1 Prologue

Kenalkan, namaku Elena Pentville. Aku tinggal di kota Halulu, kalian tahu kan? Kota yang terkenal dengan hutannya. Datanglah saat musim dingin karena Hutan Winter akan menjadi sangat indah, karena itulah dinamai Hutan Winter. Di tengah hutan ada pohon tua yang sangat besar dan tinggi melebihi pohon-pohon lainnya di hutan itu. Kalau aku tersesat aku akan menunggu di pohon itu dan ayah akan menemukanku. Ah, aku jadi ingat malam itu.

20 Desember 2010, saat itu umurku masih 10 tahun. Aku ikut ayah memilih pohon natal di hutan karena natal sudah dekat. Saat ayah sedang menebang pohon yang sudah kami pilih aku melihat seekor kunang-kunang lalu akupun mengikuti kunang-kunang itu. Setelah beberapa saat aku tersadar bahwa aku telah tersesat, akupun menuju pohon besar itu. Aku sebenarnya sedikit takut sendirian, bagaimana kalau ada serigala menghampiriku. Ah masa bodolah, kalau ada serigala aku akan mengajaknya berteman.

Akupun sampai di pohon itu, samar-samar aku melihat ada sesosok mahkluk bersandar pada pohon itu. Jantungku mulai berdetak kencang sambil menebak apa itu. Apakah itu? Serigala? Hantu? Atau yang lebih buruk lagi, beruang? Dengan tangan gemetar aku menyorot senterku ke arah mahkluk itu. Dan… ternyata ia adalah seorang bocah laki-laki yang tampaknya seumuran denganku. Akupun bernafas lega.

"Hei, apakah kau tersesat juga? Kau hebat juga bisa sampai di sini tanpa senter."

Akupun menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

"Aku bawa senter tapi baterainya habis saat aku sampai di sini. Aku bertengkar dengan ayahku tadi lalu aku lari. Bagaimana dengan kau? Kenapa kau bisa di sini?" dia bertanya padaku.

Aku juga menjelaskan kenapa aku bisa di sini lalu akupun menanyakan namanya.

"Kita belum berkenalan. Siapa namamu? Namaku Elena Pentville dan aku berumur 10 tahun. Panggil saja aku Eli"

Aku menyodorkan tanganku padanya.

"Namaku Haruto Kenfield, aku seumur denganmu."

Dia menjabat tanganku dengan hangat. Namanya seperti nama Jepang, tapi dia tidak terlihat seperti blasteran.

"Apakah kau blasteran Jepang? Tapi figurmu tidak terlihat seperti orang Jepang sama sekali," tanyaku padanya. Iapun terkekeh lalu menjawab,

"Aku asli orang Eropa, ibuku menyukai musim semi dan Haru dalam bahasa Jepang berarti musim semi. Ia bilang Haruto nama yang cocok untukku."

terlihat antusias saat menceritakan arti namanya itu.

Setelah beberapa saat kami dapat melihat 2 sorot senter mendekat ke arah kami. Mereka adalah ayah kami yang sedang mencari kami.

"Nah! Apa kubilang anakmu pasti berada di sini," kata ayahku pada pria di sebelahnya itu.

Tampaknya ia adalah ayah dari Haru.

"Haru, aku tahu kau marah padaku tapi ini sudah malam dan kita masih harus cari penginapan."

Ayah Haru berusaha membujuk Haru yang memang sedang ngambek padanya.

"Kalian bisa menginap di rumahku. Ada dua kamar kosong di rumahku," tawar ayahku padanya.

"Baiklah kalau begitu, terimakasih atas kebaikanmu tuan," kata ayah Haru pada ayahku.

Kamipun menuju ke rumahku karena hari juga sudah larut malam.

"Ibu, kami pulang!" sapa kami saat memasuki rumah.

Kakak laki-lakiku langsung turun dari kamarnya untuk melihat pohon natal yang dibawa oleh ayah.

"Kau memang handal dalam memilih pohon natal yah Eli." Dia mengelus kepalaku dan aku tersenyum riang.

Keluarga turis itupun ikut masuk ke rumahku dan ternyata Haru membawa seorang adik perempuan bersamanya.

"Manisnya!"

aku terpana akan keimutan adik Haru. Ia tampak malu terhadap orang sehingga ia bersembunyi di balik punggung Haru. Tiba-tiba mata adik Haru terlihat berbinar, akupun mengikuti sorot matanya dan ternyata dia sedang menatap kakakku. Kuakui kakakku memang tampan dia salah satu murid populer di sekolahnya.

"Ayah, siapa mereka?," tanya kakakku yang memang belum mengenal mereka.

"Mereka turis. Tadi kulihat mereka sedang mencari penginapan jadi kutawari mereka menginap di rumah kita karena sekarang sudah larut malam. Lagipula masih ada dua kamar kosong di lantai 1." Ia menjawab kakak sambil membawa masuk pohon yang kami tebang di pohon tadi.

Kakakpun membantu ayah menggotong pohon dan menaruhnya di sebelah perapian. Setelah pohon dibersihkan kami langsung menghias pohon itu.

"Aku ingin memasang bintangnya!" pintaku pada ayah dan ibu.

"Tahun ini giliran kakakmu loh," kata ibu padaku.

"heheheh, maaf yah Eli aku juga ingin memasang bintang." Kakak kembali mengelus suraiku.

Aku hanya cemberut menanggapinya. Setelah itu kami makan malam bersama dan tidur di kamar masing-masing.

Esok paginya aku terbangun karena terjatuh dari ranjang. Ugh, kepalaku sakit. Akupun menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.

"Pagi Eli!" sapa ibu dan akupun membalas sapaannya sambil mengucek mataku.

"apakah kau ingin membantu ibu membuat sarapan?"

Ibu terlihat sedang mempersiapkan alat-alat dapur dan akupun membantunya. Setelah selesai kamipun meletakkannya di meja makan lalu membunyikan lonceng pertanda sarapan sudah siap dan memanggil semuanya untuk makan. Kamipun makan bersama dengan nikmat.

Selesai makan, kami para anak bermain bersama di halaman. Kami membuat boneka salju dan bermain perang-perangan salju.

"Haru, aku belum berkenalan dengan adikmu loh," kataku setelah selesai bermain.

"Oh kenalkan namanya Annabette dia 3 tahun lebih muda dariku. Panggil saja dia Anna"

Haru memperkenalkan adiknya yang lagi-lagi mengumpat di belakangnya.

"Kenalkan namaku Elena, mari berteman!"

Aku menyodorkan tanganku padanya lalu ia dengan malu-malu maju dan menjabat tanganku.

"Kak apakah aku boleh bertanya?"

Tiba-tiba Anna bertanya padaku dengan suara yang seperti setengah berbisik. Dia memang benar-benar manis aku jadi ingin memeluknya.

"Tentu kau boleh bertanya. Kau ingin bertanya apa?" jawabku ke Anna.

"Itu kakak yang tampan. Siapa namanya?"

Aku dan Haru ber-sweatdrop ria mendengarnya.

"Yo! Kak! Ada yang ingin berkenalan denganmu nih!" teriakku pada kakak yang berada di ujung halaman sedang menghias boneka salju yang baru saja dibuat.

Dia datang menghampiri kami lalu bertanya,

"Kalau dipikir-pikir aku memang belum berkenalan dengan kalian," Kata kakak pada mereka.

"Namaku Victor Pentville, panggil saja aku Vict atau mungkin kak. Karena aku 1 tahun lebih tua dari Eli dan aku belum tahu berapa umur kalian."

Ia menjelaskan panjang lebar tentang dirinya. Entah hanya perasaanku atau Anna menatap lekat-lekat kakakku dengan mata yang berbinar-binar sama seperti waktu ia pertama datang ke rumahku. Tampaknya dia benar-benar mengagumi kakakku.

Kami bermain dan mengobrol di luar sampai lonceng kembali memanggil masuk pertanda makan siang sudah siap. Setelah kami makan siang ayah mengajak keluarga Haru untuk jalan-jalan di hutan, tanpa tersesat tentunya. Ia mengangguk setuju, karena mereka juga belum melihat jelas hutan itu yang menjadi daya tarik wisata kota kami. Akhirnya kami semua (ayah, kakak, ibu, dan keluarga Haru) pergi ke hutan itu. Saat sampai aku kegirangan melihat-lihat hutan itu yang terlihat sangat indah.

"Haru, sebenarnya aku ingin menanyakan ini dari kemarin. Tapi apakah kau akan tersinggung kalau aku menanyakannya?" tanyaku dengan nada penasaran.

Aku tidak melihat kehadiran ibu Haru dari kemarin.

"Memangnya apa pertanyaanmu?"

Haru yang tadinya berjalan di depanku sekarang dia berhenti dan menghadap ke arahku.

"Ibumu di mana? Kenapa dia tidak ikut?" tanyaku padanya.

Dia terlihat tersentak mendengar pertanyaanku lalu ia tersenyum tipis.

"Ibuku meninggal tahun lalu, dia meninggal di musim dingin."

Aku terkejut mendengar jawabannya, aku jadi merasa tidak enak telah menanyakannya.

"Kau tidak perlu mengasihaniku. Aku baik-baik saja." Dia mengatakan itu dengan senyum yang dipaksakan.

Matahari mulai menyembunyikan dirinya di sebelah barat tanda malam segera tiba. Kami kembali ke rumah untuk makan malam dan istirahat. Aaaaa! Sekarang rasanya aku menjadi canggung dengan Haru, seharusnya aku tak menanyakan itu. Saat sampai di rumah kami menyantap makan malam kami dan beraktivitas di ruang tamu. Padahal kami sudah menyetel mesin pemanas ke suhu yang lebih hangat, tapi malam ini memang benar-benar dingin.

"Hey Eli, apa aku boleh memanggilmu nana saja? Karena aku suka angka 7."

Tiba-tiba Haru mendekatiku dan menanyakan itu. Kau memang yang terbaik Haru, kau telah menghilangkan rasa canggungku.

"Ah, kau boleh. Tapi…memangnya apa hubungannya angka 7 dengan namaku?" tanyaku padanya.

"Kau tidak tahu?" katanya dengan wajah antusias

Akupun memasang wajah kebingungan tanda aku tak mengerti.

"Baiklah aku akan menjelaskannya padamu. Dalam bahasa jepang nana '七' artinya 7," terangnya padaku,l.

Akupun ber-oh ria.

"Lalu kenapa kau suka angka 7?" tanyaku penasaran.

"Karena angka 7 itu angka sempurna! Sempurna itu keren!" dia berkata dengan antusias

"Kalau aku menjadi sempurna apa kau akan menyukaiku?"

heheheh tiba-tiba aku jadi terpikir untuk menggodanya.

"e…k-k-kalau itu aku tidak tahu," jawabnya padaku.

Rona merah muncul di pipinya, akupun tertawa geli melihat reaksinya yang lucu.

Tak terasa 4 hari sudah keluarga Haru menginap di rumahku, merekapun memutuskan untuk pulang ke kota asalnya.

"Apakah kau tidak bisa menunggu sampai natal selesai, Haru?"

Aku menanyainya dengan nada yang dibuat memelas. Diapun tersenyum hangat ke arahku,

"Aku suka kota ini tapi aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Aku juga punya janji dengan teman-temanku?" dia mengatakannya sambil menggaruk tengkuknya.

"Lalu apa kita bisa ber-"

Saat aku tengah berbicara tiba-tiba adik Haru dengan semangat maju dan menghampiri kakakku,

"Kita bisa bertemu lagi kan kakak tampan?"

Seperti biasa ia menatap kakakku dengan tatapan yang berbinar-binar. Kami yang melihatnya hanya sweatdrop ria.

"Aku yakin kita bisa bertemu lagi. Kenapa tidak?" kakakku menjawab Anna dengan ramah.

"Eli aku akan mengunjungimu setiap Desmber. Aku tahu kau akan menanyakan hal yang sama dengan Anna."

Dia tersenyum hangat. Aku sangat senang mendengar dia akan datang setiap Desember.

"Oh yah Nana. Aku hampir lupa. Ayo kita bertukar alamat agar aku bisa bertukar surat denganmu."

Ia menyodorkan pulpen dan kertas ke arahku lalu kami bertukar alamat dan juga nomor handphone.

Kami sering mengobrol lewat SMS juga telepon, dan beberapa minggu sekali ia akan mengirimkan kartu pos beserta surat padaku. Aku juga serim mengiriminya surat, terkadang kami saling mengirimi cinderamata. Suatu kali ada juga surat dari adiknya yang ditujukkan pada kakakku.

Tentu aku tidak mengintipnya, itu adalah privasi seseorang. Ehem, sebenarnya aku mengintip sedikit. Isinya penuh pujian dan puisi untuk kakakku, aku tidak menyangka si imut itu ternyata puitis juga yah.

Pada natal 2012 keluarga Haru datang mengunjungi kami dan kami merayakan natal bersama.

"Nana, ini kado untukmu."

Dia menyerahkan sebuah kado berbentuk kotak yang agak kecil tapi tidak besar juga. Aku juga memberikannya kado berupa syal rajutan. Kami saling membuka kado masing-masing dan Haru sangat senang memakai syal warna coklat yang kuberikan padanya. Aku sengaja memilih warna coklat karena senada dengan warna mata juga rambutnya. Isi kado Haru adalah kalung dengan liontin bunga bluebell.

"Wah, kalung ini indah sekali! Aku sangat menyukainya."

Aku tersenyum sumringah memandangi hadiah yang Haru berikan padaku.

"Aku sengaja memilih bunga bluebell karena warnanya biru seperti matamu dan bunga itu hanya tumbuh pada musim semi. Kau tahu maksudku kan?" tanyanya padaku.

"Tentu saja! Arti namamu itu kan musim semi. Terima kasih atas kadomu Haru."

Aku sangat senang menerima kado ini dari Haru.

"Aku juga sangat menyukai kadomu, sekarang leherku terasa hangat dengan syal rajutanmu," katanya.

Entah sejak kapan perasaan ini muncul saat aku menulis surat untuknya ataupun berada di dekatnya. Perasaan nyaman, tegang, juga malu saat berada di dekatnya. Apakah aku suka padanya? Aku bertanya pada diriku sendiri sambil memegangi pipiku yang sudah memanas karena memikirkannya.

Setelah hari itu aku mulai menyadari bahwa aku mulai menyukainya, aku mulai lebih sering mengiriminya SMS, cinderamata, dan kartu pos. Setiap pulang sekolah aku akan selalu mengecek kotak surat untuk mengecek apakah dia sudah mengirim sesuatu. Aku bahkan menunggui pesan-pesannya di handphone. Walau kadang hanya sekedar pesan singkat aku selalu senang saat mendapat balasan.

Aku juga mulai menguasai skill-skillku karena dia menyukai sesuatu yang sempurna jadi aku harus jadi sempurna untuknya. Bisa dibilang aku anak yang cukup cerdas jadi ada beberapa skill yang dapat kukuasai dengan mudah. Tapi tidak semua, aku paling payah dalam musik dan masak. Yah, memang tidak seburuk itu tapi aku juga tidak pandai dalam kedua bidang tersebut.

Aku menjadi sangat antusias dan semangat setiap harinya. Aku menunggu selalu tidak sabar menanti Desember agar bisa bertemu lagi dengannya. Kalung yang ia berikan padaku selalu kukenakan ke mana saja.

Hingga SMS itu datang, seminggu sebelum desember ia mengirimkan SMS padaku. Isinya tidak begitu panjang tapi cukup mengejutkan. 'Adikku sakit kanker, aku rasa aku tidak bisa mengunjungimu lagi.' Begitulah isinya. Akupun segera mengirim surat balasan yang berisi motivasi dan semangat padanya. Aku sedikit sedih mendengar bahwa ia tidak bisa mengunjungiku lagi, tapi setidaknya aku masih bisa mendengar kabarnya.

Kami masih aktif mengirim kabar untuk beberapa saat, tapi perlahan dia mulai lebih jarang mengirimiku SMS. Kartu pos dan cinderamata darinya juga perlahan semakin jarang dikirim. Sampai pada satu titik dia tidak lagi memberiku kabar lewat manapun. Aku meneleponnya tapi nomornya diganti, akupun mengirimnya surat tapi dia juga tidak membalas.

Aku terus menungguinya hingga pada satu titik aku menyerah. Aku kehilangan semangatku untuk menguasai hal-hal yang tadinya ingin kukuasai. Aku masih melatihnya tapi tidak seantusias dulu.

1 tahun sudah ia menghilang tanpa kabar, sekarang aku sudah tidak memikirkannya lagi. Aku sudah move on dari Haru, mungkin dia juga sudah melupakanku. Aku masih memakai kalung darinya karena kalung itu memang kalung favoritku dan aku menyukainya.

Sekarang aku sudah lumayan menguasai skill-skillku, tujuanku sekarang bukan untuk Haru tapi entah kenapa saat aku bisa melakukan sesuatu dan mendapat pujian aku menjadi senang. Aku jadi antusias lagi untuk melatih skill-skillku.

avataravatar
Next chapter