10 EMPAT BREWOK DARI GOA SANGGRENG

Siapakah keempat manusia berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara berewok itu? Mereka menamakan diri Empat Berewok dari Goa Sanggreng dengan Bergola Wungu sebagai pimpinannya. Mereka tak lain adalah komplotan rampok yang malang melintang sepanjang sungai Cimandilu yang terkenal keganasannya di daerah sekitar situ.

Dulunya, Bergola Wungu adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan Kalingundil, kepala rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung Jatiwalu. Sesudah ayahnya dibunuh, keluarganya ditumpas sedang keganasan Kalingundil dan tiga orang anak buahnya semakin menjadi-jadi melanda Jatiwalu maka Bergola Wungu yang saat itu berumur dua puluh enam tahun meninggalkan kampung kelahirannya dengan satu tekat yaitu mencari guru silat yang dapat mengajarkan ilmu dan kesaktian kepadanya.

Dia berhasil menemukan seorang guru dan kemudiannya berhasil pula mendapat tiga orang anak buah, maka malang melintanglah Bergola Wungu di sepanjang sungai Cimandilu, menjadi kepala perampok yang ditakuti.

Dan ketika dirasakannya saat untuk melakukan pembalasan sudah tiba maka bersama ketiga orang anak buahnya berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu sampai di Jatiwalu, Kalingundil dan anak-anak buahnya tak ada di sana, pergi keluar kampung dan tak satu orangpun yang tahu.

Rumahnya kosong dan sepi. Bergola Wungu memutuskan untuk menunggu sampai musuh besarnya itu kembali. Dan sampai hari itu Kalingundil masih juga belum muncul. Mereka duduk di dalam kedai di tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun yang bisa bicara. Bergola Wungu teguk tuaknya sampai habis.

"Kurasa manusia itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundil.", kata Ketut Ireng, laki-laki yang duduk di hadapan Bergola Wungu.

Bergola Wungu letakkan gelas bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu benar-benar anak buah Kalingundil, pastilah maksudnya untuk menuntut balas akan menemui kegagalan. Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian hebatnya, apalagi Kalingundil sendiri! Memang waktu lima belas tahun belakangan ini adalah waktu yang cukup lama untuk menambah ilmu kesaktian. Tapi bila kehebatan anak buah Kalingundil seperti kenyataan tadi, ini adalah tiada diduga Bergola Wungu sama sekali!

"Tidak mungkin..." desis Bergola Wungu. "Tak mungkin manusia tadi adalah anak buah Kalingundil! Lagi kita belum yakin betul apa dia benar-benar manusia! Dan aku ingat bahwa Kalingundil cuma punya tiga orang kaki tangan! Aku kenal tampang-tampang mereka semua!"

"Tapi bukan mustahil selama belasan tahun ini jumlah anak buahnya bertambah," menyela laki-laki yang bernama Seta Inging.

"Aku tetap tidak mau percayaa!" kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya pada pemilik kedai. "Sini!", bentaknya.

Orang tua pemilik kedai datang dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk. "Berapa orang anak buah Kalingundil semuanya?"

"Cuma tiga, Den. Cuma tigaa."

"Masih yang dulu-dulu juga.?"

Orang tua itu mengangguk.

"Dan tak satu manusia pun disini yang tahu kemana mereka pergi?!"

"Tidak satupun, Den."

"Selain mereka berempat, siapa lagi yang diam di rumah besar itu?"

"Tidak ada, Den."

"Dulu kudengar dia punya bini."

"Sudah meninggal, Den."

"Juga seorang anak perempuan. Apa juga sudah meninggal?!"

"Tidak."

"Kalau begitu dimana perempuan itu sekarang?"

"Bapak tidak tahu, Den."

"Dusta!"

"Sungguh tidak tahu, Den."

"Bakar saja kedai ini!", ancam Ketut Ireng.

Dan orang tua itupun berlutut minta dikasihani. "Jangan den. Sungguh bapak tidak tahu. Jangan dibakar kedai ini den. Kasihani bapak. Tapi mungkin dia ikut bersama Kalingundil. Mungkin juga. Mungkin juga menginap di tempat bibinya."

"Dimana tempat bibinya?"

"Tidak tahu, Den."

"Tidak tahu melulu!", bentak Bergola Wungu.

"Kalian manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh Kalingundil, yang diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, masih saja melindungi manusia-manusia keparat itu!"

"Kami semua benci dan mendendam terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den. Tapi kami ini rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan..."

"Kalian bukan lemah tapi bodoh dan pengecut!" bentak Ketut Ireng. Lalu sambungnya, "jika beberapa hari dimuka ini kami masih belum juga menemui Kalingundil dan cecunguk-cecunguknya itu, akan kubakar rumahnya, juga seluruh kampung ini.!"

"Oh jangan, Den. Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa kampung ini dulunya adalah kampung raden juga."

"Dulu!" kata Bergola Wungu, "tapi sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku ditumpas, kampung ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam diri, tak ambil perduli ketika ibuku dirusak kehormatannya, ketika saudara-saudaraku ditebas lehernya! Patutkah ku akui ini sebagai kampungku? Persetan sama kampung keparat ini!" Bergola Wungu membantingkan gelas bambunya ke meja. Papan meja pecah, gelas bambu mental terbelah dua!

"Mereka bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya. Kalingundil dan anak buahnya berilmu tinggi."

"Diam!", bentak Bergola Wungu. Orang tua pemilik kedai itu diam membungkam.

Ketut Ireng ambil bagian kini, "Kau tahu siapa itu manusia rambut gondrong yang tadi makan di sini?!"

"Tidak tahu, Den. Sungguh tidak tahu..."

"Sudah pergi sana!" bentak Bergola Wungu.

Orang tua itu berlalu dengan cepat. Tak lama kemudian Bergola Wungu dan ketiga anak buahnya meninggalkan kedai tanpa membayar satu peser tengikpun atas apa yang telah mereka makan dan mereka minum!

avataravatar
Next chapter