1 One : My Story

Milan--Italy

Claire Princessa Addofic. Nama yang diberikan orangtua ku dengan harapan, di masa depan aku mendapatkan kehidupan yang baik. Namun... mereka justru memberikan titik hitam dalam hidupku. Dari yang aku ingat, tidak ada hari tanpa pertengkaran. Mereka selalu melakukannya, saling membentak dan menyalahkan bahkan ibuku sampai memecahkan beberapa barang karena emosi.

Hingga saat usia ku 7 tahun, mereka memutuskan untuk berpisah. Aku bahkan tak sanggup harus memilih ikut dengan siapa, karena pengadilan yang memutuskan--mengingat usiaku masih sangat kecil untuk mengerti apa arti dari bercerai yang sesungguhnya.

Ku pikir saat itu, ibu ku akan menangis karena tak bisa memiliki hak asuh atas diriku. Tapi aku salah, dia justru terlihat baik-baik saja. Aku menangis, memohon agar dia tidak pergi dan yang dikatakannya membuatku tahu--bahwa kehadiranku hanyalah sebuah kesalahan baginya.

"Kau hanyalah sebuah kesalahan dalam hidupku, jika saja malam itu aku tidak mabuk dan lupa untuk meminum pil, kau tidak akan pernah ada! Aku bahkan tidak bisa menggugurkanmu karena dia; ayahmu, memohon, agar kau tetap dipertahankan. Sekarang.... sudah saatnya aku menikmati hidupku tanpa harus mengurus seorang anak," katanya sembari menatapku dengan tatapan merendahkan. Aku ingat betul tatapan itu, meski aku baru berusia 7 tahun.

"Diamlah Jane! Dia masih kecil, tidak akan mengerti dengan apa yang kau katakan. Sebaiknya kau cepat pergi, urusan kita sudah selesai." Balasan ayahku membuatnya berpaling dan keluar rumah.

Ku lihat kepergiannya lewat jendela, disana sudah menunggu sebuah mobil yang terlihat mengkilat diterpa lampu dan cahaya bulan. Dari situ aku mengerti, uang selalu bisa menaklukan siapapun.

*****

Aku menatap kue dengan lilin angka 20 di atas meja makan, kemudian beralih pada punggung pria yang sedari dulu selalu mencurahkan kasih sayangnya padaku; James Addofic.

Ayah pasti merencanakan sebuah kejutan, menungguku pulang hingga tertidur dengan posisi tidak nyaman di meja makan.

Ku usap pelan punggungnya, "Bangunlah, Dad. Sebaiknya pindah ke kamar, ku antar."

Terdengar gumaman pelan sebelum matanya terbuka dan terlihat bingung mencari-cari sesuatu. Pemantik. "Sudahlah, besok saja. Sekarang sudah larut malam," kataku seraya menahan tangannya yang ingin menyalakan lilin.

"Tap--"

"It's okay, Dad. Besok hari libur, kita bisa leluasa merayakannya. Ayo, ku antar ke kamar."

"Baiklah.... tapi jangan lupa simpan kuenya di lemari pendingin," ucapnya--mengingatkan.

"Ya, akan ku lakukan."

Aku mengantarnya ke kamar, memastikan ia tidur dengan posisi nyaman. Melepas sepatu dan dasinya, mematikan lampu juga memberinya ciuman sayang di pipi. "Maaf, karena membuatmu menunggu," gumamku sebelum meninggalkan kamar.

Aku kembali ke meja makan, melepas pelan lilin yang terpasang di kue sebelum memasukkan kuenya ke lemari pendingin. Dengan membawa sebotol air mineral, aku menaiki tangga ke lantai 2 menuju ke kamar ku.

Ku letakkan tas di sofa single dekat jendela--botol air minum dinakas. Sebelum merebahkan tubuh lelah ku ke atas ranjang queen size. Menatap langit-langit, sampai perlahan kegelapan menelan kesadaranku.

*****

Lagi.

Aku terbangun dengan nafas tersengal dan tubuh penuh keringat. Heran, kejadian mengerikan itu sudah 13 tahun berlalu--tapi aku masih saja memimpikannya.

Padahal, aku sudah tidak berada di negara yang sama. Bahkan sudah pernah konsultasi dengan psikiater, tapi mimpi itu tetap datang--mengikuti kemanapun kakiku memijak.

kapan aku bisa tidur nyenyak?

Ku lihat jam digital di atas nakas, masih jam 3:10 AM. Ku ambil air mineral dan meminumnya cepat, membuatku hampir tersedak. Ku taruh botol kosong itu ke lantai, lalu ku pejamkan lagi mataku--mengingat ini masih terlalu pagi untuk beraktivitas.

*****

6:45 AM

Aku terbangun saat merasakan ponselku terus bergetar di meja nakas, dengan malas aku mengambil dan memfokuskan pandangan ke layar berukuran 6,2 inci, guna melihat siapa orang tidak tahu malu yang menelpon pagi-pagi begini.

Unknown Number.

"Halo, siapa ini?" sapaku begitu panggilan tersambung.

"Hi, apa benar ini nomor Claire?"

"Ya, kenapa?"

"Oh, thanks God. Aku Stefan, dari fakultas seni--aku hanya ingin tahu apa kau ingin pergi ke part--"

"Tidak." jawabku cepat, meski belum selesai dia mengutarakan tujuannya. Aku sudah tahu bahwa dia membutuhkan pasangan untuk datang ke pesta ulang tahun, Georgia Atabas--putri tunggal keluarga pengusaha tekstil, yang setiap minggu mengadakan party di rumahnya.

"Aku bahkan belum selesai bicara, jad--"

"Jawabannya tetap sama, tidak!" Ku akhiri sambungan telepon, setelah mengucapkan penolakanku. Bukan karena Stefan pria jelek. Dia tampan, kaya dan populer--tipe ideal pangeran kampus.

Tapi aku tidak tertarik, menjadi pusat perhatian adalah daftar hitam dalam hidupku--dan mengikuti party juga bukan gayaku. Memangnya.... apa untungnya mengikuti kegiatan semacam itu, hanya datang, mabuk dan pulang atau jika beruntung bisa melakukan having sex secara cuma-cuma.

Terdengar memuakkan di telingaku.

Tok... Tok... Tok...

"Masuklah, Dad."

Tak lama pintu kamarku terbuka, ayahku masuk dengan membawa kue coklat dan lilin yang sudah menyala di atasnya. "Happy birthday, Princess," ucapnya seraya mengambil duduk di pinggir tempat tidur.

"Thank you, Dad. Kau tidak perlu repot seperti ini, aku juga sudah dewasa," kataku lirih sembari menahan isakan haru.

Ayahku tersenyum, "Kau masih gadis kecil Daddy, sekarang tiup lilinnya." Ucapnya menyodorkan kue, "Jangan lupa make a wish."

Aku menatapnya, kemudian menyatukan kedua tanganku dan menaruhnya di depan dada. "Ya Tuhan, semoga kami masih bisa bersama tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, juga berikan Daddy ku kebahagiaan," ucapku dalam hati.

Ku tiup lilin itu hingga mati, menyisakan asap tipis yang mengudara sebelum perlahan menghilang. "Dimana pisaunya?" tanyaku.

"No, Princess. Kita memotongnya di meja makan, bukan ditempat tidur," jawab ayahku sebelum melangkah--membawa pergi kuenya.

Aku ikut turun dari tempat tidur, mencepol asal rambutku. Ayah memang tidak suka dengan kegiatan makan didalam kamar, kecuali minum teh atau coklat panas. Katanya, jangan suka membiasakan hal-hal buruk.

Aku sampai di dapur, saat ayah memindahkan kue-kue itu ke piring kecil. Tanganku mengulur untuk mengambil potongan kecil, tapi segera ditepis ayahku. "Cuci muka dan sikat gigi dulu, Princess. Jangan jadi perempuan jorok!" katanya sembari menatapku garang.

"Aku sudah melakukannya, bahkan aku juga sudah memakai benang gigi," sanggahku--menunjukkan deretan gigiku.

Ayah menatapku lama, kemudian mengangguk, "Kalau begitu... antarkan ini ke tetangga, kau tahu kan si kecil Jason?"

"W-what?! Tidak mau! Anak itu cerewet sekali, membuat telingaku sakit."

"Kalau begitu, kau tidak boleh makan. Lagi pula hanya memberikannya, tidak harus mengobrol dengannya," bujuk ayahku.

Aku menatap piring berisi roti setengah lingkaran itu dengan ragu--meneguk ludah, kue coklat adalah kesukaanku. Jadi, mana mungkin aku melewatkannya hanya karena seorang anak kecil yang tidak aku sukai. "Fine, akan aku antarkan. Tapi aku harus mengambil hoodie dulu."

"Good girl."

avataravatar
Next chapter