38 38

Happy Reading and Enjoy~

Tubuh wanita itu hancur, penuh luka memar dan juga sayatan. Sudah seminggu sejak kejadian mengerikan itu Luna menutup mulutnya dari siapapun. Ia menghabiskan waktu di kamar dengan bergelung di balik selimut hanya untuk menangis.

Lelaki itu pergi sejak kejadian beberapa hari yang lalu, dan tidak mencoba untuk mendatanginya sekadar melihat atau menanyakan keadaannya. Luna juga tidak mengharapkan hal itu, lebih baik Allard pergi selamanya dari hidupnya.

Sudah hampir mendekati 15 hari. Perlahan memar-memar di tubuhnya memudar, meski luka sayatan masih tampak jelas. Ada dokter wanita yang sudah berumur datang setiap pagi untuk memeriksa keadaannya.

Kemarin mungkin Allard datang ke kamar, tetapi Luna tidak bisa memastikan dengan jelas. Sebab, ia hanya merasakan ada seseorang yang menatapnya dari kegelapan kamar. Dan orang itu juga menunduk untuk mencium dahinya dengan lembut.

Luna tertawa hambar, Allard tidak mungkin bersikap lembut. Pria itu hanya tahu penyiksaan dan juga kepuasaan dirinya. Sosok itu menghilang setelah membisikkan kata-kata penenang agar memperindah tidurnya.

Perlakuan sosok di dalam kegelapan itu membuat Luna ingin meraung, saat ini dirinya butuh seseorang yang bisa melindunginya. Luna ingin bersandar, ia butuh seseorang yang mengerti akan keadaannya, tetapi semuanya tampak mustahil.

Para pelayan hanya melakukan tugas mereka dengan baik, mengantar semua keperluannya tanpa mau repot-repot menanyakan keadaannya, atau mencoba menjadi temannya. Luna menutup wajahnya dengan kedua tangan, kembali menangis.

Matanya saja sudah membengkak, tiada hari tanpa menangis.

Ia tidak punya apa-apa lagi untuk bertahan hidup di dalam kukungan seorang  Allard. Lupakan soal balas dendam, keluar dari sangkar emas ini saja sudah membuat bersyukur.

Luna tidak bergeming, memilih memunggungi seorang pelayan yang mengantarkan makanannya seperti biasa. Isakan kecil dari bibirnya sesekali lolos.

Pelayan itu keluar tanpa menunggu jawaban dari Luna, tahu bahwa ia tidak mungkin menanggapi. Luna memaksa dirinya duduk, matanya yang bengkak terasa berat.

Membuatnya ingin tertidur kembali. Ia menatap tanpa minat hidangan lezat di hadapannya.

Satu pikiran melintas di benaknya ketika ia melihat pisau pemotong buah yang berada di sana. Apa sebaiknya ia bunuh diri saja menyusul kedua orangtuanya? Allard tidak mungkin bisa dikalahkan, dan sangat jelas pada akhirnya Luna yang sengsara.

Jalan satu-satunya adalah memotong nadinya dengan pisau itu, tetapi tampaknya kurang meyakinkan. Ia memalingkan wajahnya, mencari-cari benda tajam lainnya. Senyumnya tampak lemah ketika melihat balkon kamarnya.

Balkon itu mengarah ke taman, di bawahnya tepat ada kolam berenang. Dari yang diketahuinya kamar ini berada di lantai dua, sementara ia juga tidak bisa berenang. Sekali melompat maka dirinya mati. Menarik napas panjang, Luna membulatkan tekad.

Dengan tertatih karena tubuhnya masih kaku, Luna berjalan ke arah balkon. Menunduk menatap air kolam berenang yang tampak jauh dan tenang.

Selamat tinggal semuanya, kehidupannya, teman-teman masa lalunya, dan selamat berjumpa kembali, daddy, mommy.

Ia memanjat balkon, menghirup dalam-dalam udara yang akan menjadi terakhir kalinya sebelum membulatkan tekad untuk menjatuhkan dirinya.

BYUR!

Air kolam itu terasa dingin dan sakit ketika tubuhnya pertama kali terjatuh. Tangannya menggapai-gapai udara sementara air berlomba-lomba memasuki rongga hidung dan mulutnya.  Tidak, jangan m melawan. Yang harus dilakukannya adalah pasrah.

Luna yakin dirinya akan mati saat ini juga ketika merasakan kegelapan mulai menyelimutinya, tetapi sebelum itu ia mendengar seseorang menyebur ke dalam kolam untuk meraih pinggangnya dan membawanya ke tepian.

Luna tidak mengingat apapun. Dirinya diselimuti kegelapan.

***

Ruangan itu terasa dingin, ada kemarahan kental yang terang-terangan menguar. Allard menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Tatapannya menajam ke arah tubuh yang terbaring tak berdaya di atas ranjang dengan kedua mata terpejam.

Syukurlah dirinya tepat waktu, jika tidak … jika tidak wanita itu akan mati. Damn! Bagaimana bisa Luna berpikiran seperti itu, sungguh pikiran gadis itu sangat dangkal. Kedua tangannya mengepal, ia bisa membunuh gadis itu tanpa harus dipinta.

Seharusnya Luna tidak perlu repot-repot menjatuhkan dirinya sendiri. Dokter yang memeriksa keadaan Luna menatap Allard dengan pandangan puas, dan saat itu ia yakin bahwa keadaan Luna baik-baik saja. Meskipun tidak bisa dikatakan baik-baik saja, tetapi nyawa gadis itu masih bisa terselamatkan.

"Paru-parunya kemasukan banyak air, tapi syukurlah masih bisa diatasi. CPR yang Anda berikan sangat membantu Tuan."

Allard hanya menganggukkan kepala tanpa minat. Tatapannya masih menajam ke arah sosok tak berdaya itu. Jika sebuah tatapan bisa membunuh mungkin Luna sudah mati berulang kali.

Dokter itu menganggukkan kepalanya sebelum berpamitan. Allard hanya menanggapi dengan dengan anggukan kecil.

Seseorang menepuk pundaknya pelan, tidak perlu berpaling untuk mengetahui siapa yang melakukan itu. Karena orang itu langsung terkekeh dengan nada mencemoh.

"Akhirnya wanita itu memilih bunuh diri juga. Aku saja masih mengaguminya karena bisa bertahan berada di sampingmu, dalam waktu yang cukup lama. Jika aku wanita, mungkin aku sudah bunuh diri sejak lama."

Buk!

Satu pukulan melayang. Allard menatapnya dengan sorot marah.

"Pergi sebelum aku membunuhmu," desisnya diantara dua gigi yang merapat.

Arthur tertawa, mengusap darah yang berada di ujung bibirnya. "Aku datang tanpa alasan, jika kau membunuhku sekarang kau akan kehilangan berita besar ini."

Allard memejamkan kedua matanya, menarik napas dengan kasar. Ia melirik ke arah Luna yang masih terpejam. Sebenarnya tidak masalah jika mereka membahas hal penting di dalam kamar ini, Luna juga tidak bisa mendengarnya, tetapi entah mengapa ia merasa kamarnya sendiri bukan tempat yang tepat.

"Kita akan membahasnya di ruangan biasa, tunggu aku disana."

Arthur menaikkan kedua alisnya sebelum beranjak pergi. Tanpa perlu dikasih petunjuk lelaki itu sudah tahu ke arah mana ruangan yang dimaksud.

Allard berjalan menghampiri Luna, kedua tangannya terkepal. Ada perasaan takut yang diam-diam merambat di dasar hatinya yang terdalam. Meskipun tidak ingin mengakui, tetapi ia sadar bahwa dirinya merasa menyesal.

Dan terkutuklah ia jika meminta maaf pada wanita ini. Tangannya menyentuh luka sayatan di tangan Luna, lalu beralih pada kedua mata wanita itu yang membengkak. Bukan tidak tahu gadis ini menangis pasca menerima sikap brutalnya. Allard mengetahui semua aktifitas yang dilakukan Luna.

Tangannya yang besar menangkup pipi Luna, lalu mengelusnya dengan kelembutan yang tidak biasa melalui ibu jarinya. Ia menunduk untuk memberikan kecupan singkat di ujung hidung gadis itu dengan lembut. Sesuatu yang tidak bisa dilakukannya ketika Luna sadar.

"Aku berharap kau mati, tapi hanya aku yang boleh membunuhmu."

Tanpa sadar tangannya meremas rambut Luna. "Jika aku yang membunuhmu itu atas kemauanku sendiri. Jadi, jangan mencoba bunuh diri karena itu adalah hal yang sia-sia."

Ia menggoncang tubuh Luna pelan.

"Kau dengar aku, Luna? Tubuh dan jiwamu milikku, jangan coba-coba untuk mengakhiri hidupmu karena aku tidak akan mengizinkannya."

Bersambung ....

Halo👋 cerita Arthur sudah tersedia di wattpad dengan judul Slave Bird ya. Bagi yang mau kepoin cerita orangtua Arthur juga bisa baca di Innovel/Dreame dengan judul Clara Prison.

Ngomong-ngomong Wedding Doll sudah tersedia di aplikasi Play book. So, yang penasaran sama kelanjutannya bisa langsung beli ya. 🙂

avataravatar
Next chapter