1 chapter 1

15 Juni tahun 2000, seorang bayi lahir di sebuah rumah sakit daerah, tangisan pertamanya membawa senyum bagi kedua orang tuanya dan seluruh pihak yang terlibat dalam kelahirannya. Anak tersebut pada akhirnya diberi nama, Fadil Juniardi.

Anak bayi itu lahir pada hari jumat, jam 12 siang. Bertepatan dengan muslim lelaki menunaikan ibadah sholat jumat, tangisnya menggema di seluruh ruangan. Ayahnya segera berlari masuk ke ruangan, setelah dia selesai melakukan sholat jumat dan berdoa untuk keselamatan istri dan anaknya.

Pada hari itu, orang tuanya bersyukur karena pada akhirnya mereka dikaruniai seorang anak setelah bertahun-tahun menunggu dalam pernikahan. Disambut gembira oleh sanak saudara, banyak yang menganggap kalau dia akan menjadi anak spesial karena jam kelahirannya.

Yah, begitu lah cerita dari ibuku. Umurku masih 10 tahun pada saat aku meminta ibu bercerita mengenai hal ini. Anak kecil yang penuh rasa penasaran itu lah aku. Aku Fadil Juniardi, aku menulis kisahku ini karena terinspirasi kehebatan sahabatku dalam menulis dan karyanya cukup terkenal, nama sahabatku itu adalah Udin. Kami bersama memecahkan misteri di gedung kantor tempat kerjanya.

Namun, aku tidak akan langsung membahas mengenai kejadian itu, aku akan membahasnya suatu saat nanti, tapi mari kita mulai kisah ini dari awal hidupku. Aku sendiri sudah cukup diperkenalkan oleh sahabatku dalam novelnya. Tapi, mungkin ada baiknya kalau aku memulai dengan perkenalan diri yang baik.

Aku adalah seorang anak yang bisa dikatakan memiliki kemampuan yang tidak biasa, aku mampu melihat mereka yang tidak bisa dilihat oleh manusia lainnya, aku bahkan mampu untuk berinteraksi dengan mereka secara langsung, baik dari alam manusia, atau melalui alam mereka.

Saat aku masih kecil, aku tidak menyadari kemampuan ini. Aku sama seperti anak seumuranku yang lain. Ceria, aktif, polos, penuh rasa penasaran, dan berbagai sifat anak kecil lainnya. Bahkan dengan polosnya, aku pernah menunjuk langsung sesosok hantu yang awalnya aku pikir adalah orang biasa.

Kejadian itu terjadi di TK, aku sedang bermain dengan teman-temanku, saat mataku tertuju pada seorang anak kecil yang sedang duduk murung di pojok ruang kelas, matanya sayu melihat ke arah anak-anak yang sedang bermain. Lantas, aku menghampiri ibuku.

"Ibu, dia kenapa?" Tanyaku dengan polos sambil menunjuk anak kecil tersebut.

Ibu melihat ke arah yang aku tunjuk, matanya bingung dan heran, "Maksud kamu siapa, nak?"

"Itu bu, yang di pojok." Jawabku sambil menunjuk anak tersebut.

Aku melihat ke mata ibu, aku mungkin masih kecil pada saat itu, tapi tatapan ketakutan ibu selalu melekat di dalam pikiranku. Dia tidak menjawab perkataanku lagi, Ibu langsung menghampiri guruku, dan aku diajak ibu untuk pulang pada saat itu juga.

Sesampainya di rumah, ibu menyuruhku untuk tetap diam di sofa. Ia menyambar telepon genggamnya, menekan beberapa tombol dan berbicara ke teleponnya tersebut, terdengar seperti dia meminta seseorang untuk datang ke rumah kami.

Benar saja, tidak lama kemudian, seorang lelaki tua dengan pakaian putih panjang dan penutup kepalanya tiba di depan rumah. Kejadian berikutnya, adalah kejadian yang menurutku tidak berguna. Setelah aku dewasa, aku menyadari kalau saat itu, mereka mencoba untuk membuatku tidak mampu melihat makhluk seperti itu lagi, setelah kejadian itu juga aku menyadari kalau anak kecil tersebut bukanlah manusia, setidaknya itu lah yang mereka jelaskan kepadaku.

Mulai sejak kejadian itu, aku tidak melihat lagi anak kecil pojok kelas itu ataupun yang lainnya. Setidaknya sampai aku kelas 2 SD. Sebuah kejadian yang sampai saat ini masih menempel di benakku, dan yang kembali membuka kemampuanku sekaligus membuatnya tidak mampu lagi tertutup.

Saat itu sedang libur semester, aku berjalan ke gudang rumahku seorang diri dengan tujuan mencari sebuah mainan, sebagai gambaran, gudang rumahku memliki atap yang tinggi, mungkin sekitar 5 atau 6 meter, dan ada sebuah lubang di atap yang tidak memperlihatkan apa pun kecuali kegelapan pekat.

Aku yang sedang asik mencari mainan di sebuah kotak, merasakan ada yang memperhatikan dari atasku, secara reflek begitu saja, aku mendongakkan kepalaku ke lubang di atap, dan sebuah figur wajah mengerikan terlihat oleh mataku

.

Wajah berkulit putih pucat, dengan mata yang hitam pekat dan rambut berantakan sedang melihat lurus ke arahku. Secepat mungkin aku berlari dan menangis sekencang-kencangnya, sebuah pertemuan dan awal mula yang begitu mengerikan dan membuatku ketakutan setengah mati.

Orang tuaku mendengar tangisanku, dan segera berlari dan memelukku, lalu membawaku menjauh dari gudang tersebut. Aku terus dipeluk dan orang tuaku berusaha menenangkan aku. Segelas penuh air putih langsung kutegak habis dalam sekejap. Tangisanku mulai mereda, yang tadinya berteriak kencang, kini hanya sesenggukan. Setelah semuanya tenang kembali, orang tuaku mulai menanyakan apa yang terjadi di dalam sana.

Aku menjelaskan semuanya tanpa melewatkan atau melebihkan sedikitpun. Mereka berdua bertatapan, dan sebelum meninggalkan aku untuk mereka berbicara sesuatu, mereka memastikan aku dalam tempat aman, dan tidak akan terganggu oleh hal seperti itu.

Bagaimana pun, aku tidak pernah merasa aman dan tenang lagi, rasa takut itu menghantui diriku, rasanya seolah ada banyak mata yang sedang tertuju kepadaku, rasa tidak nyaman yang begitu kuat membuatku merengek agar tidak ditinggal sendiri lagi. Tapi, orang tuaku yang cerdik meyakinkan aku, tidak akan terjadi apa pun di tempatku saat ini, yaitu di kamar orang tuaku yang dihiasi berbagai macam barang keagamaan.

Walaupun masih sesenggukan, aku akhirnya menuruti perkataan orang tuaku, lalu mereka meninggalkanku sendirian. Aku meringkuk, mengambil selimut, bantal dan guling, berusaha lebih menenangkan diriku lagi. Secara tidak sadar, aku akhirnya tertidur dengan air mata yang masih saja mengalir.

Aku terbangun tidak lama kemudian, mendapati lelaki tua yang dulu hadir saat aku TK sedang duduk di samping kasurku, raut wajahnya menandakan kekecawaan, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain dan mendapati kedua orang tuaku yang saling menenangkan diri, ibu yang menangis di pundak ayah. Saat mereka sadar aku telah terbangun, mereka langsung memelukku, dan terucap sebuah kata.

"Kami akan selalu menjaga kamu, nak" secara bersamaan kedua orang tuaku membisikkannya ke telingaku.

Aku mendapati air mataku masih mengalir, dan rasa takut itu masih ada. Tapi, aku tidak mengerti apa yang dimaksud oleh orang tuaku. Malam harinya, mereka bercerita, kalau kami harus pindah rumah kalau ingin aku bisa hidup dengan tenang, karena rupanya ada sosok yang mendiami rumah kami dan berniat jahat kepadaku.

Mereka juga menjelaskan, kalau aku harus mulai bisa membiasakan diri melihat mereka yang tak kasat mata, mereka meyakinkan aku kalau mereka akan selalu percaya dan melindungiku sekalipun mereka tidak bisa melihat apa yang aku lihat. Hal itu mereka lakukan karena menurut lelaki tua tersebut, apa yang aku miliki ini sudah tidak bisa dihilangkan. Menurutnya, bisa saja ini adalah anugerah untukku, dan mungkin akan berguna bagiku di masa depan nanti, tapi aku harus dipastikan agar terhindar dari makhluk yang mungkin saja akan mengincar nyawaku karena kemampuan spesial ini.

Sebuah pertanyaan terlintas di benakku, apakah ini benar anugrah? Atau mungkin sebenarnya adalah kutukan?

avataravatar