21 Kebangkitan Abaddon

Di Elevator yang tengah menuju lobi, Tiash melompat ke depan Ain sembari membungkukan badan namun wajahnya menghadap ke atas menatap Ain dengan tatapan kagum.

"A~Iin!" ucapnya genit dengan wajah menggemaskan.

Ain hanya melirik sedikit ke arah Tiash. "Apa lagi sekarang?" pikirnya dalam hati.

"Hm?" Jawab Ain singkat, berharap tidak ada hal merepotkan lagi untuknya.

"Ih! Senyum dikit dong~" pinta Tiash dengan manja.

Namun tentu saja Ain tidak mengabulkan permintaan Tiash. Ia malah bertanya dengan singkat, "Ada apa?"

"Jadi Xenatria-ku, ya?? Ya? Ya?" rengek Tiash sembari melemparkan senyumnya pada Ain dengan kepala yang dimiringkan ke kiri.

"Xenatria?" Tanya Ain singkat dengan sebelah alis yang terangkat.

"Yaaaay! Ain! Xenatria! Agna, Xenatria! Tiash!" Agna ikut berkomentar dengan riang sembari mengangkat kedua tangannya, dengan kalimat yang terdengar seperti anak balita yang baru belajar berbicara.

Sebelumnya Tiash memang pernah bercerita soal Xenatria pada Agna dan Vabica ketika mereka tengah bertukar cerita di perpustakaan beberapa saat yang lalu.

"Uh... Hehe," Tiash menjulurkan sedikit lidahnya sembari menggaruk kepalanya. Ia merasa malu sendiri sudah meminta Ain untuk menjadi Xenatria baginya secara mendadak dan terang-terangan. Bahkan ia sampai lupa kalau Ain belum tahu soal tradisi Elyosa tentang Xenatria.

Namun itu terjadi begitu spontan karena Tiash begitu menginginkan Ain untuk menjadi Xenatria baginya.

Tak terasa pintu Elevator pun terbuka. Terlihat dari kejauhan Heim sedang duduk di sofa lobi utama.

Selain Heim, Marlat yang terlihat jengkel juga ada di sana.

"Nah! Akhirnya! Aku sampai berkeliling mencari kalian!" ujar Marlat dengan kesal pada Ain dan Agna ketika mereka menghampirinya.

Namun begitu ia melihat Tiash, sikapnya mendadak berubah.

Marlat membungkukan badannya sembari memperkenalkan diri, lalu mengarahkan tangannya ke arah Tiash seraya berkata, "Aku yang akan mengawalmu, yang mulia."

Memang seperti itulah sikap ketika berhadapan dengan seorang putri bangsawan. Wajarnya, wanita bangsawan yang mendapat perlakuan tersebut akan menyambut tangan dari sang pemberi hormat untuk kemudian dicium tangannya oleh yang memberi hormat.

"Ain, itu pria yang kau cari?" tanya Tiash sembari menunjuk ke arah Heim yang melambaikan tangan pada mereka, tidak menghiraukan Marlat.

Tentu saja Tiash tidak menyukai diperlakukan seperti itu. Ia sudah merasa senang berada di sana, di tempat yang memperlakukannya secara wajar layaknya seorang 'teman', bukan sebagai seorang bangsawan yang selalu diperlakukan secara khusus.

"Yang mulia?" tanya Marlat heran tanpa merubah posisinya, berdiri membungkuk dengan wajah menghadap ke depan serta tangan yang masih ia sodorkan ke depan.

"Ya," jawab Ain singkat. Dengan segera ia menghampiri Heim, diikuti oleh Tiash dan Agna dari belakang.

Sedangkan Marlat hanya terdiam dengan posisi yang tak ubah dari sebelumnya. "H-Huh...?" Marlat merasa heran sendiri.

Beberapa saat kemudian, terdengar panggilan untuk Riev dan Vabica agar segera menuju ke ruang Maestro.

"Apa ada kaitannya dengan pria yang tadi kulihat di resepsionis?" pikir Ain, mendengar panggilan melalui interkom tersebut.

[•X-Code•]

Vabica, Riev, dan Kiev yang baru saja dijemput dari Centra Head segera menuju lembah Kurila, yang menjadi wilayah perbatasan Rovan dengan Zinzam.

Betul apa yang diperkirakan oleh Ain. Pria yang ia lihat di resepsionis adalah utusan dari Zinzam yang ingin merekrut pasukan Cerberus untuk menjaga perbatasan.

Memang ada peraturan yang melarang pasukan Cerberus untuk ikut campur terhadap apa yang tengah terjadi di Rovan, tapi tidak ada larangan untuk membantu Zinzam ataupun Munkan melindungi wilayah mereka dari serangan Abaddon.

Sebelum itu juga, Zinzam sudah merekrut banyak pasukan Cerberus dari Right dan Centra Head untuk membantu pasukan Zinzam menjaga perbatasan.

Sedangkan dari Left Head yang terkenal dengan kekuatan tempur para pasukannya, Zinzam meminta beberapa orang terkuat untuk mengawal secara khusus keluarga bangsawan yang ikut terjun untuk mengamati perbatasan.

Left Head Cerberus memang memiliki kualitas bertempur terbaik untuk pasukannya. Tapi jumlah anggota pasukan di sana termasuk sedikit kalau dibandingkan dengan Right dan Centra Head. Ditambah lagi, anggota yang memenuhi kualifikasi untuk mengemban tugas itu hanya tersisa tiga orang. Heim, Vabica dan Riev.

Heim yang baru saja selesai menuntaskan tugas khusus tengah diberi waktu senggang untuk beristirahat. Sehingga pilihan hanya tertuju pada Vabica dan Riev.

Saat itu Riev memang berada di Rank D pasukan Cerberus. Tapi sebenarnya kemampuan bertarungnya tidak bisa diragukan lagi.

Orland juga mengakui kekuatan bertempur Riev, makanya ia tetap memilih Riev untuk menjalankan misi yang memiliki tingkat B.

Karena Cerberus bergerak secara kelompok yang berisikan anggota 3 orang, terpaksa Orland harus meminta Kiev yang berasal dari Centra Head untuk ikut serta dalam misi tersebut.

Riev-lah yang menyarankan pada Orland agar memilih Kiev sebagai orang ketiga dalam kelompoknya. Kebetulan Kiev tidak sedang menjalankan sebuah misi.

Riev tahu betul seperti apa kemampuan saudara kembarnya itu yang ia rasa, akan sangat membantu dalam menjalankan misi kali ini.

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam lamanya, tibalah mereka di tempat tujuan. Dari dalam Trava mereka melihat kota Wourv yang berada paling luar di wilayah Rovan, dekat dengan perbatasan. Kota itu merupakan kota terjauh yang ada di ujung selatan wilayah Rovan.

Kepulan asap terlihat dari berbagai titik di kota tersebut. Selain itu juga, banyak pesawat anti-gravitasi milik kelompok Abaddon yang menghujani kota itu dengan tembakan.

"Pantas saja Zinzam merekrut banyak pasukan Cerberus untuk menjaga perbatasan," pikir Riev yang telah melihat secara langsung situasi di sana.

Tinggal beberapa kota lagi sebelum Grief dan pasukan Abaddon-nya menguasai seluruh wilayah Rovan.

Dilihat dari kondisinya, tidak butuh waktu lama bagi kelompok Abaddon untuk menguasai kota tersebut.

Mereka teringat akan pernyataan yang Grief lontarkan. Setelah Abaddon menguasai seluruh wilayah Rovan, Grief akan memulai invasinya ke seluruh daratan Logard.

Ketiga anggota Cerberus itu tak habis pikir. Bagaimana bisa, Grief punya pasukan dengan jumlah banyak dan kekuatan besar sehingga bisa menginvasi Rovan yang terkenal dengan kekuatan para pasukannya, hanya dalam waktu yang singkat?

Setelah mendaratkan Trava mereka di atap markas pasukan penjaga perbatasan Zinzam, ketiga anggota Cerberus itu segera melapor ke dalam untuk menjalankan misi mereka sebagai pengawal pribadi.

Jantung mereka berdegub kencang begitu mendengar ledakan demi ledakan menggelegar dari kejauhan, menggema keras di angkasa. Meski demikian, sebagai anggota pasukan Cerberus mereka harus tetap bersikap tenang.

avataravatar
Next chapter