60 Jatuhnya Sang Pemusnah, Bagian Akhir

Akibat hantaman dari Ragoji, bagian bawah Agrrav terkena dampak kerusakan yang cukup parah. Kapal induk Abaddon itu tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Bunyi alarm tanda darurat terdengar di setiap sudut.

Selain bunyi alarm tanda darurat yang begitu nyaring terdengar, raungan keras Ragoji yang menggetarkan Agrrav juga kembali terdengar.

Ragoji yang membentur Agrrav dengan keras sampai mengubah posisi kapal induk itu, terbang ke bagian depan Agrrav, tepat di luar jendela ruangan di mana Ain berada.

Bisa dipastikan kalau Ragoji dalam kondisi murka. Ain bisa melihat dengan jelas mulut Ragoji yang terbuka, bersiap menyerang Agrrav.

Dengan cepat, Ain menghancurkan kaca yang terdapat di bagian depan Agrrav itu, lalu keluar melalui jendela tersebut untuk mendekat ke arah Ragoji.

Ragoji yang terlihat murka, mendadak tenang sembari terbang perlahan, mendekat ke arah Ain.

Grief, Agna dan Ive terhenyak melihat kejadian menakjubkan yang tengah terjadi di hadapan mereka. Keduanya terkejut melihat keganasan Ragoji yang langsung sirna begitu saja saat berhadapan dengan Ain.

Begitu Ragoji berada di hadapan Ain, naga hitam yang besarnya seperempat dari Agrrav itu menundukkan kepala.

Ain mengusap kepala Ragoji seraya tersenyum lega.

Grief masih tidak percaya melihatnya. Tapi dibalik itu, sebuah keyakinan baru muncul dari lubuk hati terdalamnya. Keyakinan bahwa, memang Ain-lah sang 'Utusan Perdamaian'.

Kiev yang mengamati kejadian takluknya Ragoji di hadapan Ain, menghela napas panjangnya dengan rasa lega yang tak terlukiskan. Ia sangat bersyukur melihat rencana Ain bisa berhasil dengan baik. Tidak sia-sia ia mempertaruhkan nyawa dengan menjadi umpan untuk membawa Ragoji ke sana sebelumnya.

Riev yang baru saja keluar dari pesawat darurat milik pasukan Abaddon segera menengadahkan kepalanya ke atas, tempat Agrrav melayang sambil bergetar hebat. Ia juga bisa bernapas lega setelah mendengar kabar dari Kiev kalau rencana mereka berhasil.

Kedua saudara kembar itu masih tidak menyangka kalau Ain bisa menaklukkan Ragoji, sama seperti ketika mereka mengambil Logardium.

[•X-Code•]

Saat itu, mereka yang terkurung di dalam tanah tengah dalam kondisi terdesak akibat kemunculan Ragoji.

Beberapa kali mereka mencoba menyerang Ragoji dengan berbagai cara, namun semuanya nihil. Serangan mereka tidak berarti apapun bagi kulit bersisik Ragoji yang sangat kuat.

Di sana Ain melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh Riev dan Kiev. Pola serangan Ragoji, terlihat ada yang janggal baginya.

Ragoji hanya bergerak sedikit ketika menyerang. Padahal kalau Ragoji menyerang mereka dengan kekuatan penuhnya, sudah bisa dipastikan kalau mereka bertiga tidak akan bisa keluar dengan selamat dari tempat itu.

Serangan-serangan Ragoji malah tidak terlihat seperti sebuah 'serangan'. Lebih terlihat seperti seseorang yang mengibaskan tangan untuk mengusir lalat yang terbang mengganggu di sekitar wajah.

Selain itu, Ain juga merasa janggal tentang ujian tersebut. Rha tidak mungkin mengutus mereka begitu saja; berhadapan dengan Ragoji yang memiliki kekuatan dahsyat. Tidak mungkin Rha mengutus mereka, hanya untuk membuang nyawa. Begitulah isi pikiran Ain.

Ain berusaha memutar otak untuk mengingat-ingat lagi apa saja yang ia pelajari dari Rha, sampai akhirnya ia menyadari sesuatu.

Rha pernah mengajarkan padanya tentang 'Gelombang Pikiran'. Sebenarnya, bukan hanya manusia yang punya gelombang pikiran. Hewan bahkan tumbuhan juga punya. Mereka juga berkomunikasi dengan cara yang berbeda. Hanya saja, frekuensi yang dikeluarkan dari hewan dan tumbuhan tidak sekuat gelombang pikiran manusia. Jenisnya juga berbeda.

Rha juga sempat mengajarkan Ain caranya bersatu dengan alam agar pikirannya bisa membaca 'keinginan alam'.

Berbekal pelajaran dari Rha itu, Ain melangkah perlahan mendekat ke arah Ragoji.

"Apa yang kau lakukan, Ain?!" Riev hendak mencegah Ain saat itu.

Namun Ain malah menyuruh kedua sahabatnya untuk tetap bersembunyi di balik bongkahan Logardium.

Ain mengatur napasnya, memfokuskan Khy miliknya di kepala. Ia 'membuka' gelombang pikirannya.

Dengan perasaan yang sangat tenang, Ain mulai mencoba untuk berkomunikasi dengan dengan naga itu. Ia mengirim pesan pada Ragoji bahwa mereka ada di situ, bukan untuk mengusik ketenangannya. Mereka hanya berniat untuk mengambil sedikit Logardium.

Ragoji terdiam setelah Ain mengirimkan pesan melalui gelombang pikirannya itu.

Tak lama setelah itu, Ragoji meraung keras, lalu membuka mulutnya dengan lebar.

Terlihat dari dalam mulutnya seberkas cahaya biru menyilaukan. Lalu Ragoji menembakan cahaya itu ke arah bebatuan yang menghalangi pintu masuk mereka.

Bebatuan itu hancur, membuka kembali jalan mereka untuk pulang. Sedangkan Ragoji sendiri kembali masuk ke dalam tanah, menghilang dari pandangan mereka.

Riev dan Kiev bertanya tentang apa yang terjadi. Ain menjelaskan semua pada mereka, walau ia sendiri merasa tidak yakin. Tapi kalau melihat apa yang terjadi barusan, mungkin saja hal itu bisa terjadi. Ain mampu berkomunikasi dengan Ragoji.

Kejadian itulah yang membuat Ain memasukkan Ragoji ke dalam rencana miliknya. Sebuah rencana yang memiliki resiko tinggi.

Sebelum berangkat ke medan perang, ketiga pemuda itu mengunjungi Ragoji terlebih dahulu. Mereka sengaja 'mengganggu' Ragoji dengan cara menembakkan senjata dari Hecantor ke mulut Goa.

Ragoji yang murka mengejar mereka sampai ke atas awan, tapi mereka berhasil meloloskan diri. Selama itulah Ragoji terbang melesat di atas awan, mencari sang 'pengganggu'.

Setelah itu, tinggal menunggu waktu yang tepat, sampai akhirnya Kiev menampakkan wujud Hecantor di hadapan Ragoji untuk memancingnya turun.

Seandainya gagal, Kiev bisa tewas terbunuh oleh Ragoji sebelum sempat memancingnya turun untuk menyerang Agrrav.

Atau bisa juga setelah Ragoji bertabrakan dengan Agrrav, naga hitam itu malah meluncurkan serangan secara membabi-buta. Tentu saja Ain beserta mereka yang berada di dalam Agrrav bisa tewas.

Siasat Ain untuk mengantisipasi resiko itu hanya satu; yaitu mencoba lagi 'berkomunikasi' dengan Ragoji. Dan ternyata, siasatnya berjalan dengan mulus.

Tidak hanya Riev dan Kiev, Ain pun ikut bernapas lega dengan senyum lepas yang tak luput dari wajahnya.

[•X-Code•]

Pertarungan antara Teir dan Zaina telah usai. Setelah sekian lama mereka bertarung, akhirnya Zaina bisa menghunuskan Scythe ke leher Teir, membuat kakaknya itu terdesak. Saat Agrrav ditabrak Ragoji tadi, keduanya terpental jauh. Tapi Zaina menjadikannya kesempatan untuk mengambil celah untuk mendesak Teir.

"Kau... Kuat." Teir tersenyum pada Zaina yang baru saja mengalahkannya. "Mati di tangan adik sendiri... Hm, tidak buruk," pikirnya.

Tapi Zaina malah menarik kembali Scythe-nya. Ia memasukkan senjata itu, lalu menunduk hormat pada Teir.

Sedari awal tujuannya memang bukan untuk membunuh Teir. Ia hanya diberi tugas untuk mengalihkan perhatian Teir sambil mengulur waktu agar tidak mengganggu rencana mereka.

"Kau tidak membunuhku?" tanya Teir yang melihat Zaina malah berjalan ke arah ruangan tempat Ain dan Grief bertarung, meninggalkannya terduduk sendiri di sana.

"Tidak lucu kalau seorang adik membunuh kakaknya sendiri." Zaina menoleh sambil melemparkan senyumnya pada Teir.

[•X-Code•]

Getaran di Agrrav terasa semakin kuat, menandakan kalau kapal induk Abaddon itu tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Ain kembali masuk ke ruangan itu untuk menghampiri Grief.

Grief hanya tersenyum lepas. Ia bertekuk lutut sembari membentangkan kedua tangannya.

"Nah, silakan...." ujar Grief pasrah dengan apa yang akan terjadi.

Melihat hal itu, Agna berlari kencang menghampiri Ain.

Gadis lugu itu memeluk erat Ain, membenamkan wajahnya di dada pemuda itu.

"Jangan! Ain... Jangan... Ain... Jangan... Bunuh... Grief... Jangan... Bunuh... Paman..." Air mata Agna tak terbendung lagi. Ia menangis tersedu-sedu, membasahi baju Ain di bagian dada.

Ain hanya terdiam seribu bahasa.

Kemudian secara perlahan, Ain melepaskan pelukan Agna darinya. Ia mengusap kepala Agna, menatap kedua bola mata gadis polos yang terbasahi oleh air mata itu dalam-dalam seraya berkata pelan, "Agnamelia Lumina, bukan seperti ini sikap seorang anggota pasukan Cerberus."

Ive dan Grief cukup terkejut mendengar Ain yang menyebutkan nama lengkap Agna. Padahal selama ini identitas Agna selalu disamarkan, karena pasti akan menimbulkan masalah yang tidak diinginkan kalau Cerberus tahu bahwa Agna memiliki darah keturunan bangsawan Elyosa, Lumina. Mereka juga sengaja mengecat rambut Agna, memberinya alat perubah warna retina untuk menyamarkan wujud fisik Agna yang sebenarnya.

Ain tidak diberitahu soal nama panjang Agna dari siapapun. Ia hanya menggabungkan ingatannya, juga informasi-informasi yang selama ini ia terima. Dari sanalah analisa tentang Agna tercipta.

Tak lama kemudian, Zaina tiba di sana. Gadis itu menatap tajam ke arah Ain seraya berkata, "Waktunya pergi, Ain."

Ain menatap jauh ke arah Ive yang masih terpaku tidak beranjak dari tempatnya.

Ive memahami maksud dari tatapan Ain. Wanita itu pun menghampiri Agna yang masih meneteskan air matanya di hadapan Ain.

"Ain, apapun keputusanmu, aku harap kau siap menanggung resikonya," ujar Ive sembari menggenggam tangan Agna yang masih menangis tersedu-sedu sambil sedikit meronta. Dengan terpaksa, Ive harus membawa Agna untuk pergi bersama dengan Zaina.

Kiev sudah memposisikan Hecantor, menunggu kedatangan mereka dari tempat ia melubangi Agrrav. Ia siap membawa pergi Agna, Zaina dan Ive menjauh dari Agrrav.

avataravatar
Next chapter