webnovel

40

Happy Reading and Enjoy~

Sesak, ia tidak bisa bernapas. Tangannya melambai-lambai untuk mencari udara, tetapi semua terasa gelap. Lalu perlahan cahaya putih menyinarinya dengan intensitas yang membuat matanya terasa silau.

Dengan satu sentakan yang terasa menyakitkan, Luna dipaksa bangun dan kedua matanya seketika terbuka.

Ia masih berada di tempat yang sama. Ironisnya dirinya belum mati, dan lagi-lagi kedua matanya disuguhkan pemandangan langit-langit kamar yang indah dan terasa membosankan.

Luna tidak tahu mengapa dirinya bisa selamat, tetapi jika tidak salah ingat ada seseorang yang menolongnya.

Keningnya berkerut ketika sama-samar ia mendengar suara Allard. Apa Allard yang menolongnya? Sepertinya tidak, Allard tidak sebaik hati itu untuk menyelematkan nyawanya yang bagi pria itu tidak beharga.

Luna berusaha bangun, menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Ada aroma harum yang berasal dari sebelah tempat tidurnya, sup hangat yang masih mengepulkan uap. Ia tidak berselera makan saat ini, dadanya masih terasa sakit dan penuh dengan air.

Semuanya menjadi sia-sia ketika ia tidak berhasil bunuh diri. Pada akhirnya inilah tempatnya kembali. Pintu kamarnya terbuka, dan Allard berdiri kaku di sana. Seketika tubuh Luna menegang, rasa benci yang meluap-luap naik ke permukaan.

Ada yang aneh, lelaki itu berjalan ke arahnya dengan langkah gontai. Seperti bukan Allard yang biasanya penuh percaya diri dan senyuman sinis. Tapi bisa saja lelaki itu hanya berpura-pura. Tanpa sadar Luna beringsut mundur ketika Allard berjalan mendekat.

Lelaki itu tidak peduli padanya yang jelas-jelas menampakkan kebencian melalui bola matanya. Allard memilih duduk dan memeluk tubuh Luna yang kaku. Luna memberontak, memukul-mukul kuat bahu Allard untuk menjauhkan tubuh mereka.

Tentu saja tubuhnya yang serapuh kapas tidak bisa mengimbangi kekuatan Allard yang sekokoh baja, lelaki itu memeluknya sekuat tenaga. Dengan sedikit tambahan pada pelukannya maka sudah bisa dipastikan tulang-tulang Luna remuk.

Ada yang aneh, pikirnya.

Meskipun pelukan Allard membuatnya sesak dan menyakiti tubuhnya, Luna merasa ada sedikit getaran yang berasal dari tubuh Allard. Lelaki itu seperti menahan sakit dan tangis. Kedua tangan Luna lunglai di sisi tubuhnya sebelum tadi memukul bahu Allard dengan membabi buta.

Keningnya sedikit berkerut ketika akhirnya mendengar suara tertahan yang terasa menyayat hati, lalu perlahan isak tangis terdengar. Tubuhnya menegang ketika Allard memeluk lehernya lebih erat, membenamkan wajahnya pada ceruk leher Luna dan menangis di sana.

Ia hampir tergoda membelai punggung Allard yang bergetar, tapi pada akhirnya tetap memilih diam dan menunggu.

Ini benar-benar diluar dugaan. Bagaimana bisa iblis kejam seperti Allard mempunyai hati untuk ... menangis.

Mereka musuh dan Luna tidak seharusnya bersimpati. Lelaki itu sudah berulang kali menyakitinya dan membuatnya menangis. Tapi ... seorang Allard menangis membuatnya merasa bahwa lelaki itu tidaklah sekejam itu.

Terlepas dari semua perbuatannya yang kejam, mungkin saja Allard butuh per- Ah, buru-buru ia menepis rasa yang hadir. Keinginan kuat untuk membelai punggung Allard semakin membuatnya tersiksa. Lebih baik jangan menampakkan emosi apapun atau hubungan mereka semakin bertambah aneh.

Ketika Allard mengangkat wajahnya dan menatap Luna dengan mata yang membengkak, Luna menelan ludah dengan gugup. Hingga pada akhirnya ia bertanya dengan suara pelan, lebih ke arah membujuk lelaki itu.

"Kau mau minum?"

Allard mengangguk, lalu berucap dengan suara parau. "Aku ingin alkohol."

Ya, benar. Sedikit minuman yang beralkohol mungkin bisa membuatnya sedikit tenang. Luna menekan bel yang berada di samping tempat tidurnya.

Selagi menunggu pelayan datang, suasana terasa canggung. Allard memilih membelakanginya dan menunduk dalam. Hanya deru napas yang terdengar di ruangan itu. Luna berada dalam keadaan yang terasa salah.

Ia pikir saat terbangun Allard akan menghampirinya dengan ejekan dan kesinisan seperti biasa. Jika seperti itu Luna mudah untuk menghadapinya, meskipun hingga sekarang masih belum terbiasa dengan semua kekerasan yang pria itu lakukan.

Berbeda halnya dengan Allard yang menangis dan tampak rapuh seperti ini. Pria itu hanya berpura-pura. Tapi rasanya itu mustahil. Jika memang Allard berpura-pura untuk apa dan mengapa?

Tubuh lelaki itu kembali bergetar, diiringi dengan helaan napas yang semakin berat. Luna menelan ludah dengan susah payah, hingga pada akhirnya memutuskan untuk mendekat. Membelai punggung lelaki itu dengan canggung.

Tepat pada saat itu ada ketukan yang terdengar, terkesiap Luna langsung menarik tangannya. Mengalihkan semua perhatiannya pada pintu yang masih tertutup.

"Masuklah," perintahnya sedikit meninggikan suaranya.

Pelayan wanita yang masih muda itu masuk dengan menunduk. Saat melihat Allard berada di sana tubuh wanita itu menegang, dan Luna menyadari sesuatu hingga tanpa sadar bibirnya terketap dengan amarah yang terasa sulit dijelaskan.

Sudah pasti wanita itu punya hubungan gelap dengan Allard. Ternyata pelayan ini yang dipilih Allard. Apa mungkin pria itu menangisi pelayan kesayangannya ini, apa mereka sedang bertengkar. Lantas mengapa Allard menemuinya dan memeluknya!

Apa pria itu pikir dengan bersikap seperti itu Luna akan memaafkannya dan merasa kasihan?! Tiba-tiba saja rasa mual menerjangnya. Ia menjadi tidak bersimpati. Mungkin pergi dari sini yang terbaik, membiarkan Allard dan pelayan kesayangannya menyelesaikan masalah mereka berdua.

Kehadirannya di hidup pria itu tidak terlalu berguna jika setiap hari Allard meniduri banyak wanita dan mencintai pelayan manisnya. Oh, tidak demi Tuhan. Luna sama sekali tidak cemburu, tapi sudut hatinya berdenyut sakit.

Dalam artian manapun. Boneka adalah makhluk indah yang digunakan untuk bermain.

"Dia butuh alkohol, aku tidak tahu apa yang sering diminumnya." Luna tidak bisa menahan nada sinis yang terlontar.

"Bawakan aku wiski." Allard menyahut dengan suara parau.

Saat pelayan itu pergi, Luna berdiri di hadapan Allard. Tangannya bersedekap dengan gaya angkuh.

"Jadi selain boneka aku juga tong sampah? Kau sakit hati dengan wanita lain dan mendatangiku hanya untuk menangis seperti orang bodoh, kau pikir-" Luna terdiam, merasa gugup karena pandangan Allard menajam.

Bibir lelaki itu mengetap hingga tersisa garis tipis. Tatapan matanya meski tampak tajam dan membuat kepercayaan diri Luna menguap, tetapi ada yang berbeda. Entah mengapa ada kesedihan mendalam di sana.

"Saat ini pikiranku kacau, bisakah kau duduk tenang tanpa menggangguku dengan pikiran tololmu itu?"

Allard berdiri, tubuhnya yang besar seolah memenuhi diri Luna yang kecil. Tawa mengejek tercetus dari bibir lelaki itu.

"Kau pikir aku sakit hati dengan wanita? Heh, aku tidak perlu melakukan hal-hal repot seperti itu. Tanpa kuminta mereka sendiri yang akan menangis di bawah kakiku. Dan aku menangis hanya ingin mengujimu, apakah kau bisa luluh pada air mataku atau tetap membenciku."

Senyuman mengejek yang terukir membuat amarah Luna mendidih. Dia tadi bersimpati dengan tangisan Allard, tapi ternyata tangisan itu hanya ingin mengujinya. Luna menatap dalam bola mata Allard yang berwarna abu, tampak tegas dan ... ada yang salah.

Sebagian hatinya berbisik bahwa tidak mungkin orang seperti Allard mau merendahkan diri dengan menunjukkan air matanya hanya untuk mendapatkan simpati dari Luna, tapi di sisi lain lelaki itu mungkin saja sedang menangisi kekasihnya lalu menjadikannya alasan untuk menguji rasa simpati di dalam diri Luna.

Ya. Sepertinya memang begitu.

Ketukan di pintu terdengar sebelum pelayan muda tadi masuk dengan membawa beberapa botol wiski dengan gelas kaca kristal serta es batu berbentuk balok. Meletakkannya di meja kecil samping ranjang lalu menunduk sedikit sebelum melangkah pergi.

Luna harus mengingat baik-baik wajah wanita itu, sebab hanya dia satu-satunya harapan bagi Luna untuk kabur.

Allard langsung menghampiri wiskinya, meneguknya langsung dari botol seolah-olah tidak melihat gelas di sana. Luna mengernyit, merasakan sensasi panas meskipun bukan dirinya yang meminum. Dan untuk beberapa jam kedepan Allard fokus pada minumannya tanpa memperdulikan kehadiran Luna.

Ternyata seorang lelaki bisa sefrustrasi itu dalam hal percintaan.

Itulah yang dipikirkannya sebelum mendengar Allard meracau. Mengacungkan botolnya ke udara seraya berteriak dengan suara parau, mengutuki diri sendiri dan menyalahkan seorang pria yang tampaknya amat berarti bagi lelaki itu.

Seketika tubuh Luna menegang ketika satu pikiran yang terdengar masuk akal mengahampirinya. Allard bukan menangis karena wanita melainkan menangis karena pria. Apakah Allard ... gay?

Semua puzzle sudah terbentuk. Luna yakin sekali dengan pikirannya. Dan apakah Allard meniduri banyak gadis hanya untuk menutupi bahwa pria itu sebenarnya menyukai seorang pria?

Seketika tubuh Luna meremang, membayangkan dirinya sudah dinodai dengan seorang gay. Tidak heran permainan lelaki itu begitu kasar dan menyakitkan. Mungkin Allard menganggapnya sebagai pria yang menjadi kekasih gelap lelaki itu.

Dan tujuan Allard membunuh orangtuanya hanya untuk memilikinya agar orang-orang mengira lelaki itu normal dengan menikahi seorang gadis. Skandal-skandalnya dengan wanita itu juga hanya pelarian.

Kebencian dalam dirinya bertambah, rasa jijik mulai melebar. Allard membunuh orangtuanya hanya untuk kepentingannya sendiri. Dasar bajingan!

Persetan dengan perkataan lelaki itu bahwa ia bukan anak kandung dari kedua orangtuanya yang sudah meninggal itu.

Lelaki itu mabuk berat. Luna bergerak cepat untuk mencari benda tajam. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk menancapkan pisau ke punggung lelaki itu dari belakang.

Kedua matanya berbinar ketika melihat gunting di laci meja riasnya. Luna menggengam gunting itu dengan gugup, lalu berjalan perlahan menuju tempat Allard yang meracau tidak jelas.

"Bunuh saja aku."

Gerakan Luna terhenti ketika mendengar suara Allard yang parau.

"Fuck! Seharusnya dulu aku mati, kenapa aku bisa hidup. Bajingan tengik itu memanfaatkanku dan dengan bodoh aku mempercayainya!"

Prang!

Allard melempar gelas kacanya ke lantai. Meraung dengan frustrasi yang membuat Luna pada akhirnya hanya berdiri di belakang tubuhnya dengan keadaan tangan terangkat tinggi. Siap melayangkan guntingnya ke punggung lebar itu.

"Aku tidak pernah mau hidup." Allard terisak. Tubuhnya berguncang hebat.

"Bunuh aku sialan!"

Luna terlonjak. Perkataan Allard seolah-olah lelaki itu tahu bahwa saat ini dirinya memang ingin membunuhnya.

Allard berdiri, berbalik menatapnya dengan mata sayu. Lelaki itu berjalan terhuyung lalu berhenti di hadapannya.

Tawa ironis meluncur dari kedua bibirnya ketika melihat gunting yang berada di tangan Luna.

"Bunuh aku sekarang."

Tanpa bisa dicegah, Allard menggenggam tangan Luna lalu mengarahkan gunting itu tepat di jantungnya. Luna menjerit dan langsung menarik tangannya.

Ya. Ini sudah tepat, Allard tidak ingin hidup lagi. Pria itu ingin Luna membunuhnya seperti yang sering diimpikannya. Ini saat yang tepat untuk membalaskan dendamnya, tapi mengapa ... ia sungguh tidak bisa.

Bodoh, rutuknya dalam hati sebelum berlari memencet bel untuk memanggil pelayan. Ia langsung menarik Allard menuju tempat tidur dan membaringkannya di sana, sementara tanpa bisa dicegah ia mulai sibuk mencari kotak P3K.

Mungkin ia akan menyesali keputusannya nanti, tapi sungguh kali ini ia harus mengakui bahwa membunuh Allard memang terlalu ... sulit.

Bukan karena tidak ada kesempatan, tapi karena hati nuraninya yang memberontak.

Bersambung...

Halo👋 cerita Arthur sudah tersedia di wattpad dengan judul Slave Bird ya. Bagi yang mau kepoin cerita orangtua Arthur juga bisa baca di Innovel/Dreame dengan judul Clara Prison.

Ngomong-ngomong Wedding Doll sudah tersedia di aplikasi Play book. So, yang penasaran sama kelanjutannya bisa langsung beli ya. 🙂

Next chapter