1 1. When We Loved.

"Sayang...."

Theo menghentikan ketikannya di keyword laptopnya. Ia mengangkat kepala untuk melihat sosok yang barusan memanggilnya. Dia adalah Jung Arin, istrinya. Mereka sudah menikah sejak dua tahun yang lalu.

Arin menguap kembali sambil mengusek-usek rambutnya yang acak adul. Lagi-lagi dia mendapati suaminya sedang bekerja di mejanya tengah malam begini. "Aku gak bisa tidur...," eluhnya.

"Coba hitung domba seperti yang pernah aku bilang," ujar Theo yang kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Sudah, tapi gak bisa." Arin yang manyun berjalan mendekati Theo. Tanpa meminta, Arin menyelinap duduk di atas pangkuan sang suami dan memeluk leher pria itu.

"Sayang, aku harus kerja," ucap Theo sambil mengusap-usap punggung Arin.

"Ini sudah tengah malam, Theo. Bagi waktu dong antara pekerjaan sama istri," cemberut Arin yang tak mau berpindah dari tempatnya. "Tidurin aku, Theo," lanjutnya dengan manja.

"Jangan dulu. Ini dokumen penting. Besok sudah harus dikasih sama klien aku."

"Aku gak mau tau. Aku mau tidur."

Theo menghela napas lelah. "Kamu tidur di sini aja. Aku elus-elus punggung kamu, ya."

Arin berdecak sebal. "Kalau lima menit aku gak bisa tidur, aku mau kamu tidurin aku."

"Sepuluh menit, janji."

"Hh..., iya, sepuluh menit."

Arin berpindah memeluk pinggang suaminya. Theo pun mengusap-usap punggung Arin yang dibalut piyama, satu tangan lagi ia gunakan untuk melanjutkan ketikannya.

Belum sampai sepuluh menit, sudah terdengar dengkuran halus di antara leher Theo yang artinya Arin sudah tertidur.

Theo berhenti sejenak. Ia menunduk mencoba menatap wajah Arin. Tangannya terjulur membersihkan anak rambut Arin yang berantakan.

Arin adalah istri yang sangat manja, pecemburu, hiperaktif, suka makan, dan punya insomnia. Itu sebabnya hampir setiap hari dia tidak bisa tidur. Selain itu Arin juga adalah satu di antara sedikitnya wanita yang tidak bisa hamil lagi karena kecelakaan yang menimpanya tiga bulan setelah mereka menikah. Meratapi nasibnya yang seperti itu, Arin sering menangis tetapi Theo selalu mengatakan tidak apa-apa.

Theo mengecup puncak kepala Arin cukup lama sebelum akhirnya mengangkat gadis itu ke atas tempat tidur mereka.

Walaupun menjadi suami Arin sangatlah melelahkan, tetapi Theo tidak pernah mengeluh. Bagaimana pun juga, dia selalu berjuang untuk Arin, membahagiakannya setiap hari.

***

"Theo!"

Brugh!

Seluruh manusia yang sedang melangsungkan rapat itu seketika menoleh ke ambang pintu termasuk Theo dan sekretarisnya, Hanna, yang sedang mempresentasi.

Arin si pelaku yang mendobrak pintu barusan menyengir. Ia mengangkat bekal makanan yang ia bawa. "Sayang, ayo makan siang!" katanya tanpa dosa.

Theo yang masih syok karena rapat pentingnya hancur berkat sang istri, menghela napas jengah sambil memijit pelipisnya. Pria itu berdiri, menghadap seluruh karyawannya.

"Kita tunda rapatnya sampai jam makan siang selesai," tukasnya lalu beranjak dari tempatnya, menarik Arin pergi dari sana.

Theo membawa Arin masuk ke dalam ruangannya yang bertuliskan Direktur Utama. Mereka duduk berdua di dalam.

"Ini ke tiga kalinya kamu masuk sembarangan dan menghancurkan rapatku." Theo berkata sambil memerhatikan Arin yang sedang memilah-milah bekalnya.

"Sayang, aku tadi coba-coba masak spagethi loh. Cobain deh. Aku tadi sudah rasain, enak kok." Arin mengabaikan ucapan Theo tadi. Ia menyodorkan spagethi buatannya.

Theo baru ingin mengambil garpu tetapi batal karena menemukan ada udang di sana. Theo alergi dengan satu makanan seafood itu.

"Kenapa ditatap doang? Dari penampilannya kelihatan gak enak ya? Cobain dulu. Enak kok." Arin yang mengambil garpu dan menyuapkan sesuap pada Theo. "Buka mulutnya, kereta api dataaaang. Aaaaa!"

Theo tau tidak seharusnya dia menerima suapan itu tetapi melihat Arin yang antusias membuatnya tidak tega. Alhasil Theo melahap spagethinya.

"Gimana? Enak, kan?"

Theo menahan batuknya lalu mengangguk sambil berusaha tersenyum.

"Kalau gitu habisin, ya."

Pria itu berniat melahap habis masakan Arin, tetapi sungguh dia tidak tahan lagi. Theo batuk-batuk, sesak napas, dan ruam merah mulai menjalar di sekujur tubuhnya.

"Eh? Sayang, kamu kenapa?" tanya Arin dengan panik. "Ini, minum dulu." Arin menyodorkan segelas air putih. Tidak keburu mengambil minuman itu, Theo langsung bergegas pergi ke toilet di ruangan tersebut.

"Pak, kenapa—" Saat itu Hanna masuk untuk meminta tanda tangan tetapi justru melihat bosnya dengan penampilan berantakan tersebut, terkejut.

Setelah Theo menghilang di balik pintu toilet, Hanna menoleh pada Arin yang masih panik. Hanna mendekatinya dan melihat makanan apa yang barusan Theo makan.

"Oh, pantesan. Bu, Pak Theo itu alergi dengan udang," ujar Hanna.

"Hah? Sejak kapan? Jangan sok tau kamu!" Arin nyolot, dia berdiri menantang Hanna. "Saya istrinya, saya lebih tau dibanding siapa pun."

"Saya tau Ibu istrinya. Tapi maaf kalau saya lancang. Saya dengar Ibu dan Pak Theo sudah menikah selama dua tahun, tapi kenapa alerginya saja nggak tau?"

"Jangan sok menceramahi saya. Kamu mau dipecat?"

"Uhuk! Uhuk!" Theo sudah keluar dari toilet.

"Sayang!" Arin langsung mendekati Theo, begitu pula dengan Hanna. Mereka menuntun Theo untuk duduk. "Kamu jadi sakit begini. Lebih baik ayo pulang."

Napas Theo masih tersengal. Wajahnya jadi merah padam.

"Sebaiknya Bapak pulang, biar saya yang antar," ucap Hanna.

Theo mengangguk mengiyakan.

***

Setelah sampai di rumah, Arin membantu membaringkan Theo di tempat tidur.

"Sebentar, aku ambilkan obat," ucap Arin lalu berlalu pergi.

Arin kembali dengan membawa kotak P3K. "Sayang, aku gak tau obatnya yang mana. Kamu pilih sendiri, ya," katanya menyerahkan kotak tersebut pada Theo.

Theo mengubah posisinya menjadi duduk kemudian memilah beberapa obat yang harus ia konsumsi.

"Kata sekretaris kamu, kamu alergi sama udang, ya?" Arin bertanya dengan takut-takut.

"Sebenarnya iya," jawab Theo sambil meminum obatnya sekaligus.

"Tapi kenapa kamu tetap makan spagethinyaaaa?"

Theo meletak gelas yang ia pakai ke atas nakas lalu menatap Arin sambil tersenyum teduh. "Karena aku gak mau kamu sedih."

"Kalau kamu bilang secara langsung tadi, aku juga gak sesedih ini."

"Hey, jangan nangis." Theo menangkup wajah Arin saat mata wanita itu sudah memerah dan berlinang.

"Aku keterlaluan banget, kan? Alergi kamu aja aku gak tau. Aku memang selamanya gak bisa jadi istri yang baik."

"Jangan nangis, sayang," ucap Theo lembut sambil menyeka air mata Arin dengan ibu jarinya. "Aku yang bukan suami yang baik. Seharusnya aku gak alergi udang. Seharusnya aku alergi kamu aja, biar aku gak dekat-dekat kamu mulu."

Arin langsung meninju dada Theo. Theo terkekeh kemudian menarik Arin untuk jatuh dalam pelukannya.

"Jangan sedih lagi, nanti aku sembuhnya jadi lama."

"Aku gak akan sedih lagi tapi ada syaratnya."

"Apa syaratnya?"

"Kissmark di leher aku sudah hilang, jadi kamu buat lagi dong."

"Sayang, aku kan lagi sakit."

"Biar kita sama-sama ada ruam merah-merahnya seperti kamu ini."

Theo tertawa lagi. Wanitanya ini otaknya memang seperti laki-laki. Jika dalam pernikahan yang lain, suaminya yang selalu meminta lain lagi di pernikahan Theo. Arin yang lebih menginginkan melakukan kegiatan suami istri itu.

"Sayang...." Arin merengek karena suaminya masih saja menatapinya dengan cengiran.

"Naik ke sini." Theo menepuk-nepuk pangkuannya.

"Asik!!" Dengan semangat Arin naik ke atas pengkuan Theo. Tapi baru sedetik mendarat, dengan cepat Theo membaringkan tubuh Arin dengan dirinya di atas Arin.

"Siapkan balon terbang kamu, karena sebentar lagi kamu akan melayang," cicit Theo.

"Balon terbang siap!"

Mereka sama-sama tertawa. Theo menempelkan dahinya di dahi Arin. Arin merangkulkan lengannya di leher Theo.

"Sayang, aku lupa harus mulai darimana? Gimana dong?" goda Theo.

Arin langsung manyun. "Dasar banci!" kesal Arin.

Theo masih tertawa. Dia semakin suka kalau melihat wajah kesal Arin yang seperti ini.

"Ajari aku dong!" Theo juga jadi semakin suka menggoda Arin.

"Mulai dari cium dong. Cium." Arin memonyongkan bibirnya.

Theo tersenyum sebelum menempelkan bibirnya di bibir sang istri. Awalnya hanya menempel, tetapi lama-lama Theo menyecapnya berkali-kali. Arin juga turut membalas ciumannya.

Tangan Arin menjalar membuka kancing kemeja yang Theo kenakan. Tanpa melepas ciuman mereka, Theo melepaskan kemejanya hingga ia bertelanjang dada. Semakin lama ciuman tersebut semakin menuntut, semakin panas hingga saliva mereka saling tumpah.

Theo berpindah menggigiti telinga Arin kecil-kecil.

"Duh, geli Theo."

"Tapi suka, kan?"

"Hehehe."

Setelahnya Theo mencecapi leher Arin, mengemutnya seperti permen lalu membasuhnya lagi dengan lidah, mengulanginya di beberapa tempat. Tangan Theo juga tidak bisa diam. Pelan-pelan dia menjamah seluruh tubuh Arin.

"Ssh, Theo...."

"Iya sayang?"

Theo menurunkan bagian leher blush yang dikenakan Arin untuk berpindah ke dada sang istri.

Namun tiba-tiba gerakan Theo terhenti. Theo menegakkan tubuhnya.

"Loh, kenapa?" tanya Arin dengan lesu.

"Tadi kamu cuma minta kissmark doang, kan? Berarti sudah selesai dong."

"IHH!! THEOOOO!"

Theo tertawa terbahak. Gemas sekali melihat Arin yang kecewa seperti ini. Puas melihat wajah kesal Arin, Theo kembali menurunkan tubuhnya untuk melanjutkan kegiatannya.

Theo sayang Arin. Tidak mungkin kesempatan seperti ini bisa ia lewatkan.

avataravatar
Next chapter