Marlat yang masih disibukkan oleh pikirannya tidak menyadari akan hal itu.

Semenjak mereka tiba di Elarina, Marlat sibuk menceritakan seberapa hebatnya keluarga Kiere yang berperan penting dalam menjaga keamanan Zinzam. Namun kali ini, ia hanya terdiam dengan tatapan kosong dan pikiran yang melayang jauh.

"Mar?" sapa Tiash lagi.

"Tidak... Tidak apa-apa... Jadi, mau makan di mana?" ujar Marlat yang malah balik bertanya, sembari menyunggingkan senyum tawar ke arah Tiash.

"Di antara kita, kau-lah yang paling mengenal tempat ini, Mar. Kami akan mengikutimu," Tiash tersenyum manis untuk menghibur Marlat yang terlihat sedih.

Ada tatapan penyesalan terlihat di kedua mata Marlat, yang membuat Tiash merasa harus menghiburnya.

"Uh... Baiklah, aku akan membawa kalian ke tempat makan terbaik di Elarina!" ujar Marlat yang seketika berubah ceria.

Ada dua hal yang membuatnya kembali bersemangat. Pertama, saat Tiash memanggil dirinya dengan panggilan 'Mar', yang berarti Tiash sudah menganggapnya sebagai seorang teman. Kedua, ketika Tiash menyerahkan semua padanya soal mencari tempat makan. Ia merasa senang bisa diandalkan oleh mereka.

Tapi sepertinya rasa senang Marlat harus ditunda dulu saat beberapa pasukan Zinzam, juga pasukan Abaddon yang baru pertama kali mereka lihat, menghampiri dengan persenjataan lengkap.

[•X-Code•]

Sekelompok orang itu memerhatikan mantel Cerberus yang dikenakan oleh Ain, Agna dan Marlat. Awalnya mereka juga mengira Tiash anggota Cerberus dari mantel yang ia kenakan, namun setelah diperhatikan baik-baik bentuknya berbeda dengan ciri khas mantel Cerberus yang memiliki corak garis menyala, efek dari sistem Nano-Technology.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, para pasukan itu menodongkan senjata ke arah mereka. Sontak Ain langsung mengeluarkan senjata Plasma miliknya.

Saat itu merupakan saat pertama bagi Ain menggunakan senjatanya untuk bertarung.

Berbeda bentuk dari senjata rancangan yang ia pakai saat ujian masuk Cerberus, senjata plasma miliknya berbentuk dua bilah pedang pendek yang berdampingan, dengan ujung lancip dan panjang tak jauh beda dari senjata rancangan atau Prototype.

Sekilas, bentuk senjata milik Ain menyerupai garpu tala dengan jarak yang begitu dekat antara kedua sisinya.

Sepasang senjata miliknya itu menempel di punggung tangan kanan dan kirinya secara otomatis. Jumlah total mata pedang dari senjata Ain ada 4. 2 di tangan kanan dan 2 di tangan kiri.

Dengan sangat cepat, Ain melesat untuk memotong semua senjata mereka. Ia tidak menyerang tubuh para pasukan itu dengan senjata, melainkan dengan tendangan ke berbagai titik di tubuh mereka. Perut, lutut, ulu hati, leher dan kepala. Ain menendang mereka di titik-titik kelemahan tubuh, membuat mereka berhasil dilumpuhkan dalam waktu singkat.

Tiash terlihat begitu panik. Kejadian itu terlalu cepat untuk diikuti oleh gerak matanya. Gerakan cepat Ain yang secara spontan meluncurkan serangan ketika para pasukan itu menodongkan senjata, memang terlalu sulit untuk dilihat bagi orang awam.

"Agna, dia siapa?" Ain menunjuk ke seorang anggota pasukan Abaddon yang terbaring sembari merintih, menahan rasa sakit di perut. Ia baru pertama kali melihat zirah yang pria itu kenakan.

Agna melihat orang itu sebentar, lalu mengacungkan telunjuknya dan berkata, "Drois Askar, Abaddon 14th Squadron. DNA-Fighting Type..... 98-K."

"Abaddon?!" pikir Ain dengan rasa terkejut. Ia mengerutkan alisnya, pertanda kalau dirinya tengah berpikir keras.

Tidak lama Ain berpikir sampai akhirnya ia berkata, "Tiash, Agna, Marlat, kita harus pergi dari sini secepatnya."

Ketiganya tidak mengajukan pertanyaan apapun. Mereka memilih untuk mengikuti instruksi dari Ain.

Keempat pemuda-pemudi itu bergegas pergi meninggalkan area pusat perbelanjaan untuk menuju ke bagian selatan Elarina, bandara tempat kendaraan anti-gravitasi diparkirkan. Trava mereka ada di sana.

Dengan tangan gemetar dan wajah meringis menahan rasa sakit setelah dihantam oleh tendangan kuat dari Ain, seorang pasukan Abaddon mengaktifkan alat komunikasi yang terpasang di helm miliknya. Dengan lirih dan terbata-bata, ia berkata pada orang yang ia hubungi, "Di-Dia... Ada di sini... Mas... Master...."

[•X-Code•]

Ain beserta ketiga temannya hanya terbelalak melihat Trava mereka yang sudah dalam kondisi hancur ketika mereka tiba di sebuah hanggar, di Bandara Elarina.

Pasukan militer Zinzam yang bekerja sama dengan pasukan Abaddon mengepung mereka. Para pasukan itu sudah memerhitungkan pergerakan mereka. Pasukan pemburu Cerberus itu memasang perangkap di hanggar, tempat Trava mereka berada.

Ain yang terkepung puluhan pasukan militer gabungan Zinzam dan Abaddon di segala sudut hanggar, hanya bisa berdiam diri sembari bersiaga. Kalau ia hanya sendiri di sana, mungkin Ain masih bisa melawan mereka. Tapi ada Tiash yang tidak bisa bertarung sama sekali, bersama dengannya.

Kalau Ain bergerak terlalu jauh, para pasukan itu bisa melukai, bahkan membunuh Tiash. Sedangkan untuk Agna dan Marlat, Ain tidak terlalu mengkhawatirkan mereka. Mau bagaimanapun, mereka juga anggota pasukan Cerberus yang terlatih.

Kemudian seorang pasukan yang mengenakan baju zirah militer Zinzam menghampiri mereka. Ia mengacungkan senapan miliknya ke atas, lalu menarik pelatuk.

Mereka terkejut melihat peluru yang dikeluarkan senapan milik orang itu. Bukan timah, melainkan peluru plasma yang keluar dari moncong senapan.

Dua orang di antara para pasukan yang tengah mengepung mereka itu mengeluarkan senjata plasma berbentuk Scythe dan Halberd.

Ketiga orang itu mengenakan zirah seragam militer Zinzam, namun memiliki senjata Plasma. Tentu saja, mereka bukan pasukan militer Zinzam yang sesungguhnya.

Tindakan ketiga orang itu juga diikuti oleh beberapa orang yang langsung mengeluarkan senjata plasma, senjata khas pasukan Cerberus.

Melihat pergerakan aneh dari pasukan Zinzam itu, Ain tersenyum dengan perasaan lega. Ia paham apa betul yang tengah terjadi di sana.

"Ayo kita mulai," ujarnya sembari memasang kuda-kuda bertarungnya.

[•X-Code•]

Ain mulai menyerang pasukan musuh di sekitarnya. Seperti sebelumnya, ia bergerak sangat cepat sampai-sampai gerakannya susah untuk diantisipasi musuh.

Sedangkan Marlat segera merapat ke arah Tiash untuk melindungi gadis itu. Tak lupa juga ia keluarkan senjata plasma miliknya yang berbentuk tombak, untuk menangkis rentetan peluru yang melaju ke arah mereka.

Agna yang berada dekat dengan Tiash juga ikut mengeluarkan senjata miliknya. Tidak seperti saat ujian masuk yang hanya berupa jarum, senjata plasma Agna berupa busur panah.

Ternyata memang sedari awal senjata Agna itu berupa busur panah. Namun Agna hanya menggunakan anak panah saat nyawanya terancam oleh Lond, pada saat ujian masuk Cerberus berlangsung. Anak panah yang menjadi senjata Agna juga terbilang sangat kecil kalau dibandingkan dengan anak panah pada umumnya. Makanya banyak yang mengira kalau senjata Agna itu berupa jarum.

Kali ini, Agna mengeluarkan busur panah miliknya. Hanya dengan merentangkan tali busur, anak panah yang terbuat dari plasma secara otomatis keluar dari cincinnya, siap untuk melesat.

Dengan kata lain, Agna punya anak panah dengan jumlah tak terbatas. Senjata itu tergolong 'istimewa' dibandingkan dengan senjata-senjata lain, sama istimewanya dengan senjata 'kembar' yang dimiliki Ain.

Disebut istimewa karena senjata jarak jauh yang digunakan Cerberus biasanya berupa senapan atau pistol. Bentuk panah bisa dibilang sangat langka, bahkan mungkin tidak ada yang punya senjata plasma jarak jauh berupa panah di Cerberus.

Dengan bantuan para pasukan Cerberus yang menyamar sebagai pasukan militer Zinzam, Ain bisa dengan mudah mengalahkan pasukan Zinzam dan Abaddon seperti sebelumnya.

Tiash juga berhasil dilindungi dengan baik oleh Agna dan Marlat.

Lalu para pasukan Cerberus yang menyamar itu melepas zirah penyamaran mereka. Vabica, Riev, Kiev dan Teir berada di antara pasukan yang menyamar itu.

"Gerahnyaaaa!" ujar Riev sembari menyisir rambutnya yang acak-acakan sehabis memakai helm pasukan Zinzam dengan jemarinya. Kemudian ia menghampiri Ain.

"Yo! Kau tidak apa-apa, 'kan?" tanya Riev yang hanya sekedar basa-basi. Bisa terlihat dengan jelas kalau Ain tidak mengalami luka sedikitpun.

Ain mengangguk untuk menjawab.

Lalu Teir ikut menghampiri Ain di sana. "Ain, aku Teir dari Centra Head. Kami butuh bantuanmu," ujar Teir.

"Terimakasih Teir. Aku akan membantu sebisaku."

Ain ingat dengan nama 'Teir'. Ia pernah mendengar nama itu dari Vabica saat ia baru saja menuntaskan ujian masuknya.

"Kita tidak bisa kembali ke cabang masing-masing. Aku sudah menghubungi markas untuk meminta bantuan, tapi ternyata pasukan Abaddon sudah menguasai wilayah udara Zinzam. Trava tidak bisa kita gunakan. Markas tidak bisa berbuat apa-apa karena kita berada di wilayah Zinzam," ujar Teir yang melihat Ain tengah berpikir keras di sana.

"Jadi, Zinzam bekerja sama dengan Abaddon? Dilihat dari pergerakan mereka, target mereka yang sebenarnya adalah Cerberus. Lalu satu-satunya pilihan yang tersedia untuk kita hanyalah menyelinap sampai ke Right Head, cabang Cerberus terdekat dari sini. Tentu saja, kita harus menggunakan jalur darat. Jadi... Apa yang bisa kulakukan?" jawab Ain, membeberkan hasil analisanya, yang entah ke berapa kalinya, tepat sasaran.

Teir berdecak kagum. "Ain, ketenaranmu bukan hanya isapan jempol belaka," ujarnya dengan rasa kagum yang tidak dibuat-buat.

"Huh?" Ain merasa heran dengan perkataan Teir. Ia memang tidak memedulikan soal ketenaran atau apapun itu. Sampai-sampai, ia sendiri tidak tahu kalau namanya sudah dikenal banyak orang di Cerberus, bahkan para Omega mulai meliriknya.

"Jadi, apa rencanamu?" tanya Ain lagi yang masih belum mendapat jawaban dari Teir.

"Ah, maaf-maaf. Aku lupa, kau orang yang tidak suka bertele-tele. Oke, kita akan menggunakan mobil militer Zinzam yang sudah kurampas sebelumnya. Aku butuh bantuanmu untuk ikut bertarung sampai kita tiba di Right Head dengan selamat.

Nah, kita hanya bergerak ketika siang saja. Para pasukan Zinzam atau Abaddon pasti mengira kita bergerak di malam hari, untuk itu... Malam hari kita pakai untuk bersembunyi.

Butuh waktu beberapa hari menuju Right Head lewat jalur darat, lebih baik kita bergegas," jelas Teir secara rinci.

Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menyelinap keluar dari Elarina, ke sebuah gudang tak terpakai, cukup dekat dari gerbang kota. Di sanalah tempat mobil yang dimaksud oleh Teir berada.

Ada 2 mobil militer Zinzam yang siap dipakai. Mobil pertama diisi oleh Teir dan pasukan Cerberus lain yang bertahan hidup.

Sedangkan mobil yang satunya, yang memiliki bentuk lebih kecil dari yang sebelumnya, diisi oleh Ain, Riev, Kiev, Vabica, Agna, Tiash dan juga Marlat.

Mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu, karena mereka akan mulai bergerak ketika fajar mulai menyingsing.

avataravatar
Next chapter