1 Wewe Gombel

Disuatu desa terpencil jauh dari perkotaan, ada gadis cantik jelita anak dari sepasang suami istri , Sutini dan Tarjo.

Ia sangat pendiam bahkan tak pernah keluar rumah hanya sesekali keluar untuk mengambil air di kali dekat rumahnya pada malam hari.

Gadis mungil putih dan ayu ini membuat siapa pun yang melihat akan terpesona.

Sejak kecil ia tinggal dan lahir di desa Sumber ini, ia tak pernah mau berbaur dengan teman sebayanya, bahkan gadis ayu ini pun tak mengenal bangku sekolah sedari kecil.

Walaupun desa ini jauh dari kota, setiap hari-hari libur selalu ramai dengan para wisatawan untuk berlibur di sebuah air terjun yang indah.

Tempatnya masih asri dan masih terjaga, meski tampak sedikit mistis tetapi justru itu menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.

"Bayi.. Bayi!"Pak RT berlari sambil menggendong bayi yang masih merah lengkap dengan ari-arinya.

Para warga geger dengan penemuan bayi yang dibawa Pak RT itu, sebab hampir setiap tahun ditemukan bayi mungil di tempat yang sama.

Di pinggir bambu dekat sumur umum.

Ini bayi ke lima yang ditemukan dan bersyukurnya masih hidup, yang tiga dirawat oleh warga desa dan yang satu di adopsi oleh orang kota.

Sampai sekarang belum terpecahkan misteri siapa yang telah membuang bayi.

"Cantik sekali bayi itu, kasian loh, siapa lagi yang tega buang bayi itu" para warga sibuk membahas penemuan bayi.

Kali ini para warga curiga dengan Dono salah satu bujang yang hidup sendiri di desa itu, sebab bayi mungil ini sangat mirip dengannya.

"Kamu bikin sama siapa, Don?" tanya pak RT kepadanya."

Dono hanya diam, sambil memikirkan sesuatu.

Menurut warga Dono laki-laki yang tidak neko-neko, tak pernah sekalipun ia mendekati perempuan. Apa lagi sampai berhubungan badan.

"Sama wanita yang tinggal di pinggil kali dekat bambu, Pak," ia berbicara sambil melihat arah kali.

"Yang betul, Don. Setau bapak di situ gak ada rumah."Pak RT bingung dengan penuturan Dono.

"Sudah beberapa kali saya bertemu wanita cantik itu, bahkan entah berapa kali saya melakukannya, Pak. Dan Setelah itu sudah tujuh bulan ini ia menghilang, rumah yang ia tinggalin pun lenyap." Dono masih memandang ke arah kali seperti berharap sesuatu.

"Jangan buat bapak ngeri, Don. Jangan-jangan itu hantu."

"Aku ndak perduli kalau memang ia hantu, Pak. Sebab aku sudah terlanjur jatuh cinta." tatapannya kosong.

"Sadar le! Jangan mau di buat gila sama memedi (hantu) istgfar minta ampun sama Gusti Allah."

Dono hanya diam dan pandangannnya jauh kosong.

Itu terakhir kalinya Dono dapat berkomunikasi, kini ia seperti orang yang gangguan jiwa, hari-hari pandangannya kosong jika ditanya ia tak menjawab seperti jiwa yang ia miliki pergi entah kemana dan hanya tinggal jasatnya.

Kejadian ini pun bukan hanya sekali bahkan sudah ada lima pria yang gangguan jiwa tanpa sebab seperti Dono.

Menurut kesaksian salah satu warga, yaitu Mas Dirman ada sosok wanita cantik penunggu pohon bambu, ia kerap muncul sehabis magrib. Ia sering menggoda para lelaki di desa ini termasuk para wisatawan yang tidak mematuhi aturan.

Di desa ini memang banyak peraturannya.

Pertama tidak boleh menggunakan sepatu, hanya boleh memakai sendal jepit biasa, tidak boleh memakai baju warna hijau, tidak boleh keluar sehabis magrib bahkan tidak boleh bersiul.

Jika salah satu pantangan itu di langgar bisa jadi ia akan menghilang jika ketemu kembali pasti kewarasannya yang hilang.

Para warga sering curiga kepada Ayuk, gadis ayu itu sangat misteri, pernah beberapa kali Pak Kades dan warga datang kerumahnya siang hari tak pernah menemukannya. Orang tuannya pun selalu menutupi kejanggalan ini, mereka selalu beralasan Ayuk pergi ke kota. Padahal setiap malam sering warga melihatnya di pinggir kali.

Suatu hari saat warga sedang keliling desa karena musim maling.

Mereka melihat ada bayangan di bambu-bambu pinggir Kali.

"Ronda, Pak? Hihi" ia menyapa para lelaki itu.

"I..iya, siapa ya? Kok malam- malam ada disini?"salah satu warga mencoba mendekat dan bertanya, dan yang lain hanya mengekor di belakang.

"Saya .. Wewe, Pak. Hihi.." badannya masih membelakangi mereke.

"Hah? Wewe? Wewe gombel?"

"Iya, Pak." ia berbalik dan nampak wajah yang menyeramkan itu dan payu darah yang sangat besar hingga ke tanah memakai pakaian putih yang sedikit kumal.

Para warga itu lari terbirit-birit bahkan ada yang sendal dan sarungnya tertinggal.

Mereka pulang satu persatu kerumah mereka masing-masing.

"Tok, sarungku ketinggalan." Pardy baru sadar bahwa sarung yang ia kenakan tertinggal.

"Lah sama, Par. Sendalku juga yo ketinggalan"

"Halah biarin saja, wedi (takut) aku Tok, mimpi apa to sampe ketemu Wewe".

"Iyo, Par. Mending pulang saja, yang lain juga sudah pada pulang".

Sampainya dirumah Pardy terkejut sarung yang ia tinggal sudah ada di pagar bambu rumahnya.

Bersambung

avataravatar