webnovel

Masa Lalu

Mei 2021

"AKU INGIN MENCINTAIMU DENGAN SEDERHANA ; DENGAN KATA YANG TAK SEMPAT DIUCAPKAN KAYU KEPADA API YANG MENJADIKANNYA ABU.

AKU INGIN MENCINTAIMU DENGAN SEDERHANA ; DENGAN ISYARAT YANG TAK SEMPAT DISAMPAIKAN AWAN KEPADA HUJAN YANG MENJADIKANNYA TIADA."

Mega membaca sekilas tulisan karya Sapardi Djoko Damono pada tulisan di belakang sebuah novel. Ia tengah berjalan-jalan sendirian di antara rak-rak yang berisi buku-buku novel karya penulis ternama.

Mega mengambil buku novel itu yang selanjutnya menjadi pilihannya untuk dibeli bulan ini. Setiap bulan Mega selalu datang ke toko buku ini untuk membeli satu atau dua buku novel. Mega berjalan ke kasir dan menyerahkan buku novel bersampul warna merah muda itu pada kasir.

"Ini saja, kak?" tanya pegawai kasir.

Mega mengangguk pelan.

"Totalnya enam puluh sembilan ribu sembilan ratus rupiah."

Mega langsung mengeluarkan uang lembaran berwarna biru dan satu lembar berwarna hijau.

"Seratus rupiahnya boleh untuk donasi yayasan penyakit kanker, kakak?" tanya Yeni --petugas kasir yang papan namanya Mega baca dalam hati.

Mega tersenyum miris lalu mengangguk lagi.

"Terima kasih, silakan datang kembali," ujar kasir itu sambil menangkupkan kedua tangannya setelah menyerahkan kantong plastik putih pada Mega.

Sekali lagi Mega mengangguk. Ia tak peduli dengan tatapan petugas kasir yang terheran. Mungkin dalam benak petugas kasir, Mega gadis bisu yang hanya bisa merespon orang lain dengan anggukan dan gelengan kepala.

Mega menapakki jalanan trotoar dengan santai. Tangan kanannya yang menjinjing kantong plastik berisi buku novel terayun ke depan dan kebelakang. Satu tangannya lagi, ia masukkan ke dalam saku celana jeans berwarna dark grey. Semilir angin sore di teras pertokoan jalan Cipto Mangunkusumo Cirebon membawa anak rambut hitam Mega terayun menutupi dahinya. Mega tak merasa risih dengan itu. Ia membiarkan rambutnya terurai menutupi dahinya, pikirnya tak masalah selagi tak menutupi pandangannya ke depan jalanan.

"Mega!"

Suara yang sangat familiar di telinganya menyapa Mega dari jarak satu langkah kakinya.

Mega mendongak,"Awan … " lirihnya.

"Kamu … beneran Mega! Astaga, mimpi apa aku semalam ketemu kamu di sini?" celoteh laki-laki berjaket hoodie di hadapan Mega.

Ia lantas menarik tangan Mega agar menepi sejenak ke samping teras pertokoan agar tak mengganggu lalu lalang para pejalan kaki lainnya. Laki-laki itu lantas celingukan –mungkin mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol dengan Mega.

***

Setelah sedikit terpaksa, akhirnya Mega berada di sebuah café tak jauh dari tempatnya membeli buku. Di hadapannya duduk seorang laki-laki yang pernah ia dorong menjauh dari hidupnya –setidaknya begitulah menurutnya.

"Kamu apa kabar, Meg?" tanya laki-laki itu masih dengan nada antusias.

"Aku … baik," sahut Mega gugup. Matanya masih memandang lurus gelas berisi milk shake –begitulah yang ia dengar dari mulut laki-laki itu pada pelayan cafe. Ia bahkan tak berani membalas tatapan laki-laki itu.

"Aku kangen kamu, Mega."

Sebuah pernyataan singkat yang mampu meruntuhkan bongkahan es di hatinya. Meleleh seketika membuat hatinya berdesir hangat.

"Kamu enggak kangen, aku?" tanyanya sambil meraih tangan Mega yang tergeletak di samping gelas.

Wajah Mega seketika memanas. Ia ingat sentuhan itu saat terakhir kali mencampakkan laki-laki itu –saat memohon pada Mega untuk tidak memutuskannya— tiga tahun lalu. Sebuah sentuhan lembut yang mampu membuat Mega selalu tak bisa bergerak sedikitpun. Kali ini pun sama. Ia tak bisa menggerakkan tangannya, seperti ada medan magnet yang menarik tangannya kuat-kuat sehingga ia tak bisa menarik tangannya dari genggaman lembut laki-laki di hadapannya itu.

***

Juni 2017

"Bulan depan kita sudah masuk ke sekolah SMA. Kamu sudah siap?" tanya Mega sambil menatap gumpalan kapas putih di atas langit. Mereka tengah terbaring bersebelahan di atap sebuah gedung tak terpakai di Jakarta.

Seperti hari-hari biasanya –setelah pulang sekolah, Mega dan Awan akan menyempatkan diri untuk mampir ke atap gedung hanya sekedar untuk menatap langit sambil merebahkan diri dengan beralaskan koran bekas saja.

"SMA. Wow! Bulan depan aku pakai baju putih abu-abu!"pekik Awan antusias sambil mengguncang tubuh Mega tiba-tiba.

"Astaga! Kenapa kamu jadi norak banget sih!"

Awan terkekeh. "Aku hanya enggak menyangka saja, ternyata aku –kita—bisa lulus dari SMP secepat ini," ujar Awan masih dengan nada antusias. Matanya masih berkilat bahagia. Namun seketika, air mukanya berubah menjadi masam.

"Tapi … aku enggak terlalu suka kita sekolah SMA secepat ini," gumamnya sambil kembali menatap langit.

Mega menoleh, "loh, kenapa enggak suka? Itu artinya kita 'kan sudah bertambah dewasa. Ada banyak hal yang diperbolehkan saat usia kita sudah SMA," cetus Mega.

"Seperti pacaran?" sambar Awan.

Mega tergelak. "Kenapa jadi mikirin itu sih?"

"Mega, kamu bilang kalau kamu enggak mau pacaran sama aku, karena kita masih anak SMP. Bulan depan kita udah SMA. Jadi … apa kita bisa … " ucap Awan menggantung.

Mega tertawa renyah.

"Kamu ini ... apa kata pacaran yang selalu ada di otakmu? Udah, yuk kita pulang," ajak Mega sambil mengacak rambut laki-laki di sampingnya itu sekilas.

Ia lalu bangkit dari posisi rebahan dan langsung mengambil tas kecil di sampingnya.

"Mega! Aku serius. Kamu selalu menghindar kalau aku bilang, aku mau pacaran sama kamu. Mega!" panggil Awan saat melihat Mega sudah berjalan meninggalkannya.

Mega tidak menggubris teriakan Awan, ia terus berjalan menuruni tangga semen yang berdebu. Awan mengejar Mega yang mulai menuruni tangga dan menyejajarkan langkah Mega.

"Mega! Berhenti dulu, aku bilang. Aku serius. Apa kita bisa pacaran awal masuk SMA?"

Awan masih bersikeras meminta jawaban dari Mega dengan menarik tangan Mega. Langkah Mega seketika terhenti. Mereka berenti tepat setelah turun dari anak tangga yang terakhir. Mega menghembuskan nafas pelan.

"Awan, apa status pacaran sangat penting bagimu? Yang terpenting 'kan kita selalu bersama-sama," tukas Mega sambil menatap nanar netra Awan.

Ada yang menjadi alasan Mega sampai detik ini tak mau menerima pernyataan Awan. Bukan. Bukan karena Mega tak mencintai Awan. Ia sangat, sangat mencintai Awan melebihi ia mencintai dirinya sendiri. Tapi, karena begitu cintanya, ia tak ingin kehilangan Awan, jika saja, Awan mengetahui bahwa dirinya divonis penyakit kanker oleh dokter –setidaknya itu yang Mega ketahui dari surat yang diberikan mamanya padanya sebulan yang lalu—apakah Awan akan tetap berada di sampingnya sebagai orang yang menatap dirinya dengan tatapan yang sama dan bukan tatapan kasihan.

"Tapi, aku mau jadi pacar kamu, Mega … " ujar Awan mulai frustrasi.

"Kalau pacaran, kita bisa putus. Aku enggak mau putus dari kamu. Udah ah, ayo kita pulang. Udah kesorean. Nanti mama nyariin kita."

Sekali lagi Mega menghindari tatapan Awan yang penuh harap. Ia sangat benci dirinya tak bisa menenangkan Awan –bahkan hanya sekedar tatapan harapan untuk Awan. Ia terlalu takut kehilangan Awan.

Hai ... ini karya pertamaku di WEBNOVEL. Semoga terhibur, selamat membaca ...

Ro_Miyoungcreators' thoughts