58 Jatuhnya Sang Pemusnah, Bagian #7

Getaran yang dihasilkan dari tekanan Khy milik Ain dan Grief bisa terasa sampai ke luar ruangan. Cukup mengganggu Teir dan Zaina yang tengah sibuk bertarung.

Teir tidak pernah merasakan tekanan yang begitu besar sebelumnya. Sedangkan Zaina pernah merasakan sensasi itu ketika Rha menunjukkan kekuatan Khy padanya dulu.

Konsentrasi Teir jadi terpecah akibat tekanan itu. Ia penasaran dengan apa yang terjadi di dalam ruangan yang berada di belakangnya. Namun ia tidak bisa begitu saja meninggalkan posisinya. Bisa-bisa Zaina menyerangnya begitu ia berbalik.

Akhirnya Teir memutuskan untuk tidak terlalu memerhatikan tekanan itu. Ada hal yang lebih mengganjal pikirannya; beberapa hal tentang Zaina. "Di mana selama ini Zaina berada? Dari mana Zaina mempelajari Khy dan mengasah teknik bertarungnya?" dan beberapa pertanyaan lain yang terus saja menghantui pikiran Teir.

Zaina bisa melihat itu semua. Ia bisa merasakan kalau pikiran kakaknya terusik oleh sesuatu. Ia yakin kalau hal itu menyangkut dirinya.

"Apa yang ingin kakak tanyakan?" Zaina melonggarkan pertahanannya. Ia menurunkan Scythe miliknya, memberi Teir kesempatan untuk bertanya.

Tentu saja Teir memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Ia menanyakan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, "Dari mana saja kau selama ini?"

Zaina terdiam sejenak sebelum menjawab. Ia membuang pandangannya dari Teir. "Aku berada di Dinukha."

Teir memang menduga hal tersebut. Satu-satunya tempat di Logard yang mengajarkan penguasaan Khy, setahunya hanya ada di Dinukha. Tapi yang mengganggu pikiran Teir adalah karena ia sendiri pernah di bawa ke Dinukha oleh Grief. Ia tidak pernah melihat Zaina saat berlatih di Dinukha. Ia pun menanyakannya pada Zaina.

Tapi kali ini Zaina terdiam, tidak menjawab pertanyaan itu.

Sebenarnya Zaina juga tahu kalau Teir pernah berlatih di Dinukha. Pada saat itu, ia merasa tidak ingin berjumpa dengan kakaknya dulu. Ia merasa harus mengasah kemampuannya lebih jauh lagi sebelum bertatap muka dengan sang kakak. Ada rasa malu dari lubuk hatinya kalau ia bertemu dengan kakaknya sebagai seseorang yang lemah. Makanya selama Teir berlatih di Dinukha, Zaina memilih untuk bersembunyi. Walau terkadang ia mengamati Teir dari kejauhan dengan rasa tak sabar ingin bertatap muka.

Yah... Keinginannya itu terjawab kali ini. Namun sangat disayangkan, mereka harus bertemu sebagai sepasang musuh.

Zaina yang hanya terdiam membuat Teir menyerah untuk mencari jawaban itu. Ia pun mengajukan pertanyaan lain; mengapa Zaina ada di sana dan berada di pihak Cerberus.

Zaina memilih untuk menjawab pertanyaan itu. Ia menceritakan alasan mengapa dirinya memilih untuk berpihak pada Cerberus.

[•X-Code•]

Pada awalnya, Zaina berniat untuk bergabung dengan Abaddon. Ia yang sering mendengar tentang kabar jelek Cerberus di permukaan, merasa muak sehingga memiliki tekad untuk bergabung dengan Abaddon, menghancurkan Cerberus yang sudah keluar jalur.

Namun beberapa hari yang lalu, di saat ia melatih Riev, Zaina memberanikan dirinya untuk bertanya. Gadis yang masih berusia tergolong muda itu menanyakan alasan Riev melawan Abaddon walau pemuda itu sudah mendengar tentang kebusukan Cerberus.

Riev pun menceritakan tentang tujuannya; yaitu melindungi mereka yang tidak bersalah.

Riev setuju dengan Zaina. Cerberus yang sudah tidak pada jalurnya sekarang memang harus dihancurkan. Tapi Riev tidak bisa menyetujui rencana Grief. Ia tidak ingin banyak orang yang menderita karenanya. Kalau begitu, apa bedanya Abaddon dengan Cerberus, kalau sama-sama memberi penderitaan?

Di tengah perbincangan mereka saat itu, Ain dan Kiev juga ikut masuk dalam obrolan. Keduanya juga mengutarakan pendapat mereka pada Zaina.

"Memang, aku sendiri merasa kalau Cerberus lebih baik hancur saja. Tapi kalau dipikirkan lagi, apakah semua pasukan Cerberus bersalah?" ujar Kiev.

Sedangkan Ain mengatakan pada Zaina, kalau ia tidak ingin menghancurkan Cerberus. Ain bertekad untuk mengubah Cerberus dari dalam. Ia yakin kalau Cerberus masih bisa diperbaiki. Tidak hanya itu, Ain juga meminta Zaina untuk membantu mereka. Ain sudah mengatur sebuah siasat, yang akan menjadi batu loncatan bagi mereka untuk mengubah Cerberus.

Mendengar rencana itu, Zaina merasa bisa menaruh kepercayaan pada ketiga pemuda tersebut. Tapi sebelum itu, ia ingin melihat ketetapan hati mereka terlebih dahulu. Yang pada akhirnya, ia bisa menyaksikan sendiri tekad bulat mereka saat ketiganya berbincang dengan Rha sebelum pergi.

Tentu saja Zaina tidak menceritakan soal rencana yang dibuat oleh Ain pada Teir yang terpaku mendengar alasan adik semata wayangnya memihak Cerberus. Gadis sipit berwajah oriental itu hanya menceritakan isi pikiran ketiga pemuda yang berhasil mengubah sudut pandangnya.

Mendengar jawaban dari Zaina, Teir merasa kalau ia harus bertarung dengan Zaina. Ia merasa tidak bisa mengubah lagi sudut pandang sang adik.

"Baiklah, mari kita lihat seberapa jauh kemampuanmu," ucap Teir dengan mantap. Ia menghilangkan semua keraguan yang sempat menggerayangi batin sebelumnya.

Zaina tersenyum lega menanggapinya. Ia sendiri merasa tidak enak ketika bertarung dengan kakaknya sedari tadi. Ia merasa gerakan Teir terhalang oleh beban pikiran, sehingga Teir tidak bertarung secara maksimal dengannya.

Zaina menggunakan teknik yang ia ajarkan pada Riev, tapi jauh lebih sempurna. Gerakannya begitu luwes tanpa cacat sedikitpun. Putaran dari Scythe miliknya juga jauh lebih cepat, sehingga daya penghancur dari radiasinya juga melebihi Riev.

Tentu saja bisa seperti itu. Sama seperti Teir, Zaina juga melatih teknik turun temurun keluarga mereka -'teknik pemusnah masal'- sedari ia kecil.

Tak mau kalah, Teir juga mengeluarkan 'teknik pemusnah masal' untuk menandingi Zaina.

Keduanya kembali melesat untuk menyerang satu sama lain menggunakan teknik penghancur yang dipelajari dari orang tua mereka dulu.

[•X-Code•]

Elevator tempat Riev berada, bergerak turun secara perlahan. Beberapa kali pintu elevator terbuka, menyuguhkan pemandangan jasad beberapa pasukan Abaddon yang bergelimpangan. Karena sebelum sempat para pasukan itu menyerang Riev, Kiev sudah melumpuhkan mereka terlebih dahulu.

Hal itu memudahkan Riev untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ia jadi bisa menghemat tenaganya untuk difokuskan pada pemulihan.

Agak lama elevator itu bergerak turun, sampai akhirnya berhenti di lantai paling dasar Agrrav.

Pintu elevator terbuka, mengantar Riev ke sebuah tempat yang dipenuhi dengan berbagai mesin berukuran besar, yang dijaga oleh banyak pasukan Abaddon.

Kiev bersiap untuk menembaki mereka, namun Riev mencegahnya.

"Aku sudah cukup pulih. Kau jalankan saja tugasmu lagi. Takutnya nanti malah tidak keburu," pinta Riev.

"Oke. Kuserahkan padamu!" jawab Kiev sambil kembali memasuki Hecantor.

Kiev memasukkan senapan miliknya ke dalam cincin, lalu kembali mengoperasikan panel di kursi pilot seperti sebelumnya. Selain jantung yang berdegup kencang, terlihat juga keringat membasahi keningnya sampai menetes jatuh silih berganti.

"Ain, Riev, aku pergi sekarang," ujarnya sembari melesatkan Hecantor ke atas menembus awan.

Sedangkan Riev yang baru tiba di lantai dasar Agrrav, segera di hadang oleh pasukan Abaddon yang berjaga di sana.

Awalnya beberapa dari pasukan Abaddon itu masih sibuk mondar-mandir dengan panik, seperti sedang mencari sesuatu. Tapi begitu melihat kehadiran Riev di sana, mereka bergegas mengepung Riev.

Sebenarnya kondisi Riev belum pulih betul. Tapi musuh yang ia lawan kali ini berbeda jauh dengan Teir. Ditambah, keahliannya memang untuk bertarung melawan banyak orang sekaligus.

Riev mengeluarkan Scythe miliknya, lalu melesat dengan cepat sembari menebas para pasukan Abaddon yang menghadangnya dari berbagai arah.

Tidak butuh waktu lama, semua pasukan itu berhasil dikalahkan dengan telak oleh Riev.

Beberapa pasukan Abaddon kembali bermunculan dari ruangan lain, namun Riev bisa mengalahkan mereka sekaligus hanya dengan satu ayunan Scythe miliknya.

Ia terus berjalan lebih jauh lagi, menyusuri ruangan demi ruangan, lorong demi lorong, sampai ia tiba di sebuah ruangan berpintu besi yang tertutup rapat. Letaknya tepat bersebelahan dengan ruangan di mana pesawat darurat milik pasukan Abaddon diparkirkan.

Riev membuka pintu itu, melihat beberapa orang tengah terduduk di lantai dengan raut wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.

Para petinggi dari setiap wilayah Logard juga Tiash ada di sana.

Balviev, sang Raja Rovan yang sedari tadi duduk bersila dengan tegap, beranjak dari posisinya begitu melihat sosok Riev hadir dari balik pintu.

Begitu terhenyaknya Balviev melihat sosok pewaris takhta Rovan yang sudah tidak ia jumpai sejak lama, datang untuk menyelamatkan mereka.

"A-Ayah." Riev sedikit gugup ketika bertemu lagi dengan ayahnya di sana.

Balviev tidak mengatakan sepatah katapun. Pria berbadan tegap itu hanya berjalan perlahan dengan mata membulat yang sudah berkaca-kaca. Ia memeluk Riev, anaknya yang sudah lama hilang itu dengan erat.

Hanya sebentar pelukan itu dirasakan oleh Riev. Lalu Balviev menepuk pundak Riev sambil senyum lebar sebagai bentuk ungkapan rasa syukur disertai rasa bangganya.

"Reuni keluarganya nanti saja! Ayo selamatkan kami!" Bangsawan Zinzam, Nyonya Kiere, ikut beranjak dari posisinya.

Balviev merasa geram mendengarnya. Ia ingin marah, namun Riev mencegahnya.

"Betul apa kata Nyonya Kiere. Lebih baik, kita bergegas."

Tiash yang dibawa oleh Zaina ke sana ikut bersiap untuk pergi. Dari raut wajahnya terlihat rasa lega. Ia berjalan menghampiri Riev dengan segera, lalu menanyakan kabar Ain.

Tadinya Tiash ingin bertanya tentang apa yang terjadi, termasuk alasan mengapa ia dibawa ke sana. Tapi ia mengurungkan niatnya. Situasi di sana tidak memungkinkan. Ia tidak ingin memperlama proses penyelamatan para sandera.

Riev menceritakan secara singkat tentang situasi yang tengah dialami Ain pada Tiash, sebelum akhirnya mereka pergi meninggalkan Agrrav dengan pesawat darurat yang sudah disiapkan oleh Zaina sebelumnya.

avataravatar
Next chapter