49 Cerberus dan Abaddon, Bagian #3

Ain, Riev dan Kiev terpukau melihat markas Chronos yang dikelilingi oleh teknologi-teknologi canggih, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Bahkan, seandainya mereka pernah ke Elyosa-pun, mereka akan tetap terpukau melihatnya. Tempat yang menjadi markas Chronos itu terlihat seperti sebuah kota dengan bangunan-bangunan melayang. Sama seperti Dinukha, markas Chronos juga memiliki simulator cuaca yang membuat tempat itu tidak terlihat seperti di dalam tanah.

Rha mengajak mereka ke sebuah lantai berbentuk lingkaran yang mengeluarkan cahaya lembut. Ia menyuruh ketiga pemuda itu untuk berdiri di dalam lingkaran. Kemudian Rha berkata, "Sektor 9V, kediaman Rhaidra."

Cahaya dari lantai bersinar lebih terang setelah Rha mengucapkan kalimat tersebut. Cahaya itu terasa hangat menyelubungi, seolah merasuki tubuh. Dalam sekejap, keempatnya berpindah ke sebuah tempat.

"Teknologi teleportasi?" terka Ain dengan takjub.

Melihat ketiga pemuda itu memasang ekspresi takjubnya, Rha tersenyum sambil berkata pelan, "Ini belum seberapa. Nah, kalian pasti lelah. Beristirahatlah dulu. Di kamar ada kapsul regenerasi untuk pemulihan. Kalian pasti tidak asing dengan benda itu. Cerberus juga punya, walaupun yang di sini lebih canggih lagi."

Ketiganya hanya menuruti perkataan Rha. Tubuh mereka memang terasa sangat lelah akibat pertemuan mereka dengan 'Raja Monster', Ragoji.

[•X-Code•]

Beberapa menit ketiga pemuda itu berada di dalam kapsul regenerasi yang telah Rha siapkan, tubuh mereka terasa pulih. Tidak hanya itu, stamina mereka juga terasa lebih meningkat dari sebelumnya. Kondisi fisik mereka pulih total seperti sedia kala. Padahal sebelumnya mereka terluka cukup parah, ditambah dengan stamina yang terkuras habis. Memang benar apa yang dikatakan oleh Rha. Teknologi kapsul regenerasi yang ada di sana jauh lebih canggih dari yang dimiliki Cerberus.

Selepas memulihkan diri, ketiga pemuda itu meninggalkan ruangan mereka, menuju ruang tengah.

Rha sudah terduduk di sofa yang semula tidak ada. Setiap bangunan di sana punya teknologi canggih yang memungkinkan sang empunya untuk mendekorasi ruangan melalui pikiran.

Begitu mereka tiba di sana, Rha mengubah dekorasi ruang tengah rumahnya menjadi sebuah rumah sederhana berlantai kayu dengan sebuah perapian yang menyala. Ia juga memunculkan jendela-jendela yang memperlihatkan pepohonan rindang berselimut salju, juga perabotan seperti sofa dan meja.

Riev dan Kiev hanya bisa terpana melihat ruangan itu berubah bentuk secara tiba-tiba. Sedangkan Ain malah terlihat seperti tengah mengingat sesuatu.

Ada alasan khusus mengapa Rha memunculkan pemandangan itu. Semua itu untuk Ain.

"Duduklah," ujar Rha mempersilakan ketiga pemuda itu untuk menempati sofa di hadapannya yang telah ia siapkan.

Kemudian Rha memberi mereka bertiga sebuah kotak kecil berisi cincin Cerberus yang sudah dimodifikasi.

"Kini cincin kalian tidak hanya berfungsi sebagai tempat 'penyimpanan' senjata saja, tapi juga sebagai alat komunikasi melalui jalur khusus yang tidak bisa disadap. Ada beberapa fitur yang kutambahkan juga. Kalian coba saja sendiri nanti," jelas Rha.

Ketiganya mengenakan cincin Cerberus yang terlihat berbeda dari sebelumnya. Warnanya terlihat lebih gelap dengan corak biru menyala.

Begitu cincin itu mereka kenakan, di hadapan mereka muncul layar hologram dengan berbagai menu tertera di sana. Tangan mereka bergerak-gerak ke depan untuk menyentuh hologram itu, namun tidak terjadi apa-apa.

Rha tertawa geli melihat tingkah laku mereka. Ia merasa harus menjelaskan sedikit soal tata cara penggunaan fitur baru di cincin mereka.

"Kalian pasti sedang melihat hologram di depan. Hologram itu hanya bisa terlihat oleh pengguna cincin. Kalian tidak perlu menyentuh hologram itu, cukup gunakan pikiran kalian untuk membuka menu-menu yang ada di sana," jelas Rha sambil masih sedikit tertawa.

Ain, Riev dan Kiev merasa geli sendiri dibuatnya. Ketiganya hanya cengengesan sambil mencoba menggunakan fitur baru tersebut.

"Oke, tunda dulu perkenalan dengan cincin kalian. Sekarang, sebelum kalian berangkat, aku akan menceritakan semua pada kalian." Fokus Rha tertuju pada Ain yang duduk tepat di hadapannya.

"Apa kau ingat tempat ini, Ain?" Rha mengalihkan pandangannya ke arah jendela hologram yang terlihat seperti asli.

"Pemandangan ini, suasana ini, kau ingat?" tambah Rha.

Ain terdiam, berusaha untuk mengingat. Ia merasa tidak asing dengan suasana itu, tapi ia tidak bisa mengingatnya dengan baik. Akhirnya jawaban Ain diwakili dengan gelengan kepalanya.

"Ini adalah suasana rumahmu, Ain. Sebelum kau tinggal di panti asuhan milik Nerin. Kau tidak perlu mengingatnya sekarang, tapi suatu saat... Kau harus mengingatnya," Tatapan Rha kembali tertuju pada Ain.

"Maaf Master, kalau boleh aku bertanya... Sebenarnya, Master siapa? Kenapa bisa tahu soal Ain sejauh ini?" Kiev mengajukan pertanyaan yang sebenarnya, pertanyaan itu juga terbesit di kepala Ain dan Riev.

"Hahaha! Kau memang cerdas. Untuk sekarang, siapa aku belum-lah penting. Nah, aku ingin bertanya tentang pendapat kalian soal Grief. Menurut kalian bertiga, apakah yang dilakukan Grief itu salah?"

Ain beserta kedua sahabatnya itu hanya terdiam. Dari lubuk hati yang paling dalam, mereka merasa kalau Grief hanyalah korban dari sebuah sistem yang salah.

"Aku tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Tapi aku tidak bisa menerima cara Grief yang begitu brutal. Aku harus menghentikannya," jawab Ain mewakili, setelah sebelumnya sempat bertatapan dengan Riev dan Kiev.

Rha tersenyum lebar dengan penuh semangat. Jawaban Ain terdengar tegas tanpa ada keraguan sedikitpun. Itulah yang membuat Rha merasa puas.

Baginya, jawaban apapun tidaklah penting. Yang penting adalah keyakinan mereka untuk mencapai tujuan yang menurut mereka 'benar'.

"Kenyataannya, tidak ada yang benar dan salah. Bagi Grief, apa yang dilakukannya itu benar. Bagi kita, apa yang kita lakukan juga benar. Tidak ada yang namanya 'Kebenaran yang Hakiki'. Semua tergantung sudut pandang," jelas Rha, yang ditanggapi dengan rasa kagum oleh ketiga pemuda itu.

Sebenarnya Rha ingin berbincang panjang lebar dengan mereka, namun situasi saat itu tidak mendukung.

"Baiklah, sudah waktunya kalian pergi. Selamat berjuang anak-anakku, para pewaris masa depan!"

Ketiga pemuda itu mengangguk dengan serentak. Ketetapan hati mereka sudah mantap untuk menghentikan Grief.

Memang betul Cerberus sudah 'keluar dari jalur', tapi mereka tidak bisa menerima cara Grief dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Ketiga pemuda itu pamit, lalu melangkah dengan keteguhan yang tidak akan bisa tergoyahkan.

Rha menyuruh seorang pasukan Chronos untuk mengantar mereka sampai ke Dinukha.

[•X-Code•]

"Mereka sudah pergi. Keluarlah," ucap Rha sembari melempar pandangannya ke belakang.

Perlahan, muncul sosok seorang gadis yang sedari tadi bersembunyi menggunakan teknologi kamuflase yang membuatnya tak kasat mata. Gadis dengan wajah oriental yang khas dari ras yang sudah punah itu menghampiri Rha.

"Kau sudah mendengar langsung dari mereka, bukan? Hati mereka masih murni, menunjukkan sosok para pencari kebenaran. Pemikiran-pemikiran sederhana seperti itulah yang kita butuhkan. Jadi, apa kau sudah memutuskan mau berada di pihak mana, Zaina?"

Zaina tertunduk dengan raut wajah sedih. Kemudian ia menghela napas panjang, lalu menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya itu, "Walau Cerberus yang sekarang bukan lagi bagian dari kita, juga walaupun kakakku berada di Abaddon, tapi sepertinya aku akan berpihak pada Cerberus."

Rha tersenyum mendengar jawaban dari Zaina. Ia mengangguk, menanggapi jawaban dari Zaina.

Chronos yang bertugas sebagai pelatih dan pembimbing para anak-anak 'yang terlantar', akan membiarkan mereka memilih untuk bergabung dengan pasukan mana nantinya. Cerberus, Abaddon, Bahamut, atau menjadi 'Pembimbing' di Chronos. Zaina yang telah menyelesaikan pendidikannya di Dinukha sudah memutuskan pilihannya.

"Boleh aku bertanya?" Zaina mengajukan pertanyaan sebelum ia pergi.

Rha mengangguk memberinya izin.

"Mengapa Master tidak memberi tahu Ain, tentang siapa Master sebenarnya?"

Rha tersenyum lebar mendengar pertanyaan itu. Ia mendekat ke arah Zaina, mengusap kepala gadis yang selama ini ia gembleng untuk menjadi seorang prajurit berkualitas.

"Aku tidak ingin ia terganggu oleh hal yang tidak perlu. Nah, mari kita lihat apa yang bisa ia lakukan. Apakah tekadnya mampu untuk menghentikan Grief? Ataukah Grief yang memiliki tekad lebih kuat? Aku tidak sabar untuk melihatnya."

Zaina tersenyum lembut sembari mengangguk. "Baiklah, kalau begitu... Aku pamit pergi, Master Revolt."

avataravatar
Next chapter