1 Gadis Aneh

POV SHEINA CHARLOTTE

Aku memasuki sebuah bar dengan mengenakan pakaian panjang serba hitam. Tak lupa juga kulilitkan sebuah syal di leherku untuk menahan diri dari pendingin ruangan di dalam bar itu. Tapi, sedingin apa pun pendingin ruangan itu, pastilah akan terasa hangat juga jika sudah menenggak segelas alkohol nantinya. Apa lagi jika ikut berjingkrakkan menikmati dentuman musik yang memekakkan telinga itu.

"Wine!" pintaku pada bartender.

Sambil menyuguhkan pesananku, bartender tersebut tampak memerhatikan penampilanku, begitu pun dengan orang-orang yang lalu lalang di belakang punggungku. Mungkin mereka heran kenapa aku datang ke bar dengan pakaian seperti orang hendak melayat seperti itu.

Ya, aku memang baru pulang dari sebuah pemakaman, pemakaman ayahku. Beliau dikuburkan tadi sore tepat saat matahari hendak pulang ke peraduannya. Ayahku yang merupakan seorang supir kontainer itu mengalami kecelakaan maut tadi malam saat sedang berusaha mencari uang untuk membayar pengobatan putri bungsunya yang tidak lain adalah aku. Itulah sebabnya, Hellena, kakakku menyalahkan aku atas kematian ayah tersebut.

"Sebotol lagi!" Aku meminta wine tambahan pada bartender dan menenggaknya secepat mungkin, berharap cairan beralkohol itu dapat memanipulasi otakku, setidaknya membuatku amnesia sejenak atas kepergian ayah.

Tapi nyatanya, semakin banyak kuteguk minuman itu, semakin pekat juga rasa kehilangan yang aku rasakan.

'Ayah sudah tiada. Ayah meninggalkan aku dan dunia. Ayah meninggal karena aku. Aku yang telah membunuh ayah.'

Pemikiran-pemikiran itu terasa menyerang kepalaku dari segala penjuru.

"Tambah satu botol lagi!" pintaku pada bartender yang masih memerhatikanku.

"Apa anda datang ke sini dengan menyetir kendaraan sendiri? Jika benar, maka akan sangat membahayakan kalau anda pulang dalam keadaan mabuk nantinya," balas bartender itu.

"Tidak usah mengaturku! Tugasmu di sini hanya menjual minuman itu untukku!" Aku mengeluarkan semua dollar dari dalam dompetku. "Berikan aku minuman sampai seluruh uangku ini habis!" pintaku.

Bartender perempuan itu tampak menghela napas panjang sebelum akhirnya menuruti permintaanku. Sepertinya ia memang sudah terbiasa berhadapan dengan orang-orang putus asa sepertiku ini. Aku menenggak sebotol wine lagi, langsung dari botolnya. Penglihatanku mulai terasa berkunang-kunang, aku memutar kepala, menoleh pada sekerumunan orang yang sedang berjingkrakkan menikmati dentuman musik.

Aku iri sekali pada para wanita yang bisa berpakaian serba pendek di sana, menampakkan paha putih mereka yang mulus, serta pusar dengan pinggang yang ramping. Sedangkan aku harus memakai kaos kaki ke mana-mana, tidak bisa membiarkan ujung kakiku terbuka, apa lagi paha dan pinggang.

Aku kembali memutar kepala menghadap bartender. "Di mana toiletnya?" tanyaku dengan tatapan nanar.

"Di sebelah sana, Nona." Ia menunjuk arah sebelah kiri dari tempatku duduk kini.

Aku pun menganggukkan kepala lantas mulai bangkit berdiri dan berjalan sempoyongan. Sesampainya di toilet tersebut, aku langsung memuntahkan isi perutku. Barangkali karena tidak terbiasa minum alkohol, organ pencernaanku langsung berontak tidak terima.

Aku pun mulai berkumur-kumur dan membasuh wajahnya, tapi sialnya dinginnya air kran itu justru membuat tubuhku menggigil. Oh semestinya tidak sedingin ini. Aku menambah lilitan syal di leherku, tidak lupa pula kupasang kembali sarung tangan untuk menutupi jemariku. Tapi ternyata tak dapat menangkal hawa dingin itu. Aku butuh sesuatu yang lebih hangat.

Aku ke luar dari toilet tersebut sambil berjalan terhuyung-huyung hingga akhirnya aku menemukan pintu ruangan VIP yang dijaga oleh dua orang bodyguard berbadan besar, semoga saja di dalam sana ada penghangat ruangan.

"Apa aku boleh masuk ke dalam?" pintaku penuh harap, gigiku sudah gemeletukan karena menahan dingin.

Dua orang bodyguard tersebut tampak saling pandang lantas berbisik. Entah apa yang mereka diskusikan, setelah saling mengangguk, mereka pun membukakan pintu untukku. Begitu aku masuk, pintu langsung ditutup kembali.

"Hei, siapa kau?"

Seseorang ke luar dari balik selimut yang menggumpal di atas ranjang dalam ruangan itu. Aku baru sadar ternyata ada dua orang di sana, sepasang, laki-laki dan perempuan. Oh, mereka sedang apa?

Si laki-laki tampak turun dari ranjangnya dan menghampiriku. Ia hanya mengenakan celana pendek, atau celana dalam, entahlah aku tidak bisa melihat dengan jelas karena penglihatanku berkunang-kunang. Sementara si perempuan di atas ranjang itu tampak melilit tubuhnya dengan selimut.

"Siapa yang menyuruhmu masuk? Ke luar sekarang juga!" Suara baritonnya terdengar dingin dan tajam.

"A-aku … izinkan aku berada di ruangan ini sebentar, Tuan. Aku kedinginan sekali. Aku hanya ingin menghangatkan badanku sejenak," pintaku.

"Shit!" desisnya. Ia mulai mendorong tubuhku. Tapi aku tetap tidak mau ke luar. Aku mencengkram bahunya yang bidang. Oh, hangat sekali, tubuh laki-laki itu hangat sekali, bahkan mengalahkan segala penghangat ruangan yang pernah aku rasakan. Langsung saja kudekap tubuh itu seerat mungkin untuk meraibkan rasa dingin yang menggerogoti tubuhku.

"Hei, apa yang kau lakukan?" protes laki-laki itu.

"Izinkan aku memelukmu, Tuan," lirihku. Kusandarkan kepalaku di dadanya yang berkeringat itu. Oh, hangat sekali.

***

POV KENNETH IMMANUEL

"Hei, lepaskan! Ke luar kau!" Aku masih berusaha mendorong tubuh gadis itu, tapi ia memelukku dengan erat. Siapa gadis ini?

"Tuan, apa kau memesan gadis lain selain aku?"

Aku menoleh pada wanita pesananku yang masih berada di atas ranjang. "Tidak. Aku hanya memesanmu untuk malam ini," sahutku.

"Lalu, siapa dia?" tanyanya lagi.

Aku menatap gadis yang kini sedang memeluk tubuhku. Ia memejamkan matanya, entah sudah tertidur atau hanya pura-pura tidur. Tapi seraut wajah polosnya yang tertidur di dadaku membuatku jadi tidak tega untuk mengusirnya lagi.

"Kau sudah boleh ke luar sekarang. Nanti orang suruhanku akan menghubungimu untuk pertemuan selanjutnya. Tenang saja, kau tetap akan kubayar penuh," ucapku pada si wanita di atas ranjang.

Wanita itu mengenakan pakaiannya kemudian ke luar dari ruangan VIP tersebut.

Tinggallah aku bersama si gadis aneh yang kini masih mendekapku.

"Hei, apa kau tidak akan melepaskanku?" ujarku.

Ia hanya diam, tidak menyahut sedikitpun. Akhirnya kubawa tubuh itu ke sofa. Ia tidur di atas tubuhku seperti seorang bayi mungil yang sedang memeluk ayahnya.

Siapa dia?

Tampilannya aneh sekali. Setidaknya aku baru sekali ini melihat orang berpakaian panjang serba hitam memasuki sebuah bar. Ia mengenakan kaos kaki dan sarung tangan dan mengaku sedang kedinginan padahal tempat ini sama sekali tidak bersalju.

Kuperhatikan lagi parasnya. Bulu matanya lentik, hidungnya kecil tapi mancung, serta bibirnya yang ranum meski kelihatan sedikit pucat. Jika boleh mengakui, dia jauh lebih cantik dari pada wanita pesananku tadi.

Apa sebaiknya kuhabiskan saja malam ini dengannya?

Aku menjangkau ponsel yang terletak di atas meja dekat sofa tersebut, lantas menghubungi salah satu pesuruhku.

"Siapkan mobil segera!" perintahku.

avataravatar
Next chapter