16 Ain dan Tiash

Malam itu, pertemuan antara ketiga pemimpin di Logard terpaksa harus dihentikan begitu datang sebuah kabar dari Utara. Pasukan tak dikenal menyerang dan berhasil menguasai Trovia, ibu kota kerajaan Rovan.

Cerberus Timur, Right Head, terletak cukup dekat dari Rovan. Namun mereka tidak bergerak, karena pada dasarnya Cerberus tidak memihak ke manapun. Tidak ada yang merekrut mereka untuk membantu Rovan, makanya mereka hanya bisa mengamati dari jauh sambil melaporkan keadaan ke seluruh markas Cerberus.

Sang Raja berikut seluruh pasukannya bergegas pergi meninggalkan Left Head menuju Trovia dengan kapal besar kerajaan yang melesat di udara. Begitu juga dengan para pemimpin Zinzam dan Munkan yang segera pulang ke tempat mereka untuk berjaga-jaga takutnya ada kejadian serupa menimpa wilayah mereka.

Orland terlihat panik malam itu. Selain berita mengejutkan yang membenarkan kesimpulan Ain sebelumnya, ia juga mendapat kabar kalau salah seorang pasukannya mengalami kecelakaan saat melindungi Left Head.

Walau Riev sudah berhasil diselamatkan oleh Vabica, tapi kondisinya terbilang cukup parah.

Trava yang Riev kendarai mengalami kerusakan yang sangat fatal. Jauh lebih parah dari Trava yang dikendarai oleh Ain karena Trava Riev menabrak pesawat asing itu saat masih diselubungi oleh medan pelindung.

Ditambah lagi, Orland belum mendengar kabar soal Ain yang sampai pada saat itu belum juga tiba di Left Head. Padahal Irina, sang informan, mengatakan kalau Ain sudah berangkat menuju Left Head.

Pada akhirnya, sang Maestro Left Head mengeluarkan kode kuning pada para pasukan Cerberus untuk mencari Ain. Ia harus segera mengetahui apa saja yang terjadi pada malam itu. Tentu saja, ia juga merasa khawatir pada Ain yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.

[•X-Code•]

Ain terbangun dari tidurnya dan mendapati mentari pagi sudah menyinari. Ia menoleh ke sebelah kiri, ke tempat Tiash tertidur. Namun ia tidak menemukan Tiash di sana. Ain cukup terkejut, sehingga dengan tergesa-gesa ia keluar dari Trava. "Kenapa semua gadis yang duduk di situ harus menghilang, sih?" pikirnya dengan risih.

Namun perasaan Ain kembali tenang begitu mendapati Tiash tengah duduk anggun di atas batu kecil, tak jauh dari Trava.

Gadis itu sedang membaca sebuah buku lusuh bersampul hitam. Alisnya terlihat berkerut kala mengamati sebuah halaman di buku itu.

"Oh, selamat pagi!" sapa Tiash sembari melemparkan senyumnya begitu melihat Ain keluar dari Trava.

"Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Ain sambil menghampiri Tiash.

Ain merasa sedikit penasaran dengan buku yang tengah Tiash baca. Tapi Ain tak sempat melihat buku itu, karena Tiash kembali memasukan bukunya ke dalam tas kecil yang selalu ia bawa ke manapun.

Tiash berdiri sambil mengangkat tangannya ke atas, meregangkan badannya. "Mana aku tega. Kau tidur sampai ngorok gitu," jawab Tiash memberi alasan.

"Ngo-Ngorok?" pikir Ain dengan sedikit rasa malu. Berarti Ain memang butuh istirahat. "Y-Yah, dari pada itu, ayo kita pergi dari sini. Hutan ini sangat luas. Kalau kita tidak bergegas, terpaksa kita harus bermalam lagi di hutan ini," ujar Ain sembari memalingkan mukanya.

"Ayoo!" jawab Tiash dengan semangat.

Walau tengah berada jauh dari rumahnya, tapi ada kesenangan tersendiri bagi gadis itu. Ia merasa senang bisa mengenal daratan Logard secara langsung, yang selama ini hanya ia baca dari buku di perpustakaan.

"T-Tapi...." sambungnya lagi sembari membuang muka. Pipinya yang memang berwarna kemerahan kini tambah merona.

"H-Huh...?" gumam Ain dalam hati. Jantungnya berdetak kencang melihat wajah Tiash yang tersipu. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia merasakan sebuah perasaan, yang baginya terasa aneh.

"A-ada apa?" tanya Ain yang juga ikut memalingkan pandangan.

"Aku... Uh...." Wajahnya semakin merona. "Aku... Lapar...." ucap Tiash pelan sambil mencuri pandang ke arah Ain yang berdiri di depannya.

"Oh," jawab Ain singkat dengan wajah datar khasnya.

Memang ada baiknya mereka mengisi perut dulu sebelum melanjutkan perjalanan yang akan memakan waktu lama. Butuh waktu beberapa hari dengan berjalan kaki dari Hallun ke Left Head. Tapi Ain punya rencana untuk mencari kota terdekat untuk mendapat kendaraan.

Kemudian Ain menangkap beberapa ekor ikan di sungai yang berada cukup jauh dari tempat awal mereka. Ia juga memetik beberapa buah-buahan yang tumbuh di hutan itu.

Setelah menyalakan api untuk membakar ikan yang ia tangkap, ia merasa harus menanyakan banyak hal pada Tiash. Sambil membakar ikan-ikan tersebut, Ain mulai bertanya. "Jadi, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ain membuka pembicaraan.

"Aku... Aku juga tidak tahu," jawab Tiash yang duduk di batu kecil pinggir sungai, tempat mereka berhenti sejenak untuk sarapan.

"Tidak tahu?" tanya Ain lagi sambil masih fokus pada ikan yang tengah dibakar. Ia membulak-balik ikan tersebut, mencegahnya gosong.

"Iya. Aku... Terakhir aku berada di bukit bersama teman-temanku. Lalu aku tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku sudah terbangun di dalam pesawat itu," jawab Tiash dengan wajah menunduk. Ia sendiri ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

"Pesawat itu seharusnya dipakai untuk meninggalkan Elyosa kalau ada keadaan darurat. Aku ingat dulu pernah dibawa oleh ayahku untuk melihat-lihat, jumlahnya ada ratusan," sambung Tiash lagi.

"Jadi... Elyosa sedang dalam kondisi darurat?"

"Tidak juga," jawab Tiash singkat. Ia menghela napas panjang, lalu berkata, "Sudah ah, jangan membicarakan Elyosa lagi. Mumpung aku ada di sini, ceritakan soal Logard! Aku akan sangat senang mendengarnya dari penduduk Logard langsung," pinta Tiash dengan penuh harapan agar Ain memenuhi permintaanya.

"Tidak mau. Merepotkan," Ain mengangkat ikan yang sudah matang.

"Iiih! Ayolaaaah!" rengek Tiash, kembali berusaha membujuk Ain.

"Nih. Kalau tidak mau, aku yang makan," Ain malah menyodorkan sepotong ikan bakar itu pada Tiash tanpa memedulikan permintaan Tiash.

"Huh! Aku gak mau makan sebelum kau cerita!" Tiash memasang wajah cemberut sembari melipat tangannya, lalu memutar badannya memunggungi Ain dengan sikap manja.

"Ya sudah," jawab Ain datar sembari memakan ikan bakar miliknya.

Ain meletakan ikan jatah Tiash di atas selembar daun yang lebarnya hampir menyamai piring.

"Uh... Ng... Ah, terserah!" Celetuk Tiash yang dengan cepat menyambar ikan jatah miliknya, lalu kembali berbalik memunggungi Ain.

Ain merasa geli melihat tingkah laku Tiash. "Yah, daripada dia berperilaku seperti itu sepanjang jalan nanti, lebih baik aku turuti saja keinginannya," pikir Ain yang membayangkan Tiash bertingkah manja selama perjalanan nanti.

Akhirnya, mau tidak mau Ain menceritakan semua tentang Logard yang ingin diketahui Tiash.

Tentang kerajaan Rovan, Republik Munkan dan tentang Negara Feodal Zinzam.

Begitu Ain bercerita tenang Zinzam, Tiash menunduk sedih. Ia terlihat sedih dengan tatapan kosong. "Ternyata... Di sini juga ada yang seperti itu...." pikir Tiash yang teringat akan tempatnya berasal, Elyosa.

Setelah Ain mengakhiri ceritanya, Tiash kembali meminta Ain untuk menceritakan tentang dirinya. "Pria yang semalam sampai lari ketakutan, sebenarnya kau siapa?" tanya Tiash penasaran.

"Hah," Ain mengernyitkan dahinya sambil menggaruk-garuk kepala. Setelah panjang lebar bercerita, kini Ain harus kembali menceritakan tentang dirinya dan juga Cerberus. Sungguh sesuatu yang merepotkan bagi Ain.

"Aku seorang anggota pasukan yang bernama Cerberus. Cerberus Force itu... Pasukan yang tidak terikat dengan pihak manapun. Kami bekerja sesuai permintaan. Yah, bisa dibilang kalau kami itu tentara bayaran," jawab Ain, berusaha mempersingkat penjelasannya.

"Jadi... Kau kuat?" tanya Tiash yang juga masih melahap makanannya. Terlihat dengan jelas dari cara makannya yang anggun dan beretika, kalau Tiash bukan terlahir dari keluarga biasa.

Ain menarik kesimpulan kalau Tiash terlahir dari keluarga bangsawan, atau setidaknya orang yang memiliki peran di Elyosa. Sungguh sebuah analisa yang tepat, walau hanya dari gerak-gerik dan cara makannya.

"Tergantung," jawab Ain singkat sehabis memperhatikan cara makan Tiash dengan seksama.

"Tergantung apa?" tanya Tiash lagi, disertai dengan wajah polos yang dipenuhi rasa ingin tahu. Tiash tidak menyadari kalau Ain tengah memperhatikan gerak-geriknya.

"Tergantung dari sudut pandang mana kau mengartikan 'kuat' itu sendiri. Kalau mengartikan 'kuat' itu bisa mendorong gunung, tentu saja aku tidak kuat," jawab Ain dengan rinci.

Kalau soal 'kekuatan' yang selalu Ain tekuni, dengan senang ia akan menjelaskannya.

"Oh... Hmm... Ya... Ah, aku malah jadi bingung," Tiash menghabiskan makanan yang disiapkan oleh Ain tanpa sisa.

Walaupun itu pertama kalinya ia menyantap makanan yang dimasak secara sederhana, tapi Tiash tidak merasa risih sedikitpun. Apa karena ia sedang lapar, atau Tiash ingin menghargai Ain yang sudah bersusah payah menyajikan sarapan untuknya, ia sendiri tidak yakin. Yang jelas, makanan itu terasa nikmat buatnya.

Setelah menyelesaikan sarapan juga membereskan tempat itu, Ain dan Tiash pun melanjutkan perjalan mereka.

Ain berharap mereka bisa meninggalkan hutan tersebut sebelum gelap. Ia juga berharap bisa bertemu dengan Agna yang belum juga ia temukan.

avataravatar
Next chapter