1 EMPAT BREWOK DARI GOA SANGGRENG

Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang laki-laki tua yang tengah mencabuti rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya, Kalingundil bertanya dengan membentak kasar, "Ini rumahnya Ranaweleng?!"

Orang tua berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah bahwa tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya topi bambo yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah bicara kepadanya. Orang tua ini tak segera berikan jawaban melainkan melirik kepada Saksoko yang duduk di atas pungung kuda di sisi kanan Kalingundil.

"Orang tua bego!" maki Kalingundil.

Laki-laki bertubuh langsing ini memang bersifat tidak sabaran. "Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!"

"Ya!" jawab Kalingundil.

"Ada keperluan apa Saudara?"

Si gemuk pendek Saksoko kini yang buka suara. Suaranya parau dan tidak enak didengar. "Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang tua pikun minggirlah!"

Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke depan maka terpelantinglah si orang tua kena terajang kaki binatang yang ditunggangi Saksoko itu!

Orang tua itu bangun dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan umur kelihatannya menyorot. Dengan kaki kirinya ditendangnya secara acuh tak acuh topi bambunya yang tergeletak di tanah.

Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik dahsyat. Kedua kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah!

Si orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi apa-apa dia memutar tubuh jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan dihalaman! Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.

"Saksoko, ada apa dengan kau?!" tanya Kalingundil terkejut dan heran.

"Aku sendiri tidak tahu," sahut Saksoko seraya bangun dengan menepuk-nepuk pantat celananya.

Dia memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa kecuali orang tua yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata laki-laki itu membentur topi bambu yang tergeletak tak berapa jauh dari tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi orang tua kurus dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak mungkin kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke kuda tunggangannya.

Kalingundil juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya. Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia berkata, "Kurasa orang tua kerempeng itu....."

Kalingundil memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam ilmu silatpun dia lebih tinggi dua tingkat di atas Saksoko.

"Mana mungkin," kata Saksoko pula tidak percaya.

"Coba kita lihat."

Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang tergeletak di tanah. Di perhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada orang tua yang masih jongkok dan mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan tangan kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si orang tua.

Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakangi itu gerakkan tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan adalah mengejutkan kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat bagaimana topi bamboo itu melesat ke samping dan menggelinding di tanah! Kalingundil dan Saksoko saling pandang.

"Apa kataku, kau lihat?" desis Kalingundil.

Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko.

"Orang tua edan!" makinya. "Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!" Dia membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah si orang tua. Meski hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat hebat dan dapat melukakan kulit membutakan mata!

Si orang tua tiba-tiba berdiri dengan terbungkuk-bungkuk. Ditepuk-tepuknya pakaian hitamnya seperti seseorang yang sedang membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi gerakannya ini sekaligus membuat berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang ke arahnya!

"Kurang ajar betul!" damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya pukulan tangan kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke samping.

"Apa-apaan ini?!" tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, "ada apa kau serang aku?!"

Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko hanya beerapa jengkal saja di depan hidungnya. Saksoko kertak rahang.

"Orang tua gelo! Siapa kau sebetulnya?!"

Orang tua itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang sepotongpun. "Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!," katanya dan didorongkannya telapak tangan kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau tidak cepat-cepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini akan mendapat celaka.

Begitu melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan kepada orang tua itu. Pada saat inilah dari pintu rumah terdengar seruan keras:

"Ada apa di sini?! Tahan!!"

Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda berparas gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga langkan. Kemudian dilihatnya Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatinya. Meski hatinya masih diselimuti amarah terhadap si orang tua tapi melihat isyarat itu segera dia datang juga. Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah.

"Kau Ranaweleng?" tanya Kalingundil membentak.

Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu, baru ini harilah Ranaweleng dibentak orang demikian rupa dan oleh orang asing pula! Dari tampang-tampang serta sikap kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu datang bukan membawa maksud baik. Namun demikian, dengan suara ramah dia menjawab,

"Betul, Saudara, aku memang Ranaweleng," lalu tanyanya kemudian, "Saudara-saudara datang dari mana dan ada keperluan apakah?"

Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya. "Ini! Silahkan dibaca!" katanya. Gulungan surat itu dilemparkannya ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut melesat berdesing dan ujung kayu di mana surat itu disepit menancap pada tiang langkan!

Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang menancap dari tiang langkan lalu dibacanya. Kalingundil dan Saksoko memperhatikannya dengan bertolak pinggang.

"Ranaweleng keparat! Aku kasih tempo satu hari untukmu agar angkat kaki dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan istrimu! Ini adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi, jangan harap kau bisa melihat matahari tenggelam esok hari! Ini adalah perintah Mahesa Birawa"

Bergetar tubuh Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah. Dia tak pernah kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu, bahkan juga tak pernah dengar nama atau riwayat manusia itu sebelumnya. Matanya memandang melotot pada kedua tamunya,

"Mahesa Birawa ini siapa?" tanya Ranaweleng.

Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab. "Laki-laki yang kau rampas kekasihnya dan yang kini menjadi istrimu!"

Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko sudah mendahului. "Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!"

Kalingundil menyambungi, "Dan sebaiknya... apa yang tertulis di surat itu kau ikuti saja."

"Kalau tidak?," tanya Ranaweleng menindih rasa geramnya.

Kalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat kehitaman.

Ranaweleng tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatah-patahkannya kayu penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala Kalingundil, tepat mengenai mulut yang sedang tertawa mengekeh itu!

"Bangsat rendah!" hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. "Kau berani berlaku kurang ajar terhadapku, huh?!"

"Tak usah jual lagak di sini, setan!" balas menghardik Ranaweleng. "Kalian budak-budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang sama itu manusia Mahesa Birawa agar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak waras!"

"Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!" semprot Saksoko. Dari tadi dia memang sudah beringasan gara-gara si orang tua yang telah mempermainkan dan setengah menantangnya tadi. Sekali dia ayunkan langkah maka satu tendangan yang didahului oleh angin hebat melanda ke bawah perut Ranaweleng.

Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan. Saksoko bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan. Ranaweleng merunduk dan lompat ke samping. Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung lawan yang saat itu masih belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah suara seseorang.

"Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk kesasar ini?! Biar aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan santun terhadapnya!"

Ternyata yang berkata itu adalah orang tua renta kurus kerempeng yang tadi mencabuti rumput di halaman, yang merupakan pembantu Kepala Kampung Jatiwalu.

Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia membalik dan menyerang orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak jauh yang menimbulkan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di dada Jarot Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut nyawa si orang tua detik itu juga!

Tapi Jarot Karsa ganda tertawa. Sekali dia gerakkan tangan kanannya yang kurus maka setiup angin dahsyat memapaki serangan si gemuk pendek Saksoko. Angin pukulan Saksoko menyungsang balik menyerang Saksoko sendiri. Ditambah dengan dorongan angin pukulan si orang tua maka kedahsyatannya bukan olah-olah!

Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan menggelinding di tanah. Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuhnya itu segera rebah setelah terlebih dahulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan segar!

Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi. Laki-laki ini menerjang ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek membuat langkan rumah dan tanah menjadi bergetar

Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh Kalingundil. Serangkum angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh orang tua. Pasir menderu beterbangan, debu menggebu. Jarot Karsa cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin pukulan bertemu di udara menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam!

Tubuh Jarot Karsa kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi cepat bangun lagi. Keringat dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya menciut kecil. Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa!

Tak diduganya sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam Jarot Karsa! Tapi laki-laki ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya karena amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang tua bukan tandingannya. Kedua tangannya dipentang ke muak. Tangan itu kelihatan bergetar.

Jarot Karsa dan juga Ranaweleng memperhatikan gerak gerik manusia itu dengan tajam. Kelihatan kini bagaimana sepasang lengan Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna kehitaman.

"Ha.....ha....," terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, "Kau hendak pamerkan ilmu lengan tangan baja?!"

Kalingundil terkejut. Terkejut karena belum apa-apa musuh sudah mengetahui ilmu simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan dia pentang mulut.

"Bagus, penglihatanmu masih tajam juga, huh! Tapi tahukah kau kehebatan ilmu pukulan lengan tangan baja ini?!"

"Kau tak perlu banyak bacot, Kalingundil, majulah!" tantang Jarot Karsa.

Kalingundil menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan rumah. Sekali ayunkan tangan kanannya maka,

brak...!!

Tiang langkan yang besarnya hampir menyamai paha manusia patah. Atap rumah menurun miring! Sebenarnya Jarot Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia jerih menghadapi ilmu pukulan macam begitu saja!

"Ayo monyet kesasar, majulah!" katanya dengan terbungkuk-bungkuk.

Kedua telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka, sedikit miring. Kaki kiri dan kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji 'lengan tangan baja.' Angin yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang kepalang, tajam dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa, kalau kena pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan kanan menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa. Dapat dibayangkan bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur berantakan!

Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus darah melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak, lidahnya menjulur keluar seperti orang yang tercekik dan matanya melotot. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari mulutnya, tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang terdahulu.

Ranaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia yang melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. "Bapak Jarot Karasa, kau kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?"

Jarot Karsa menggeleng. "Siapa dia tak penting Raden. Yang penting ialah mulai saat ini kita musti waspada karena cepat atau lambat manusia itu pasti datang ke sini untuk membuat perhitungan dengan kita!"

Ranaweleng mengangguk. "Aku tak ingin melihat kdua orang ini lebih lama di depan rumahku. Bereskan mereka, pak Jarot."

Si orang tua tertawa mengekeh. "Tak usah khawatir... tak usah khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan hidungmu, Raden."

Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti bola, dan angsrok di luar pagar halaman.

avataravatar
Next chapter