1 Prolog

Felix mengintip kedalam ruangan dihadapannya lewat bagian kaca transparan di tengah tengah daun pintu. Gadis didalam sana duduk termangu dengan tatapan yang jauh menerawang melewati pemandangan diluar jendela kamarnya. Gadis itu masih terlihat pucat dan jauh dari kesan sehat. Beberapa bekas luka yang mulai pulih yang terdapat di wajahnya tak sedikit pun mengurangi kesan paras cantik yang dimilikinya. Hanya sorot matanya yang redup yang membuat wajah jelita itu nyaris seperti tak hidup.

Menurut dokter yang bertanggung jawab pada kondisinya selama masa perawatan, gadis itu mengalami traumatik. Beberapa hal yang mungkin telah dialaminya menyebabkannya kehilangan seluruh memori yang harusnya dia miliki hingga saat gadis itu dilarikan ke rumah sakit ini lebih dari seminggu yang lalu. Saat Felix yang hendak pulang dari acara hang out rutinnya bersama ketiga kawannya menabrak gadis itu.

Setelah dilakukannya pemeriksaan pertama pada gadis itu, dokter menemukan tanda tanda penganiayaan ditubuh sang gadis. Menurut dokter, hal itulah yang mungkin menjadi penyebab utama dari trauma yang dialaminya, gadis itu di duga seorang korban tindak kekerasan dan penganiyaan. Ditambah dengan luka pada otak akibat benturan keras yang ditimbulkan kecelakaan mobil Felix. Para medis yang menangani gadis itu dan menemukan fakta bahwa gadis itu tak dapat mengingat sama sekali identitas dirinya juga segala hal sebelum saat dia tersadar beberapa hari kebelakang, dan menyatakan gadis itu mengalami amnesia.

Namun, baik Felix atau pun ketiga temannya kenal betul gadis itu. Mereka berlima sempat sekelas di awal tahun pertama selama beberapa bulan hingga kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan dan gadis itu menghilang begitu saja tanpa ada kabar apapun yang mereka dengar tentangnya. Dan hingga kini, tak ada seorang pun yang tahu siapa yang bertanggung jawab atas dirinya selama ini juga kedepannya nanti, padahal hingga hari ini, gadis itu sama sekali tak menunjukan tanda tanda kemajuan atas kondisinya.

Felix merasakan tangan Roa yang menyentuh bahunya. Seperti selama 5 tahun kedekatan mereka, senyum Roa selalu tampak teduh baginya. Meski menurut sebagian orang senyumnya adalah simbol keangkuhan dan kesinisannya, namun bagi Felix justru senyum itu pembawa kedamaian tersendiri.

"Chillax, sob." Katanya pelan, "Mami udah mulai tenang sama Mirza dan Raja disana."

Felix menggeleng, "Tenangnya mami ngga akan bisa nyabut klaim bersalah gua, Ro. Gua tetep penjahat."

"Sebagian otak lu mungkin penjahat, kita semua juga gitu, tapi gua tahu cuma sebagian kecilnya aja. Dan lu bisa tutup bagian itu dengan bagian lain yang biasa."

"Gimana bisa kalo gua ngga tahu nasib dia setelah ini?" Felix menunjuk kedalam ruangan yang ditatapnya sejak tadi.

Roa tak bergeming kali ini. Mereka masih terlalu muda untuk tahu jawaban atas pertanyaan Felix barusan.

Roa dan Felix sama sama menoleh saat melihat mami telah tiba didekatnya bersama Mirza dan Raja yang mengikuti di belakangnya. Bang Rivaldo rupanya telah tiba bersama kak Zasky istrinya. Abangnya itu tampak berusaha menahan amarah yang jelas jelas ditunjukan pada adik bungsunya. Namun kak Zasky tersenyum dengan penuh kehangatan yang menunjukan rasa prihatin dan pengertiannya. Kakak iparnya itu menghampiri dan memeluk Felix yang akhirnya tak kuat lagi menahan air matanya. Roa menuntun mereka untuk duduk di kursi ruang tunggu sebelum tangis sahabatnya disadari gadis didalam ruangan sana.

"Sssst, udah sayang, tenang!" Kak Zasky mengecup pelipis adiknya, "Fei tenangkan diri, ingat sebentar lagi ujian kelulusan! Fokus aja kesana dan masa depan kamu. Soal ini, biar mami, abang dan kakak yang selesaikan. Oke?" jelasnya lembut, Felix mengangkat wajahnya perlahan lalu mengiyakan.

avataravatar