1 Goodbye Bandung

Tengah hari ini matahari muncul dengan sinar yang mampu membuat semua orang menghentikan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan luar dan lebih memilih berdiam diri di dalam rumah.

Hari ini Sena akan meninggalkan kota Bandung, tempat di mana Tuhan memberikan rasa sakit hatinya melalui seseorang yang ia cintai. Rasanya susah sekali untuk mengubah perasaannya saat ini.

"Sayang ... udah belum? Kita berangkat sekarang," ajak Rini pada Sena yang masih berdiri di ambang pintu, matanya menyusuri seluruh isi rumah di setiap sudutnya. Seharusnya tidak perlu dirinya berlama-lama hanya untuk mengingat hal-hal pahit yang ia lalui di dalam rumah berdinding hijau muda itu. Pertengkaran telah mewarnainya, teriakan, umpatan, tangisan, dan pecahan kaca, semua bercampur menjadi nada sumbang yang terus-menerus harus Sena dengar. Kata cerailah yang mengakhiri semua perseteruan di bawah atap rumah itu.

Sena berharap dia bisa hidup bahagia meskipun tanpa papanya. Harapannya tak berhenti sampai situ, dia juga berharap setelah insiden itu hubungan kedua orang tuanya akan baik-baik saja, tanpa adanya permusuhan. Mereka berdua akan menepati kota Jakarta, di mana keduanya dilahirkan.

"Sayang ... Pak Irwan udah nunggu lama lho, kasihan," ucap Rini yang berdiri sedikit jauh di belakang putrinya.

Tidak ada jawaban.

Setelah menunggu cukup lama, Sena hanya bergeming, tidak berkutik sama sekali. Rini pun berbalik meninggalkan putrinya, berjalan menuju mobil yang sudah terpakir di depan pekarangan rumahnya. Fokusnya masih setia pada rumah yang berdiri kokoh di hadapannya itu, bangunan itu berhasil memberikan warna pada kehidupannya, hitam pekat; gelap.

"Sayang ... mau sampai kapan?" tegur Rini sedikit keras.

Sena yang sedari tadi bergeming, kini menetralkan dirinya. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. "Baik. Ini adalah hariku. Allah membersamaiku. Aku siap. Harus yakin! Teruntuk diri, kau kuat. Sangat kuat. Percayalah," gumamnya yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Sena mengembuskan napas kasar, tangannya meraih kenop pintu, ia menutupnya rapat, sangat rapat hingga berbagai kenangan tetap bersarang di dalamnya.

Langkah kakinya berjalan mundur perlahan, sedangakan matanya masih terarah pada rumah yang berdiri kokoh di hadapannya. Sena menghilangkan lamunannya, kembali menyadarkan dirinya. Berbalik memutar arah, menghampiri mamanya yang setia menunggu di dalam mobil.

"Maaf ya, Pak. Udah bikin nunggu lama," ucap Sena sembari menempatkan posisi duduknya di sisi Rini.

"Tidak apa-apa, Non," balas Pak Irwan seraya menoleh sekilas.

"Jalan, Pak!" perintah Rini.

"Baik, Nyonya." Pak Irwan mulai mengemudikan mobil hitam yang kini melaju meninggalkan pekarangan rumahnya.

"Udah ya, Sayang. Kita lupain semuanya. Kita mulai lembaran hidup yang baru, ya? Pokoknya mama mau kamu tetep semangat seperti biasanya. Ingat! Kita udah tiga bulan ini menjalani hidup tanpa papa, bukan? Mama tau dan yakin, Sena itu kuat! Anak mama itu hebat." Rini tersenyum, tangannya menyentuh puncak kepala Sena dengan sangat lembut ia mengusapnya. Sena mendongak, tersenyum, lalu disusul dengan anggukan kepalanya. Ia menyandar pada pundak yang selama ini menopang dirinya. Nampaknya Pak Irwan ikut terbawa suasana, terlihat dari matanya saat melihat sepasang ibu dan anak yang saling menguatkan dari balik kaca di depannya.

Microsoft Word, itulah yang pertama kali terlihat pada layar smartphone yang berada dalam genggamannya. Jemarinya mulai menari-nari secara bergantian di atas layar benda berbentuk pipih berselimutkan jelly case bergambar bunga dandellion.

Selamat tinggal rumah, aku akan memulai lembaran yang baru tanpa adanya gangguan lagi. Selamat tinggal Papa, aku harap Papa akan selalu bahagia walau tidak lagi bersama kami. Tenang, Pa, suatu saat Sena akan mengunjungi Papa. Apakah Papa tau? Sena berpikir dunia telah berhenti, kehidupan telah mati, dan Sena jatuh rapuh tanpa adanya keluarga yang lengkap. Dan ternyata, semua pikiran yang memenuhi kepala Sena itu tidak berarti apa-apa. Buktinya, sudah tiga bulan lebih selama Papa dan Mama tidak lagi bersama, Sena baik-baik saja.

Selamat tinggal Bandung, aku akan mendatangimu lagi, tapi entah kapan. Dan selamat tinggal kamu, pengisi hari demi hari dan juga hatiku, orang yang telah berhasil membuatku membangun kepercayaan padamu, meskipun pada akhirnya kamu robohkan. Aku harap kita dapat bertemu lagi, dengan perasaan yang semakin lama akan semakin lenyap.

Bandung, 11 Agustus 2015

"Lagi, ngetik apaan sih, Sayang? Sedari tadi Mama perhatiin kamu sibuk sendiri sama benda itu," tanya Rini yang sedari tadi menyadari gerak-gerik Sena. Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh mamanya, Sena sesegera mungkin menekan tombol yang langsung mengarah pada halaman pertama. Ditegakkannya tubuh serta kepala dari posisi semula, ia menarik tubuhnya mendekat ke jendela.

"Ah, Mama. Sibuk apanya? Sena cuma mau ngirim pesan ke Silvi. Mama tau, kan? Kemarin Sena nggak ada waktu buat ketemuan." Sena beralasan.

Rini mengangguk, mengerti.

Benar. Rini memang mengetahuinya, kemarin mereka benar-benar sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Rini yang mulai berkemas-kemas serta berbelanja sedikit kebutuhan untuk mereka makan di rumah barunya, dan Sena yang sedang mencari-cari buku yang kemungkinan akan ia butuhkan saat berada di sana.

Sena memandang ke luar jendela dalam diam, menyapu sederet pepohonan yang nyaris terlihat sama. Keinginan untuk memiliki sebuah laptop masih bergelayut dalam pikirannya. Menjadi seorang penulis dengan karya yang tersusun rapi pada rak-rak di pusat perbukuan, itulah impiannya.

DON'T LOSE YOUR DREAM, salah satu kalimat yang selalu membuat dirinya bersemangat, kalimat yang acap kali diucapkan oleh laki-laki pendukungnya saat semangatnya patah.

"Ma ... Sena boleh minta laptop?" tanya Sena pada mamanya penuh harap dengan menunjukkan sederet gigi putihnya yang tersusun amat rapi.

"Minta sama Allah, Sayang. Mama nggak punya apa-apa, semesta beserta isinya milik Allah, bukan?" balas Rini lembut.

Sena tersenyum, lalu berkata, "Astaghfirullahaladzim. Maaf, Ma, Sena khilaf."

Rini tersenyum. "Wajar, Sayang," balasnya. "Kalau terus-terusan namanya kurang ajar," lanjut Rini disusul tawanya. Sena ikut tertawa mendengar perkataan mamanya.

"Ma, Sena ngantuk."

"Yaudah, tidur sini," ucap Rini seraya menepuk bahu kirinya.

Sena menyandarkan kepala pada bahu mamanya. Rini amat sangat bersyukur, dikaruniai seorang putri yang begitu kuat.

Rasanya perjalanan kali ini amat sangat melelahkan, sampai-sampai Sena terlelap di alam mimpinya. "Apalagi yang akan Anda jelaskan! Itu semua sudah cukup jelas bagi saya!" ucap gadis itu yang tidak lain adalah dirinya sendiri, menjadi asing untuk saat ini memang sangat tepat baginya.

avataravatar