2 EMPAT BREWOK DARI GOA SANGGRENG

Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang memasuki pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia turun ke tanah.

"Ada apa dengan kalian?!" tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan teriakan.

Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahan-lahan. Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu mendapat luka dalam yang parah.

Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah segera tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan!

Mahesa Birawa melompat dan cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil dan dimasukkannya ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada Kalingundil.

"Telan cepat!," katanya. "Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!"

Kalingundil menelan pil yang diberikan lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah untuk mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang tadi kena terpukul. Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih berbaring menelentang di atas sebuah tempat tidur.

"Sekarang!" kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak meja, "terangkan apa yang terjadi Kalingundil!"

Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali lalu mulailah dia memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa selesai mendengar keterangan itu maka mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal melintang bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot seperti mau tanggal dari rongganya!

"Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga ikut aku ke tempatnya itu manusia haram jadah! Lekas...!"

Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul, pasir berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali.

Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam ke muka dia berkata,

"Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan sendiri itu adalah manusia yang bernama Mahesa Birawa..."

Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama menjadi Kepala Kampung dia menghadapi kesukaran dan kekerasan macam begini! Bahkan dia tadi belum sempat menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda itu. Ketika Mahesa Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di belakang suaminya.

Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memberikan bisikan.

"Laki-laki tua yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali..."

"Kau manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!" membentak Mahesa Birawa.

Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan saat itu dendam serta bencinya terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa, tak dapat dilukiskan.

Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang suaminya. Nafsu untuk dapat memiliki perempuan ini yang tak kesampaian atau belum kesampaian membuat amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat itu meski sudah bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah cantik dan muda jelita. Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan Jarot Karsa setelah terlebih dahulu menyapu tampang Ranaweleng dengan garangnya.

"Anjing tua yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!" suara Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga dalam yang tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya.

Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak dihadapan kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali. Senyum datar yang mengejek tersungging lagi di mulut orang tua ini.

"Ini manusianya yang bernama Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?! Kalau kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu padamu agar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!"

Bergetar badan Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari kaki! "Anjing tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa kepadaku!"

Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat badai menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!

Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya. Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah Ranaweleng,

"Bapak Jarot minggirlah, biar aku yang hadapi manusia pengacau ini!"

"Ah Raden....," kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara. "Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah. Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!"

Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong.

"Glaaarrrr...!"

Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan di udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya. Sedangkan Jarot Karsa jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin!

Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng pun kagetnya bukan main. Suci yang berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit tertahan karena menyangka si orang tua mendapat celaka besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot Karsa.

Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan, menyapu-nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya. Hampir dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya memerihkan matanya.

Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Jarot Karsa mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati. Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan karena cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi keduanya.

Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan mengelak dari Mahesa Birawa.

"Bukkkk...!!"

Mahesa Birawa terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada kirinya. Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu.

Jarot Karsa tertawa mengekeh. "Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu itu, jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!"

Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di atas kepala. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi hijau dan bergeletar.

"Bangsat tua bangka!" kertak Mahesa Birawa, "lihat tangan kananku. Kenalkah kau akan pukulan yang akan kulepaskan ini...!"

Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan kanan Mahesa Birawa yang semakin lama semakin bertambah hijau itu. Meski dia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya melihat tangan kanan lawan itu, ditambah lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh lawannya!

Akan tetapi Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan bisikan pada Jarot Karsa dengan mempergunakan ilmu menyusupkan suara.

"Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hendak dilepaskan itu adalah pukulan Kelabang Hijau. Hebatnya bukan main dan sangat beracun...!"

Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. "Pukulan Kelabang Hijau...," keluhnya dalam hati.

Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang Resi bernama Tapak Gajah yang diam di lereng Gunung Lawu. Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya Tapak Gajah?

Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya menunjukkan mimik mengejek. "Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu ditakutkan....!" kata orang tua bungkuk itu.

Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak. "Kalau sudah tahu mengapa tidak segera berlutut, anjing tua?!"

"Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah ini....!" dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat.

Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan kanannya ke muka! Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka. Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri!

Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup mukanya dangan kedua tangan. Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau. Dia mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka tubuhnya melingkar tanpa nyawa!

"Manusia biadab!" bentak Ranaweleng. "Orangku tiada permusuhan dengan kau. Mengapa kau bunuh dia?!"

Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh. "Sebentar lagi kau juga akan mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau angkat kaki dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal sudah di depan mata!" dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.

"Hari ini aku mengadu nyawa dengan kau manusia iblis!" teriak Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu.

avataravatar
Next chapter