52 Jatuhnya Sang Pemusnah, Bagian #1

"Kebenaran memiliki banyak variasi dan versi, tergantung dari persepsi yang mengungkapkannya." Kalimat itu diucapkan berulang kali oleh Rha di tengah-tengah masa pelatihan Ain dan kedua sahabatnya.

Tidak hanya itu, Rha juga berkata bahwa mereka harus terus mencari kebenaran. Dari segala tempat, dari semua sudut pandang. Tidak hanya terpaku di satu titik, sampai mereka benar-benar yakin bahwa apa yang mereka lakukan saat itu adalah sesuatu yang benar.

Itulah yang memantapkan hati Ain, saat ia melayangkan serangan demi serangan kepada Grief.

Apa yang dikatakan oleh Grief tentang peningkatan Ain memang betul adanya. Kecepatan, gerak reflek, juga kekuatannya benar-benar meningkat dengan pesat.

Dari sudut pandang mereka, waktu seolah berjalan sangat lambat begitu kedua pasang senjata plasma itu terus beradu tanpa jeda. Orang biasa pasti akan merasa kesulitan untuk melihat gerakan mereka yang begitu cepat.

Tak terhitung berapa jumlah serangan, tangkisan dan hindaran yang mereka luncurkan setiap detiknya. Tidak ada satupun dari keduanya yang menyisakan celah untuk diserang.

Ive yang tentu saja bisa melihat gerakan mereka berdua dengan baik, hanya terus mengamati dengan seksama. Sesekali ia melirik Agna yang wajahnya masih saja menyiratkan kekhawatiran dari semenjak Ain tiba di sana.

"Tenang saja, Agna. Ain bisa mengimbangi Grief," ujar Ive dengan lembut sembari mengusap kepala Agna yang terasa agak dingin.

"Hm, Bukan! Ain, Kuat!" jawab Agna sambil menggelengkan kepala.

Ive sedikit bingung dengan maksud perkataan Agna. Tapi ia bisa sedikit memahami kalau sebenarnya, Agna tidak merasa khawatir pada Ain. "Lalu?" tanyanya untuk memastikan.

Kali ini giliran Agna yang mengerutkan dahinya.

"Ain... Bunuh... Grief... Agna, takut!" ucap Agna dengan tubuh gemetar yang tidak dibuat-buat.

Terkejut. Hanya itu yang bisa Ive rasakan begitu mendengar perkataan Agna.

[•X-Code•]

Bukan hanya Ain yang tengah mengeluarkan kemampuan bertarungnya secara maksimal. Agak jauh dari ruangan luas tempat Ain dan Grief bertarung, Riev juga tengah mati-matian menangkis serangan Teir di lorong yang menuju ke ruangan itu.

Kekuatan Riev memang meningkat pesat, tapi masih belum cukup untuk bisa mengalahkan Teir.

Kecepatan, kekuatan, reflek dan teknik masih diungguli oleh Teir.

Dalam pertarungan satu lawan satu, tentu saja Riev masih belum bisa mengalahkan Teir. Tapi bukan itu. Tujuan Riev memang bukan untuk mengalahkan Teir.

"Kiev, sudah belum?" Riev menghubungi kembarannya yang bersiaga di luar Agrrav, di dalam Hecantor.

"Belum. Bertahanlah sebentar lagi," jawab Kiev.

Tentu saja Teir tidak mendengar apapun dari Riev. Karena pemuda dengan senjata sabit bernama Scythe itu menghubungi Kiev melalui gelombang pikiran yang dikirimkan ke antar pengguna cincin hasil modifikasi pasukan Chronos.

"Kalau aku mati, kuhantui kau seumur hidup!" ucap Riev yang tentu saja dibumbi candaan, sedikit menghilangkan ketegangan di saat seluruh serangannya tidak dapat melukai Teir sedikitpun.

Berapa kalipun Riev menebaskan Scythe miliknya, Teir bisa menangkisnya dengan cara membelokan arah serangan Riev.

Teir tidak beranjak dari tempat ia berdiri, tidak juga menyerang balik. Ia hanya menggerakan tangan kiri yang menggengam erat pedang plasma, menghalau setiap serangan dari Riev. Teir sengaja tidak menyerang. Ia tengah melihat sejauh mana perkembangan Riev.

"Hahaha... Tenang. Mungkin sebentar lagi. Mungkin, sih," jawab Kiev yang malah membalas candaan Riev.

"Cih!" celetuk Riev, yang kali ini terucap dari bibirnya. Ia menghentikan serangannya, lalu melompat beberapa meter lebih jauh ke belakang.

Teir menurunkan pedang miliknya dengan wajah yang terlihat kecewa. "Sepertinya kemampuanmu tidak meningkat dengan baik."

"Oh, ya?" jawab Riev dengan senyum lebar yang disertai tatapan tajam ke arah Teir.

Seketika Teir merasakan ada 'hawa pembunuh' yang menyeruak keluar dari Riev, tertuju tepat ke arahnya. 'Aura Intimidasi', yang sempat Riev pelajari dari Zaina di masa pelatihannya.

Riev membuat aura miliknya mengeluarkan frekuensi yang akan terbaca sebagai 'rasa takut' bagi orang yang menerimanya.

Kalau bukan Teir yang menjadi lawan Riev saat itu, pasti orang itu sudah bertekuk lutut dengan rasa lemas di sekujur tubuh juga gemetar yang tak akan bisa ditahan.

Kemudian Riev mengangkat Scythe miliknya ke atas, lalu memutarnya dengan kedua tangan. Putarannya begitu cepat sampai menghasilkan pusaran angin tajam, merusak permukaan dinding dan lantai di sekelilingnya.

Teir benar-benar terkejut melihat kemampuan Riev. "Bagaimana kau bisa-" belum sempat Teir menamatkan kalimatnya, Riev sudah melesat ke arahnya sambil mengarahkan putaran Scythe miliknya ke kanan dan kiri, seperti membentuk pola angka '8' yang terbaring.

Serangan Riev begitu kuat, sampai meninggalkan banyak bekas sayatan di tempat yang ia lalui.

"Maaf aku meremehkanmu," ucap Teir, yang langsung mengambil kuda-kuda rendah. Telapak tangan kanannya ia arahkan ke depan, sedangkan tangan kiri yang menggenggam erat pedang melengkung miliknya itu ia tekuk di atas kepala sehingga pedangnya mengarah ke bawah.

Teir memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, kemudian menggerakan tangan kirinya dengan gerakan yang sama seperti Riev. Ia juga mengeluarkan jurus yang sama dengan Riev. Ia melesat, menyerang ke arah Riev hingga kedua serangan itu beradu.

Kedua serangan itu saling berbenturan, menciptakan radiasi angin tajam yang menghancurkan semua benda yang ada di sekitar mereka.

Keduanya terpental beberapa meter ke belakang, lalu kembali melesat untuk menyerang lagi. Serangan keduanya terlihat seperti permainan 'adu gasing'.

Benturan serangan itu terus terjadi berulang kali, mementalkan keduanya untuk kemudian kembali berbenturan.

avataravatar
Next chapter