39 39

Happy Reading and Enjoy~

Ketika Allard memasuki ruangan kerjanya, Arthur sudah menunggu disana. Pria itu menyeringai sembari menggoyangkan gelas berisi wiski yang berada di tangannya dengan tubuh yang bersandar malas.

Meskipun begitu, Allard bisa merasakan ketegangan dalam suara Arthur.

"Kurasa kau butuh ini untuk bisa mendengar berita besar yang akan kusampaikan."

Ia menerimanya lalu meminumnya dalam satu tegukan cepat. Setidaknya Allard perlu minum dengan kadar alcohol tinggi untuk meredakan gejolak emosi yang masih belum sirna.

"Bisakah kau menebak kabar apa yang akan kusampaikan?" Arthur menaikkan alisnya, mencoba untuk menggoda.

Sayangnya, ini bukan waktu yang tepat. Allard menatapnya dengan sorot tajam, rahang lelaki itu menegang.

"Kau tentu tau ini bukanlah saat yang tepat untuk bermain tebak-tebakkan konyol. Cepat selesaikan ini karena aku harus melihat keadaan wanita sialan itu!"

Arthur tertawa. "Apa sekarang kau memutuskan untuk peduli padanya?"

"Kau lebih dari tau aku mempedulikan semua mainanku," jawabnya ringan, tapi Arthur tahu bahwa itu tidaklah semudah yang diucapkannya.

Bukan tidak tahu sahabatnya itu memperhatikan diam-diam melalui layar semua kegiatan Luna tanpa berani mendatanginya setelah membuat tubuh gadis itu terluka parah.

Mengingat hal itu Arthur tertawa kecil, tampaknya saja kejam dan menyeramkan. Orang-orang tidak akan tahu bahwa Allard pengecut, terlebih untuk perasaannya sendiri.

"Sebelumnya aku ingin mengucapkan kata maaf jika hal yang kusampaikan ini bisa melukaimu, tapi kau harus tahu bahwa aku menyayangimu dan tidak ingin melukaimu ataupun menghasutmu untuk membenci seseorang yang selama ini kau anggap sebagai saudara terakhirmu di dunia."

Tubuh Allard seketika menegang. Pikirannya tertuju pada sosok pria tua yang selama ini sudah sangat banyak membantunya. Kecemasan tampak jelas dimatanya yang berwarna abu.

"Cepat jelaskan, jangan bertele-tele."

Arthur menghela napas perlahan.

"Terserah padamu jika ingin mempercayaiku apa tidak. Paman Jovan, orang yang telah menyelamatkanmu bertahun-tahun yang lalu. Dan orang yang telah kau anggap sebagai pamanmu sendiri, dialah yang merencanakan pembunuhan dengan menyewa organisasi pembunuh bayaran yang sudah terkenal bertahun-tahun yang lalu."

Allard berdiri, matanya menyorot Arthur dengan tajam sementara tangannya mencengkram kuat gelas yang berada di tangannya.

"Jangan coba-coba membodohiku. Kau pikir aku percaya padamu!"

Ekspresi wajah Arthur tampak prihatin, seolah-olah lelaki itu tahu bagaimana rasa sakit yang dihadapi sang sahabat.

"Aku tidak mungkin membodohimu. Kau seharusnya tidak perlu mempercayai siapapun, Allard."

"OMONG KOSONG!"

Gelas yang berada di tangannya pecah. Kedua mata Allard berkilat dengan amarah dan ... luka. Telapak tangannya sendiri sudah meneteskan banyak darah, sebab lelaki itu memilih menggenggam pecahan kaca guna menutupi rasa sakit yang sangat.

Arthur menghela napas lalu memutuskan untuk berdiri.

"Apa sebaiknya aku pergi dan membiarkanmu untuk menenangkan pikiranmu, atau kau ingin aku tetap tinggal dan kembali melanjutkan ucapanku?"

Allard berbalik, memilih tidak menatap Arthur. "Lanjutkan," katanya dengan suara tercekat.

Arthur kembali duduk, menuang wiskinya sebelum melanjutkan. "Maaf jika melakukan tindakan nekat di belakangmu. Aku diam-diam menyelipkan beberapa orang ke kediaman Paman Jovan, dan juga menempatkan seseorang yang tepercaya untuk mendekati Grey. Aku juga menyelipkan beberapa orang untuk mendekati orang-orang kepercayaanmu."

Ia menggaruk pelipisnya ketika melihat punggung Allard yang semakin menegang. Ini pasti kabar yang sangat menyakiti sahabatnya.

"Empat hari yang lalu orang kepercayaanku yang kutempatkan di kediaman Paman Jovan mendatangiku dan melihat gelagat yang mencurigakan. Aku lupa siapa namanya, tetapi jika tidak salah ingat dia adalah bawahanmu yang kau tempatkan untuk menjaga pria tua yang berhasil kau tangkap itu."

"Harry," koreksi Allard dengan menggeram.

"Nah, Harry mendatangi rumah Paman Jovan, mereka berbincang dan tertawa ...."

"Tidak ada yang salah dengan itu," potong Allard cepat.

"Biarkan aku menyelesaikan kalimatku terlebih dahulu. Di sela-sela percakapan mereka, orang kepercayaanku menempatkan alat perekam di bawah meja yang tentunya tidak disadari oleh mereka berdua. Dan kau tau apa yang mereka bicarakan?"

Arthur mengeluarkan benda kecil berwarna hitam dari sakunya, lalu menghidupkannya. Dan suara yang sudah sangat dikenalnya terdengar.

"Jadi bagaimana lukamu?" Itu suara paman Jovan. Allard membalikkan badannya.

"Sudah lebih baik. Kau benar, dia sangat marah dan kehilangan kendali. Dan seperti ucapanmu juga, dia masih membutuhkan kami untuk berada di sisinya sehingga memilih tidak menghabisi nyawa kami."

"Aku belum bisa memaafkanmu karena telah berhasil menyodorkan ketua dari pembunuh bayaran itu."

Kali ini yang terdengar tawa Harry. "Hei, ayolah, sudah kubilang kita harus membuatnya terasa nyata. Kau tau posisiku, 'kan? Dia mempekerjakanku karena aku adalah salah satu bodyguard yang paling tangkas dan tanggap."

Kali ini ia mendengar Paman Jovan yang tertawa. "Yayaya, terserah padamu saja. Tapi ingat, aku tidak ingin kejadian ini terulang kembali atau rencana yang kita susun hancur berantakan. Terlebih, masa depanku akan hancur jika Allard mengetahui bahwa akulah orang yang telah merencanakan pembunuhan orangtuanya dan bersikap sebagai penolongnya. Omong-omong, bagaimana dengan wanita itu?"

Allard merasa dunianya mati. Kedua kakinya melemas dan bergetar, ia terjatuh di lantai dengan pandangan kosong. Arthur memilih mematikana alatnya. Saat ini Allard tampak seperti anak kecil yang kehilangan semangat hidupnya.

Pandangan matanya bergerak gelisah, sementara tubuhnya bergetar. Bagaimana tidak? Selama bertahun-tahun Allard mencari pembunuh orangtuanya, bekerja dengan lebih giat guna mengembangkan bisnis ayahnya yang mulai memudar, lalu membawanya sampai sesukses sekarang dengan menaruh anggapan bahwa kalau bukan karena Paman Jovan maka sekarang dia sudah menjadi abu.

Hatinya seperti tersayat ribuan jarum yang menyakitkan. Bagaimana bisa tangan kanan ayahnya berbuat sekejam itu demi bisa mengendalikan dirinya. Tanpa disadari selama bertahun-tahun Allard sudah menjadi boneka penghasil uang untuk Jovan.

Ia bahkan tidak bisa menangis, rasanya amat sangat perih. Allard ingin dirinya menangis sepuasnya, tetapi entah mengapa air mata enggan keluar. Napasnya berubah sesak, ia mendongak untuk menatap Arthur yang melihatnya dengan sorot khawatir.

"Bisa kau tinggalkan aku sendiri?"

Suaranya tercekat di kerongkongan.

Ada keraguan di mata Arthur, tidak ingin meninggalkan sang sahabat dengan keadaan terpuruk.

Bagaimanapun, Arthur tidak ingin Allard melakukan tindakan bodoh. Seolah mengetahui isi pikiran Arthur, ia tersenyum pahit.

"Aku masih punya akal sehat untuk membalaskan dendamku, Arthur. Pergilah."

Arthur mengangguk, menghampirinya lalu memukul pundaknya pelan untuk menguatkan.

Ia masih terdiam setelah kepergian Arthur. Dan tanpa dipinta, kedua kakinya menghantarkannya ke kamar tempat Luna berbaring. Gadis itu sudah sadar, beringsut mundur saat melihat kedatangannya dengan sorot marah dan benci.

Tanpa memperdulikan penolakan gadis itu, Allard berjalan gontai untuk melingkarkan kedua tangannya di seluruh tubuh Luna. Memeluk gadis itu erat seolah tidak ingin kehilangannya.

Pada awalnya Luna memberontak hebat, tetapi saat mendapati tubuh Allard bergetar ia mulai berhenti dan membiarkan Allard memeluknya. Lalu sayup-sayup isak tangis terdengar. Bukan, bukan dari Luna, melainkan Allard.

Bersambung ....

HalošŸ‘‹ cerita Arthur sudah tersedia di wattpad dengan judul Slave Bird ya. Bagi yang mau kepoin cerita orangtua Arthur juga bisa baca di Innovel/Dreame dengan judul Clara Prison.

Ngomong-ngomong Wedding Doll sudah tersedia di aplikasi Play book. So, yang penasaran sama kelanjutannya bisa langsung beli ya. šŸ™‚

avataravatar
Next chapter