webnovel

Part 1

     Duduk dihadapan meja kerjanya yang dipenuhi dengan berbagai macam dokumen. Tangannya tanpa henti membalik lembar demi lembar. Sesekali menyesap kopi guna menepis rasa kantuk yang mulai menyerangnya. Ia lirik jam tangan yang ia letak asal di atas meja kerjanya. Ya, dia tidak terlalu nyaman menggunakan sebuah jam tangan.

     Keningnya mengerut ketika jarum jam menunjukkan pukul 11 malam. Dia tidak menyadari itu, ternyata dia sudah melewati sepanjang harinya di meja kerja. Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan malas.

     Tok tok tok!

     "Apa anda tidak lelah, Direktur?"

Tanya sekretarisnya yang akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Tentu karena setelah dipaksa karyawan lainnya yang sudah kelelahan ingin segera pulang namun tidak berani dikarenakan Direktur mereka masih berada didalam ruang kerjanya.

     "Kenapa kau masih disini?"

     "Aa.. Aku tidak mungkin pulang jika Direktur masih disini."

     Lelaki itu diam sejenak. Mencoba memahami perkataan sekretarisnya. Dilihatnya kembali jam tangan miliknya yang masih dibiarkan terletak asal diatas meja kerjanya, lalu beralih menoleh ke dinding kaca yang memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit diluar sana, dengan langit malam yang hitam pekat tanpa bintang.

     "Pulanglah. Aku akan pulang sebentar lagi."

     "Kalau begitu akan saya tunggu-"

     "Pulang saja!" bentaknya. Membuat sekretarisnya mengerjap kaget dan langsung keluar dari ruangannya.

     Trrrt.. Trrrt.. Trrrt..

     Baru saja ia hendak meraih dokumen lainnya, suara getar ponselnya mendadak terdengar membuatnya mendengus kesal. Diliriknya ponsel yang berada tidak jauh dari jam tangannya berada. Tatapannya terlihat bimbang diantara menerima atau menolak panggilan itu. Ia kembali mendengus dan kali ini terdengar seperti menyerah. Menyerah untuk tidak menghiraukan panggilan itu.

     [Yak! Kenapa baru kau angkat!] teriak seorang Wanita dari balik ponselnya.

     "Ada apa?"

     [Hoh, ada apa dengan suaramu? Kau masih di kantor ya?]

     "Aku tanya ada apa? Kenapa kau menghubungiku?"

Ia kembali memeriksa dokumen seraya mendengar celotehan sahabatnya itu melalui speaker ponselnya.

     [Begini.. Jika eomma bertanya padamu, tolong katakan padanya bahwa aku masih di Jepang. Mengerti?] Dirinya yang tadinya sibuk membolak balik dokumen mendadak berhenti bergerak.

     "Kau sudah kembali ke Seoul?" Ia tampak kaget. Raut lelah menghilang seketika dari wajah tampan nan rupawannya.

     [Ehei, mana mungkin aku menghubungimu jika masih di sana.]

[Ingat kata-kataku kan? Katakan pada eomma-]

     "Maaf sekali, aku tidak bisa."

     [Yak!]

     [Awas jika kau mengatakan yang tidak-tidak! Hajoon-a, kumohon, sekali ini saja.] Mencoba berbicara dengan nada imutnya yang terlalu dipaksakan.

     "Maaf."

     [Aish! Begini, aku sedang menyiapkan pesta kejutan untuk Joon Young oppa. Apa kau tega melihat kerja kerasku gagal total karena harus pulang kerumah? Kau kan tahu, eomma tidak suka dengan oppa. Dan juga, oppa tidak mengetahui keberadaanku saat ini, aku juga belum mengabarinya mengenai kepulangan mendadakku ini. Aku benar-benar berharap pesta kejutan ini sukses tuntas. Hajoon-a, kumohon.. Bantulah sahabatmu yang cantik jelita ini.]

     Kali ini ia terdengar memelas. Lelaki yang dipanggilnya Hajoon itu tengah memikirkan permintaannya.

     "Hmm, baiklah."

     [Wah.. Terimakasih!] dan langsung memutuskan panggilan itu.

     Hajoon hendak menyesap kopinya. Tapi ternyata cangkirnya sudah kosong. Ia sandarkan tubuhnya pada kursi kerjanya. Mengamati langit ruang kerjanya yang remang. Dalam sepi kembali terdengar helaan nafas lelahnya. Sayangnya, ketika itu ponselnya kembali bergetar.

     [Hajoon-a!] teriak seseorang tepat ketika ia mengangkat panggilan itu. Ia bahkan belum sempat menyapa.

     [Apa Je Ah ada menghubungimu? Aku dengar dari teman-temannya dia sudah kembali ke Seoul. Tapi kenapa hingga kini dia belum pulang juga? Nomornya juga tidak bisa dihubungi. Apa dia menggunakan nomor lain?]

     Ya, itu ibunya Wanita itu. Ibunya Kim Je Ah. Hajoon memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya agar nantinya bisa berkata dengan benar.

     "Omoni, sebenarnya tadi Je Ah baru saja mengubungiku."

     [Benarkah? Apa yang dia katakan? Aish, Kenapa dia malah menghubungimu dan bukannya menghubungiku!]

     "Dia.." sulit untuknya berbohong. Bahkan bisa dikatakan nyaris tak pernah berbohong.

     [Ya? Apa yang dia katakan?]

     "Dia.." Untuk kesekian kalinya ia mendengus kesal.

     "Dia memintaku untuk menjemputnya besok sore di bandara." dan sukses berbohong berkat Wanita nakal itu.

     [Begitu? Yasudahlah. Maaf sudah mengganggumu. Aa, Apa kau masih di kantor?]

     Hajoon kembali bingung untuk menjawab.

     [Hajoon-a, Jangan terlalu memaksakan dirimu. Bersantailah sedikit. Jangan sampai jatuh sakit. Apa kau sudah makan?]

     Hajoon tersenyum mendengar itu. Ya, Ibu Je Ah lah yang selama ini bersikap baik padanya, tak seperti ibunya yang hanya memperhatikan penampilan putranya saja. Bukannya tidak baik, tapi ibu Hajoon yang tak sadar umur memang terlalu berlebihan dalam mencintai fashion, hingga lupa mengurus keluarga kecuali masalah pakaian suami dan putra satu-satunya itu.

     "Sudah kok omoni. Aku juga sudah mau pulang."

     [Kalau begitu aku akan tunggu kedatanganmu besok. Aku akan masak banyak untukmu. Aa, Langsung bawa Je Ah pulang. Dan kumohon. Jangan dengarkan kata-katanya. Dia itu iblisnya iblis, kau kan tahu itu. Jangan sampai terhasut dengannya. Mengerti?]

     "Ne omoni."

     [Sampai jumpa besok.] Dan Hajoon benar-benar menyudahi pekerjaannya pada hari itu.

--

     Meraih ponsel dan jam tangannya lalu ia masukan kedalam saku jas merah maroonnya. Hajoon melangkah keluar dari ruang kerjanya. Ia melewati meja kerja karyawannya yang sudah pulang sedari tadi, tepatnya setelah dia mengijinkannya. Tak jauh darinya dilihatnya seorang office boy yang tengah menyapu sisa sampah, ulah dari karyawannya. Office boy yang berumur 60an itu tersenyum ramah kepadanya ketika dilihatnya sang Direktur tengah melangkah kearahnya.

     "Selamat malam, Direktur?" sapa si office boy. Hajoon berhenti dihadapannya, menatapnya kasihan.

     "Pak Choi? Kenapa anda belum pulang?"

     "Aku akan pulang setelah menyelesaikan pekerjaanku. Direktur, anda terlihat sangat kelelahan."

     Kata office boy itu dengan senyuman diwajahnya. Ia terlihat nyaman berbicara dengan Hajoon, tidak seperti karyawan lainnya yang selalu bergetar ketakutan ketika menghadap Direktur muda mereka itu.

     "Dan anda lebih terlihat kelelahan. Bapak pulang saja dan lanjutkan lagi besok."

     "Aku hanya perlu membersihkan beberapa meja lagi. Lagi pula mereka akan kesal jika melihat meja kerja mereka berantakkan." Masih berusaha memperlihatkan senyuman dari balik raut lelahnya.

     "Mereka memarahimu?" Kening Hajoon mendadak mengerut.

     "Direktur, berhentilah membuat mereka ketakutan padamu."

     "Tidak, aku harus seperti ini agar mereka tidak menyepelekan tugas mereka. Pak Choi, dengarkan aku baik-baik. Aku memperkerjakanmu sebagai office boy bukan dikarenakan keinginanku. Tapi karena terpaksa, karena pendidikanmu. Jika tidak aku sudah menempatkanmu di bagian yang lebih baik. Aku tidak tahan melihat wajahmu yang selalu terlihat kelelahan seperti ini."

     "Terimakasih banyak. Tapi dengan anda memberikan pekerjaan ini saja aku sudah sangat bersyukur. Paling tidak istri dan anak-anakku tidak kelaparan lagi. Direktur, kuharap anda tidak mengingat kejadian itu lagi. Aku dan istriku sudah mengikhlaskan kepergiannya. Anda tidak perlu merasa bersalah lagi."

     "Saya akan lanjut bekerja. Permisi."

     Pak Choi meninggalkan Hajoon disana. Yang masih merasa bersalah akan peristiwa 1 tahun yang lalu. Dengan lesu Hajoon melangkah menuju lift.

     Bersandar pada dinding lift yang keseluruhannya terbuat dari kaca. Dapat ia lihat pantulan tubuhnya pada ruang petak sempit itu. Jas maroon dan celana bahannya yang juga berwarna maroon. Lalu dibalik jas tampak kemeja putih tanpa dasi yang kini tengah dibuka dua kancing teratasnya. Rambut hitamnya masih tertata rapi, memperlihatkan alis tegasnya. Manik matanya yang kecoklatan terus mengamati kondisinya kini. Tidak buruk, tepatnya tidak terlihat buruk. Walau kini perasaannya tengah gundah setelah bertemu Pak Choi tadinya.

     Pintu lift terbuka dan terlihatlah lobi perusahaannya yang sudah sepi. Di lobi yang luar biasa luas itu hanya terlihat dua orang petugas keamanan disana. Ah, Juga ada sopir pribadinya yang tengah mengobrol santai dengan kedua petugas itu. Melihat kedatangannya sang sopir langsung berlarian kearahnya dengan senyumannya yang sangat Hajoon benci. Mengapa? Karena membuat Hajoon ingin tertawa dan Hajoon benci tertawa apalagi ketika ia sedang berada di kantornya.

     "Tuan! Tuan! Kau sudah mau pulang?" tanya Sopirnya yang terlihat berlebihan.

     "Dimana tas kerjamu, Tuan? Aa, kau tidak pernah menggunakannya. Aa, Tuan—"

     "Hyung, berhenti berteriak." sela Hajoon yang sudah melangkah melewatinya.

     "Baiklah."

     Ia berlari melewati Hajoon. Sedikit menyenggol tubuh tuannya itu. Dengan menahan tawa karena tahu bahwa Hajoon tengah kesal akan ulahnya, ia semakin berlari kencang menuju mobil dimana tadinya ia pakirkan di depan pintu masuk. Hajoon sudah sangat kelelahan dan tidak sanggup untuk bermain lagi dengan sopirnya itu.

--

     "Tuan, kemana aku harus mengantarmu? Kerumah atau ke apartemen?" tanya Sopirnya yang tengah menyetir santai. Tidak, tidak santai berkat musik hip hop yang sopirnya nyalakan.

     "Hyung, matikan musiknya."

     "Baiklah."

     "Jadi kemana aku harus mengantarmu, Tuanku yang tampan?"

     "Yongsup hyung. Kemana sebaiknya aku pergi ketika aku merasa lelah?"

     "Ke apartemen tentunya."

     Hajoon mengangguk pelan dan mulai memejamkan matanya.

     Lagi pula sejak kapan aku pulang kerumah.

     "Tuan!"

     Teriak Yongsup yang mendadak mengurangi laju mobilnya. Membuat Hajoon memutar bola matanya dengan kesal. Padahal dia baru saja berniat tidur sejenak.

     "Tuan, bukankah itu Joon Young? Dia sedang bersama siapa? Bukankah Je Ah masih di Jepang?"

     "Je Ah sudah pulang." Hajoon mencoba kembali menutup mata.

     "Tapi sepertinya dia tidak sedang bersama Je Ah." Gumam Yongsup yang membuat Hajoon membulatkan matanya besar-besar.

     "Berhenti!"

     Sopirnya itu reflek menginjak rem mobil. Usai itu Hajoon langsung keluar dari mobil tepat ketika mobil berhenti di tepi jalan. Ia berdiri disamping mobilnya, mengamati Lelaki yang diduga Joon Young. Alias kekasih Je Ah. Kekasih sahabatnya.

     Itu bukan Je Ah.

     Pikirnya sembari mengamati wanita yang tengah di gandeng mesra oleh Joon Young. Sejenak ia teringat pada sahabatnya itu. Segera ia raih ponselnya lalu menghubungi Je Ah. Tidak diangkat.

     "Aish! Cepat angkat!"

     "Tuan, masuklah. Apa kau tidak merasa dingin?"

     Tegur Yongsup dari dalam mobil setelah menurunkan kaca mobil disamping Hajoon.

     Baru Hajoon sadari, butiran salju tengah melayang di udara. Ia terbatuk kecil ketika angin masuk melalui cela jasnya. Matanya kembali mengamati kedua manusia disana, yang kini tengah masuk kedalam sebuah mobil seakan siap meluncur pergi. Hajoon tersentak. Ia langsung melangkah cepat kembali kedalam mobil.

     "Hyung! Pergi ke apartemen Joon Young hyung sekarang!"

     "Heee? Buat apa, Tuan?"

     "Lakukan saja perintahku!"

--

     Yongsup menurunkan Hajoon didepan sebuah gedung apartemen yang setelah itu sudah ditinggal jauh oleh Hajoon. Seperti yang telah Hajoon katakan sebelum dirinya turun, Yongsup memilih memarkirkan mobil di parkiran depan agar nantinya bisa segera berangkat ketika Hajoon kembali. Sedangkan Hajoon, kini ia tengah berlari sekencang yang ia bisa. Berusaha secepat mungkin sebelum Joon Young tiba disana.

     Berdiri gelisah didalam lift. Menatap layar ponselnya yang sedang memperlihatkan nomor sahabatnya. Tapi tak sekalipun diangkat Wanita itu. Pintu lift terbuka dan Hajoon kembali berlari keluar dari sana. Bahkan sampai menubruk orang yang hendak masuk kedalam lift tanpa sempat meminta maaf. Dapat ia lihat dari kejauhan, sebuah pintu yang berada di ujung koridor. Ya, itu pintu apartemen Joon Young.

     Ia menekan bel berkali-kali. Sedangkan tangannya yang lainnya masih terus menghubungi nomor Je Ah. Dapat ia dengar itu, kerusuhan yang berbisik dari balik pintu besi dihadapannya. Wanita itu pasti tengah kerepotan menyiapkan pesta kejutan. Bebunyian yang tadinya terus terdengar mendadak senyap. Yang terdengar hanya suara bel yang Hajoon tekan. Matanya kini menatap fokus ke gagang pintu. Benar seperti yang ia duga, gagang pintu bergerak pelan dan pintu terdorong kedepan, membuatnya melangkah mundur lalu bergerak kesamping.

     "Tadaaaaa..."

     Sorak Je Ah yang siap meniup terompetnya. Tapi sedetik kemudian raut wajahnya berubah datar. Je Ah mendelik kesal melihat keberadaan Hajoon disana.

     "Hah. Apa ini kau, Kim Je Ah?"

     Tak habis pikir melihat kondisi sahabatnya itu. Rambut Je Ah di kepang dua, lalu memakai atribut pesta ulang tahun lengkap dengan topi, topeng dan terompetnya. Yang lebih pantas Wanita itu berikan ke bocah ingusan. Dibalik tubuh Wanita itu, dapat Hajoon lihat sekumpulan balon warna warni yang memenuhi dinding rumah. Je Ah pasti sudah sangat kelelahan.

     "Kenapa kau kesini? Pergilah.. Oppa akan segera datang. Aku tidak mau kau merusak pestanya."   

     Tapi Hajoon malah mencengkram tangannya.

     "Kita pergi sekarang."

     "Aa, sepatu dan tasmu. Cepat ambil."

     Je Ah masih berdiri diambang pintu dengan tatapan penuh tanya.

     "Cepat ambil—"

     "Kau ini apaan sih! Aku kan menyuruh kau pergi! Kenapa kau malah mengajakku juga? Kau kan tahu aku mau—"

     Tidak lagi mendengarnya. Hajoon sudah masuk kedalam apartemen itu. Kakinya bergerak lincah mencari tas Je Ah. Setelah mendapatkannya, ia kembali keluar dan tak lupa menyambar sepasang sepatu kets milik Je Ah. Ia tarik tangan Je Ah dengan kuat hingga membuat Wanita itu terpaksa melangkah mengikutinya.

     "Yak Kim Hajoon! Apa yang sedang kau lakukan?!!"

     "Dengarkan saja kata-kataku."

     Hajoon terus menyeretnya hingga mereka berdiri di depan lift.

     "Lepaskan tanganku! Kau ini kenapa sih? Aku harus kembali—"

     "Tidak, kau harus ikut denganku."

     Hajoon fokus melihat pintu lift. Masih mencengkram tangan Je Ah. Sedangkan tangannya yang satu lagi memegang tas dan juga sepatu Wanita itu.

     "Kau gila ya? Aku harus kembali untuk—"

     "Tuan!" Teriak Yongsup yang baru saja keluar dari pintu menuju tangga darurat.

     "Ayo lewat sini!"

     Kini malah Yongsup yang menarik mereka berdua untuk segera masuk melalui pintu darurat tempat dimana tadinya dia muncul.

     "Kenapa? Ada apa?"

     Hajoon merelakan tubuhnya yang didorong Yongsup. Sedangkan Je Ah hanya diam kebingungan. Tepat ketika Yongsup menutup pintu darurat, terdengarlah suara pintu lift terbuka. Yongsup langsung memberi isyarat untuk diam. Disana pun mendadak senyap, yang terdengar hanya sisa helaan nafas mereka.

     "Seharusnya tadi aku membelikanmu hadiah. Maaf, aku benar-benar lupa." suara itu terdengar dari arah pintu darurat yang ada disamping mereka.

     "Kau bisa berikan hadiahnya nanti."

     Dugg!

     Je Ah mengenal suara itu. Hajoon dan Yongsup langsung menatapnya secara bersamaan. Dilihatnya Je Ah yang hendak membuka pintu itu, tapi Hajoon menahannya. Ditatapnya wajah Hajoon yang terlihat tengah mencemasinya.

     "Aku harus melihatnya langsung." Hajoon semakin mencengkram tangannya.

     "Kumohon, lepaskan aku. Apapun itu aku akan siap menerimanya."

     "Hajoon-a, Kumohon."

     Suara Je Ah terdengar bergetar, membuat Hajoon reflek melepaskan cengkraman tangannya. Je Ah langsung menarik pintu, melangkah dengan yakin menuju pintu apartemen sang kekasih. Masih disana, Hajoon mencoba menahan diri untuk tidak mengikutinya. Bersama Yongsup, mereka memilih duduk di tangga.

--

     Mereka masih duduk di sana. Di anak tangga yang bersih seakan tak pernah tersentuh. Melihat Hajoon yang ikut duduk bersama sopirnya, membuat aura seorang Direktur didalam dirinya hilang sesaat. Sudah 10 menit sejak kepergian Je Ah. Mereka tidak bisa menebak akan menunggu berapa lama lagi. Saat ini sudah sangat larut, bahkan mungkin sudah pagi, hanya saja masih dengan langitnya yang gelap.

     "Tuan, kau tidak lelah? Mau tunggu di mobil saja?" tegur Yongsup yang tengah bersandar pada dinding.

     "Aku baik-baik saja." Hajoon menunduk ke tangannya yang terkulai diantara kedua pahanya.

     "Hyung, bagaimana kabar anakmu? Bukankah dia sudah akan masuk sekolah?" Tanya Hajoon tanpa menoleh.

     "Hmm, bulan depan dia mulai masuk sekolah." Membuat Yongsup mendadak bersemangat dan langsung membayangkan wajah anaknya.

     "Sekolah mana yang menjadi pilihanmu?" Masih menunduk.

     "Sekolah biasa. Dekat dengan rumahku."

     "Kenapa begitu? Kau bisa saja memasukkannnya ke sekolah terbaik disini. Aku akan membantumu—" Ia tatap sopirnya itu.

     "Bukan masalah uang. Aku hanya ingin anakku menjalani hidup yang sederhana. Jadi nantinya ketika ia sudah dewasa ia tidak akan terkejut lagi apabila sesuatu menimpanya."

     Ia tahu itu. Hajoon memang tipe Lelaki penyayang. Yang selalu mencoba membantu banyak orang. Bahkan hampir dari keseluruhan kekayaan yang Yongsup dapatkan merupakan dari Hajoon.

     Benar bahwa Yongsup sudah bekerja dengan Hajoon selama 10 tahun lamanya. Bahkan sebelum Hajoon menjadi seorang Direktur yang ditakutkan kini. Jika menghitung berapa banyak gaji seorang sopir, tentu tidak akan sebanyak yang ia dapatkan. Itu karena Hajoon selalu memberikannya lebih.

     Brukk!

     Suara pintu terbanting mengagetkan mereka. Keduanya langsung bangkit dan mendapatkan Je Ah disana. Bersandar pada pintu yang baru saja Wanita itu banting. Wajah Je Ah terlihat bringas dengan airmata yang terus mengalir di wajah manisnya. Kedua tangannya mengepal erat dengan sedikit bercak darah yang menodai jemarinya. Tentu Hajoon melotot melihat keberadaan darah itu.

     "Apa yang terjadi? Kenapa tanganmu—"

     "Kita pergi sekarang." kata Je Ah melangkah menuruni tangga.

     "Aa," Langkahnya terhenti. Kini balik menaiki tangga, Membuka pintu yang tadinya ia banting.

     "Untuk apa kita menggunakan tangga jika ada lift."

     Hajoon dan Yongsup saling menatap sesaat. Sebelum akhirnya keduanya tersentak dan segera menghapiri Je Ah yang sudah berdiri di hadapan lift.

-

-

-

-

-

-

Hi.. Cerita ini sudah terbit!!!

Untuk pemesanan White Romance bisa langsung WA penerbitnya ke 081904221928

Atau bisa kunjungi webnya(cari aja di google Leutikaprio)

Sistemnya PO ya. Akan dikerjakan selama 10-14 hari setelah konfirmasi pembayaran.

Jika ada yang ingin ditanyakan, kalian bisa dm ig @hyull

Harga buku 78.000

Bagi yang penasaran, bisa langsung diorder ya..

Maacii... ^^

Next chapter