41 Khy

Sensor yang terpasang di permukaan gunung Khyterra menangkap seberkas sinar lembut dari matahari yang baru saja terbit. Sensor itu mengirimkan gelombang jauh ke dalam, ke tempat Dinukha berada.

Sistem pengatur cuaca alam yang terpasang di bagian atas Dinukha mulai bekerja. Alat yang telah menerima pesan berupa gelombang dari sensor itu, mulai mengeluarkan sinar matahari, mengatur suhu dan kelembaban udara, juga memutar simulasi langit saat pagi hari di Dinukha.

Ain, Riev dan Kiev yang baru saja terbangun sempat merasa terkejut melihat kondisi Dinukha pagi itu. Mereka hampir tidak bisa membedakan suasana di sana dengan suasana di permukaan saat ketiganya keluar dari rumah untuk menikmati udara pagi. "Teknologi yang luar biasa," pikir mereka.

Banyak anak-anak tengah bermain dan berlatih di sana. Beberapa dari penduduk Dinukha yang sebaya, menghampiri begitu melihat ketiganya keluar dari rumah.

"Kak Ain!" Tiga orang remaja berlari dengan cepat, menghampiri Ain yang masih berdiri di halaman rumah bersama Riev dan Kiev.

Ain tersenyum melihat mereka. Ia mengenal ketiga pemuda-pemudi yang menghampirinya di sana.

"Siapa mereka, Ain?" tanya Riev yang memerhatikan dengan seksama. Ketiga orang itu terlihat begitu senang melihat Ain.

"Mereka saudara-saudaraku saat di panti asuhan dulu," jawab Ain sambil menghampiri ketiganya.

Ain tersenyum pada mereka, dengan senyuman tulus yang benar-benar berasal dari lubuk hati terdalamnya. Ia merasa begitu lega melihat mereka bisa bertahan hidup.

Mereka yang selamat dari penyerangan di panti asuhan 13 tahun yang lalu, berhasil disembunyikan keberadaannya oleh Grief. Mungkin, Dinukha-lah satu-satunya tempat yang paling aman untuk mereka saat ini.

"Aku tidak menyangka bisa berjumpa denganmu lagi, kak!" ucap seorang gadis dengan riang. Rambut pirangnya yang terurai sebahu dengan beberapa hiasan rambut di kepala, memperelok parasnya untuk dilihat.

"Hahaha! Begitu mendengar kau datang ke sini, semalaman aku tidak bisa tidur!" sambung seorang lelaki yang berbadan besar dan terlihat seumuran dengan Ain, sambil menyunggingkan senyum lebar pada Ain.

"Aku juga tidak menyangka bisa bertemu dengan kalian di sini, Viria, Chall, dan... Sylia," jawab Ain sambil menatap ketiganya secara bergantian. Ia melihat Sylia, seorang gadis yang berusia lebih muda beberapa tahun darinya tertunduk malu. Gadis itu mengenakan syal merah yang melingkar di leher sampai menutupi mulutnya.

Kemudian Ain memperkenalkan Riev dan Kiev pada mereka. Ia mengatakan kalau Riev dan Kiev adalah sahabat, yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri.

"Uh... Vabica ikut tidak?" Viria celingukan mencari Vabica.

"Tidak, dia tidak ikut. Tenang saja, dia ada di tempat aman. Dia sudah menjadi petarung yang kuat sekarang," jawab Ain sambil kembali melirik ke arah Sylia yang berdiri di belakang.

"Hmm... Begitu, ya? Syukurlah kalau begitu! Hehehe. Aku senang, kakak tidak berubah," Viria menyunggingkan senyumnya pada Ain.

Viria, Chall dan Sylia tidak pernah bertemu lagi dengan Ain semenjak peristiwa naas yang terjadi 13 tahun yang lalu. Makanya, mereka tidak mengetahui kalau sebenarnya Ain sempat berubah drastis.

"Sebenarnya kami ingin berbincang lebih lama lagi denganmu, Ain. Tapi, Master Rha sudah menunggumu," ujar Chall sembari mengacungkan jempolnya.

Ain mengangguk. Kemudian ia mengajak Riev dan Kiev untuk bergegas menuju tempat yang ditunjuk oleh Chall. Sebuah tempat yang dekat dengan monolith hitam di tengah desa Dinukha.

Sejenak Ain menghentikan langkahnya saat berada di hadapan Sylia, yang sedari awal hanya terdiam, berdiri agak jauh di belakang Viria dan Chall.

Ain mengusap kepala Sylia, membuat rambut pirang miliknya sedikit acak-acakan.

Sylia tersipu merasakan telapak tangan Ain yang hangat mengusap kepalanya. Ia melirik ke atas untuk melihat wajah Ain yang tersenyum lebar padanya.

"Ha-Halo kak...." sapa Sylia, yang malah membuang muka dengan pipi merah merona tersipu malu.

"Halo, Sylia. Kau terlihat lebih kuat ya, sekarang?" puji Ain membalas sapaan dari Sylia, yang semakin membuat gadis itu tersipu malu.

Viria yang merupakan kakak kandung dari Sylia, tertawa kecil memerhatikan tingkah lucu adiknya itu.

Usai menyapa Sylia, Ain beserta Riev dan Kiev bergegas menemui Rha.

"Semangat kak!" Viria melambaikan tangan pada ketiga pemuda yang akan menjalani pelatihan keras itu.

[•X-Code•]

Sepanjang jalan, Riev dan Kiev melihat para penduduk desa Dinukha tengah melakukan berbagai aktivitas. Beberapa penduduk yang mengenal Ain melambai padanya dari kejauhan. Mereka juga sempat bertemu dengan Luna yang juga melambaikan tangannya dengan riang sambil bersorak menyemangati.

Ada yang membuat mereka kagum di sana. Para penduduk Dinukha bisa melakukan hal-hal yang menurut mereka, sangat tidak masuk akal. Seperti mengeluarkan api dari telapak tangan, mengubah wujud menjadi hewan, dan kemampuan-kemampuan unik lainnya.

"Seperti yang sudah kujelaskan kemarin, anak-anak di sini adalah anak-anak yang memiliki kemampuan khusus. Ada yang memang terlahir dengan kemampuan unik lalu dibuang oleh orang tuanya karena takut, ada juga yang diculik lalu dijadikan bahan percobaan sehingga bisa memiliki kemampuan sebelum akhirnya di bawa ke sini. Tapi yang paling menyedihkan, bahkan ada yang terlahir di dunia tanpa orang tua. Mereka yang terlahir dari hasil rekayasa genetik. Dalam arti lain, manusia buatan." Wajah Ain terlihat sedih ketika menjelaskan hal tersebut pada Riev dan Kiev.

Timbul pertanyaan di benak Riev dan Kiev, "Kau sendiri bagaimana, Ain? Kau yang mana?" Tapi mereka tidak menanyakannya. Mereka takut pertanyaan itu akan menyakiti perasaan Ain.

Siapapun Ain, bagi keduanya ia adalah sahabat yang sudah seperti saudara kandung mereka sendiri. Tidak peduli seperti apa jati diri Ain yang sebenarnya.

Agak lama mereka berjalan sambil mengamati suasana, akhirnya ketiganya sampai di tengah desa Dinukha, di mana monolith hitam itu berada.

"Akhirnya kalian datang juga." Rha bersama dengan Zaina dan Elanor, anak yang sempat menyerang Ain kemarin, sudah menunggu di sana.

Mereka bertemu di sebuah lapangan kecil, yang ditengah-tengahnya terdapat monolith hitam itu.

Tanpa membuang waktu, Rha menjelaskan pada mereka tentang 'Khy' yang akan mereka pelajari.

Seperti yang diketahui, sumber energi manusia berasal dari sel yang bernama mitokondria. Sel mitokondria sendiri terdapat di dalam setiap sel tubuh, berjumlah ribuan sampai ratusan ribu dalam satu selnya.

Ada teori yang mengatakan kalau 1 Centimeter kubik sel mitokondria, atau sebesar dadu, bisa menghasilkan tegangan listrik sebesar 100.000 volt.

Hanya saja, hampir semua orang tidak bisa memanfaatkan akselerasi mitokondria tersebut dengan baik.

Energi yang dihasilkan oleh mitokondria yang diakselerasikan dengan metode tertentu inilah, yang disebut dengan 'Khy'.

Mereka beruntung bisa berlatih untuk mengakselerasikan sel mitokondria, dekat monolith hitam yang ada di sana.

Rha menjelaskan pada mereka, kalau monolith itu mengeluarkan radiasi yang puluhan kali lebih kuat dari uranium. Radiasi tersebut aman buat tubuh, malah akan membantu peningkatan kinerja mitokondria.

Terakhir, Rha menjelaskan kalau fisik mereka juga harus diperkuat lagi dengan latihan ekstrem. Hal itu harus mereka lakukan karena tingkat penguasaan Khy mengikuti tingkat kekuatan fisiknya.

Singkatnya, fisik bisa digambarkan sebagai sebuah wadah. Sedangkan Khy, diandaikan sebagai air yang mengisinya. Semakin besar wadahnya, semakin banyak pula air yang bisa ditampung.

Setelah ketiga pemuda itu memahami penjelasan singkat dari Rha, barulah mereka memulai latihannya.

Ketiga pemuda itu berlatih secara terpisah. Riev dilatih oleh Elanor, Kiev dilatih oleh Zaina. Sedangkan Ain dilatih secara langsung oleh Rha.

[•X-Code•]

Ain dan Rha berada di sisi utara Dinukha, sebuah lapang terbuka yang dekat dengan hutan buatan.

Sebelum mulai latihan, Rha mendemonstrasikan dulu apa yang bisa dilakukan oleh Khy, agar Ain bisa memahami betul tentang penggunaannya.

Rha menghampiri sebuah batu cadas atau batu alami yang biasanya ada di pegunungan. Besar batu itu menyamai seekor gajah dewasa. Kemudian ia menyuruh Ain untuk menjaga jarak darinya.

Lalu, Rha menyentuh batu itu dengan telapak tangan kanannya.

Wuus!

Dalam waktu sekejap, batu itu hancur lebur, berubah wujud menjadi butiran debu yang terbang terbawa angin.

Ain terhenyak melihatnya, sampai-sampai ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tidak menyangka kalau ternyata Khy bisa sehebat itu.

"Untuk bisa melakukan yang tadi, kau harus berlatih selama bertahun-tahun, Ain," jelas Rha sembari kembali menghampiri Ain yang masih terdiam dengan mata yang terbelalak.

Pria tua itu menjelaskan, kalau tadi hanyalah salah satu wujud dari penggunaan Khy. Energi yang dihasilkan dari akselerasi sel mitokondria itu bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, mengingat sifat energi yang tidak terbatas ruang dan waktu.

Kalau diakselerasikan di kelenjar pituitari, akan meningkatkan 'kepekaan'. Kalau diakselerasikan di sumsum tulang belakang, maka akan meningkatkan 'reflek' tubuh. Dan banyak lagi penggunaan Khy yang lain, termasuk untuk pemulihan.

Tapi untuk saat ini, Ain akan diajarkan bagaimana caranya mengendalikan akselerasi mitokondria dengan lebih baik lagi. Setelah itu, barulah Ain bisa menggunakan Khy tersebut untuk banyak hal.

Dari penjelasan itu, Ain mendapat jawaban soal kemampuan Grief.

Di pertarungannya dengan Grief, Ain sempat melihat serangan Grief yang bisa memotong benda dari jarak jauh. Juga soal kemampuan Grief untuk melumpuhkan syaraf tubuh, yang ternyata merupakan salah satu bentuk penggunaan Khy.

Rha membenarkan hal itu. Ia juga memang berniat melatih Ain supaya bisa menangkal kemampuan Grief tersebut.

"Aku akan membangkitkan monster yang tertidur di dalam dirimu, Ain. Bersiaplah!"

avataravatar
Next chapter