1 PARALYZED

Kabut tebal menyelimuti lapangan luas itu. Orang-orang berlari dengan tenaga seadanya. Tak terlihat jelas berapa banyak rumput yang tumbang, tak nampak jelas berapa banyak yang meninggalkan barang-barangnya. Dunia seperti berputar disekitar kepalanya. Indera nya lumpuh tak bisa berfungsi. Tangan dan kaki nya kaku dan membeku akibat kabut bercampur embun dingin yang menyelimuti lapangan luas tersebut dari matahari. Pandangannya kabur, lidahnya sebal kehausan akibat tenaga yang terkuras secara ekstrim, tetapi pekikan dari orang-orang itu terdengar jelas di telinganya.

Embun pagi itu membasahi tubuhnya, terasa perih dan basah kulitnya akibat embun dan keringat. yang keluar. Sekujur tubuh nya terasa lumpuh, namun panas akibat aliran darah yang mengalir begitu cepatnya. Marah, sangat marah dengan keadaan ini. Hatinya yang merasa sepi dan tersakiti memaksa untuk berdiri. Hati nya yang terasa hampa menambah panas dalam tubuh nya. Udara dingin akibat embun pagi itu seketika menyingkir dari dirinya. Perlahan-lahan, ia berlutut dan kepalanya menunduk menghadap bumi seakan meminta kekuatan untuk bangun melawan kejadian pada hari itu. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Sedikit demi sedikit matanya terbuka sambil menegakkan pandangan ke arah depan. Namun yang dilihatnya hanyalah langit-langit dinding kamarnya.

Alarm berbunyi, tanda dirinya harus bangun. Kim Woo Bin yang masih setengah sadar duduk ditempat tidurnya. Memikirkan apa yang baru saja ia mimpikan. Satu per satu ia kumpulkan ingatannya akan mimpi itu mulai dari lapangan, kabut, embun, pekikan, dan "doa" sebelum bangkit dari lumpuhnya. Setelah ingatannya akan mimpi itu terkumpul, ia pun langsung beranjak dari tempat tidurnya untuk mencari buku jurnal miliknya. 2 Februari 2009. Hari ini aku bermimpi hal aneh. Mimpi ini terasa begitu nyata hingga aku tak sadar dan terbawa emosi. Woobin menutup jurnal nya dan mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kampusnya.

Sesampainya di kampus, dia bertemu sahabat nya Lee Jong Suk. Mereka berjalan memasuki kampus. Woobin bercerita kepada Jongsuk tentang mimpinya semalam. Bersyukur baginya memiliki sahabat yang kuliah di jurusan psikologi sehingga sedikit banyak paham tentang pikiran seseorang.

"hari ini aku bermimpi hal aneh"

"Apa itu?"

"Aku bermimpi berada di tengah lapangan yang penuh dengan orang-orang, tetapi aku tak bisa memastikan siapa mereka, atau mengapa mereka berlarian dan berteriak "

"Kau tidak bisa memastikannya? Mengapa?" Tanya Jongsuk penasaran.

"Ntahlah, tapi aku merasakan hal ini seakan-akan terjadi di tubuhku. Mimpi ini sangatlah kuat" jelas Woobin sambil menutup mantelnya akibat cuaca yang dingin.

Jongsuk hanya mendengarkan dengan seksama.

Menurutnya, itu hanyalah mimpi seperti biasa. Mungkin dapat diakibatkan oleh faktor lain seperti kelelahan. Hanyut dalam obrolan dan candaan, Woobin secara tidak sengaja menabrak seorang wanita. Buku dan kacamata wanita itu jatuh. Woobin refleks membantu merapikan barang-barang wanita itu sambil meminta maaf.

"Ini barang-barangmu" Kim Woo Bin berkata sambil memberikan barang-barang itu. Wanita itu langsung mengambilnya dan berkata terimakasih sambil lanjut berjalan.

Tangan Woobin yang bersentuhan dengan tangan wanita itu merasakan hal aneh. Woobin berpikir dengan wajah yang terheran-heran. Bagaimana tidak, dia melihat dari belakang wanita itu berjalan menjauhi mereka dengan dikelilingi aura berwarna ungu dan kemerahan. Terlebih tangan wanita itu terasa panas ketika disaat yang bersamaan Woobin berusahan menghangatkan badan nya apalagi dia ingat dan sempat melirik bahwa wanita itu berjalan dengan memeluk buku dengan tangan yang tidak mengenakan sarung tangan.

Woobin berdiri terdiam ditempat seraya melihat wanita itu berjalan menjauhi mereka. Jongsuk yang penasaran bertanya apakah Woobin baik-baik saja. Namun Woobin hanya mengangguk sambil berkata "Ah, tidak apa-apa". Mata Woobin masih mencoba melihat dengan teliti apa yang ada disekitar wanita itu.

"Jongsuk, apa kau melihat hal yang aneh dari wanita itu" Tanya Woobin.

"Aaah, itu Professor Kim, namanya Kim Jisoo. Dia memang Professor paling cantik di kampus kita, kenapa?" jawab Jongsuk sambil ternsenyum.

"Tidak, tidak apa-apa. Dia mengajar kelas apa?" kembali Wobobin bertanya

"Professor Kim mengajar di mata kuliah Filosofi Teologi. Aku baru mendapat itu semester depan, semester ke-enam"

"Mengapa? Kau menaksir dia?" Tanya Jongsuk usil.

Woobin hanya menoleh dan memandang nya sambil berjalan meniggalkan Jongsuk sendirian. Jongsuk yang tersinggung dengan sikapnya berteriak

"mengapa kau berjalan lebih cepat?!" Woobin hanya terus berjalan sambil melambaikan tangan nya. Jongsuk yang kesal pun bergumam sendiri mengatakan bahwa Woo Bin selalu bersifat sok cool.

Woobin yang berjalan sendirian menuju kelas masih memikirkan kejadian aneh tadi. Hanyut dalam lamunan nya, dia pun tersandung oleh meja di dekat pintu kelasnya. Sontak seisi kelas memerhatikan diri nya dan tertawa sedikit. Ayolah Wobin, fokus, kau harus fokus! Terang dirinya dalam hati. Dia pun mengeluarkan modul kelas hari ini dan siap untuk mendengarkan materi. Hari itu adalah mata kuliah Manajemen Pemasaran. Tanpa diduga, yang masuk pada hari itu adalah Professor Kim yang barusan saja dia temui tadi.

"Selamat pagi. Saya Kim Ji Soo. Saya yang akan mengajar mata kuliah ini selama satu semester kedepan" jelas Professor Kim dalam perkenalan nya. Woobin yang tahu bahwa Professor Kim memiliki keanehan semakin heran.

Dia terus-terusan melihat aura ungu kebiruan yang ada di sekujur badan Professor Kim. Kelas berjalan sampai akhir. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Woobin. Dia bahkan tidak bertanya langsung saat itu kepada Professor Kim saat kelas berlangsung.

Saat kelas selesai, Woobin diam-diam mengikuti Professor Kim. Dia mengikuti Professor Kim perlahan-lahan di belakangnya. Woobin terus mengikuti wanita dengan tinggi 165 centimeter itu. Professor Kim yang tak membawa payung dengan santai terus saja berjalan melewati guyuran hujan. Woobin yang fokus mengikutinya hanya mengenakan mantelnya sambil menutupi kepalanya dengan tangan. Woobin yang penasaran dengan Professor Kim langsung mengejar nya dan menarik telapak tangan Professor Kim.

"Professor Kim!" teriak Woobin sambil menarik tangan Professor Kim

Professor Kim yang heran hanya melihat Woobin yang terengah-engah dan basah kuyup ditengah guyuran hujan siang itu. Mata Woobin terbelalak membesar melihat heran Professor Kim yang tidak basah sama sekali dalam guyuran hujan tersebut. Mereka berdua terhenti di jembatan penghubung antar gedung kuliah. Hujan siang itu menjadi hujan paling lama yang pernah dirasakan oleh Jisoo. Dia melihat Woobin yang heran dengan dirinya. Jisoo bertanya-tanya dalam hatinya apa yang anak ini mau. Tetapi dia tidak memperdulikan Woobin dan hanya melanjutkan jalannya. Woobin yang belum mendapat respon baik dari Professor Kim kemudian menarik kembali tangan Professor Kim

"Professor, kau ini, sebenarnya apa? Siapa kau?" Kim Woo Bin berteriak kepada Professor Kim dengan penuh rasa penasaran.

Hujan siang itu yang tadinya sangat dingin dan sejuk diselingi angin kencang tiba-tiba menjadi hujan yang reda, rintik-rintik tanpa angin. Suasana yang tadinya dingin tiba-tiba berubah menjadi hangat diselingi semburat matahari. Jisoo bertanya kepada dirinya sendiri bagaimana mungkin ini terjadi? Baju Kim Woo Bin yang tadinya basah kuyup seketika menjadi kering.

Hujan yang mengenai Woobin menjadi terhenti diantara mereka berdua. Wobin yang heran pun melihat ke atas dan tampak di matanya bahwa di atas kepala mereka berdua terdapat payung biru yang melindungi diri mereka dari hujan itu. Tak hanya payung, mata Woobin terus bergerak ke kiri dan kanan melihat ekor berwarna biru yang bergerak. Woobin melihat Jisoo, mata mereka saling memandang, terhubung seperti dua ruang beda dimensi yang dihubungkan oleh lubang hitam. Jantung Woobin mulai berdetak kencang, nafasnya menjadi tak beraturan dan wajahnya menjadi kemerahan. Mereka terhubung dan dipertemukan oleh hujan, jembatan, dan bau rerumputan hijau pada siang itu. Woobin yang terkejut merasakan badannya tidak bisa bergerak, kakinya kaku, tangan nya diam, bibir dan lidahnya kelu, pandangan nya mengabur, kepalanya pusing dan terasa berputar. Woobin pun jatuh pingsan di atas jembatan tersebut dengan segala rasa penasarannya.

Jisoo yang melihat Woobin jatuh tergeletak, kemudia menundukan pandangannya, melihat sejenak Kim Woo Bin. Dia pun menunduk dan berlutut melihat kondisi Kim Woo Bin. Jisoo kemudian melihat kembali Woobin sambil bertanya dalam hatinya apakah dia menyadari bahwa diriku bukanlah manusia? Sambil memegang tangan Woobin, Jisoo merasakan denyut yang ia rasakan, Jisoo menangis, hatinya sakit, namun dirinya senang disaat bersamaan. Jisoo terus menangis sambil tersenyum. Bahagia. Sangat bahagia. Dia bahkan bisa menumbuhkan bunga dengan perasaan nya itu. Namun yang ia rasakan sekarang adalah sakit. Rasa sakit nya sekarang lebih besar dibanding bahagia nya. "Akhirnya kita bertemu lagi" hanya itu yang dapat Jisoo katakan ditengah tangisnya. Hujan yang tadinya reda kembali deras menimbulkan bau rumput hijau yang semerbak dibawah tangga tempat mereka berdua. Hujan deras, sangat deras namun dengan suasana yang sangat hangat. Matahari kembali tertutup oleh awan mendung. Jisoo kemudian membawa Woobin ke rumah sakit universitas dan meninggalkannya di sana.

"Pelayan Jeong, tolong buatkan aku teh chamomile!" seru Jisoo. Sambil menaruh mantelnya di dekat perapian rumah.

Pelayan Jeong yang melihat Jisoo duduk di depan perapian bertanya "Apa kau baru saja menjalani hari yang berat, Nona?" Tanya Pelayan Jeong.

"Aku hanya senang, setelah lama penantian ini" jawab Jisoo sambil menahan air yang sudah menggenang di mata nya.

Jisoo yang duduk di kursi depan perapian tersebut hanya terdiam sambil melihat api yang membakar kayu nya secara perlahan-lahan. Kaki nya bergerak tak bisa diam. Tangannya saling mengepal. Dia akhirnya tahu penantian ini akan berakhir bahagia.

Penantian panjang dan melelahkan. Dalam sepi dan sedihnya telah mampu melewati itu semua hingga akhirnya waktu seperti ini datang. Waktu yang sangat ia nantikan. Hari ini, dia yakin bahwa Tuhan sangatlah baik. Dia yakin bahwa orang-orang akan selalu pergi dan diganti dengan orang baru yang lebih baik. Penantian bagai siklus kehidupan sebuah pohon. Bagai biji yang tumbuh menjadi dahan besar, kemudian bertahan dari tiupan angin, cuaca, dan hama. Dirinya bertahan bagai pohon tersebut. Ribuan daun berguguran, ribuan kelopak bunga layu. Tak terhitung berapa lama ia habiskan waktu dalam doa panjangnya meminta kepada Tuhan agar hari yang ia tunggu untuk datang dengan segera. Hari ini, waktu berbahagia itu datang, namun hatinya tak bisa berbohong bahwa rasa sakit itu masih ada dan membekas. Rasa sakit yang ia telah rasakan selama 1300 tahun akhirnya akan segera berakhir.

"Tuhan, terimakasih. Aku masih bisa merasakan kasih sayang-Mu walau aku adalah seorang pendosa"

avataravatar
Next chapter